Dalam sebuah private dinner di Jakarta, Duta Besar Amerika untuk Indonesia pernah menanyakan kepada seorang tamunya, apakah kenal dengan Rois Syuriyah Nahdlatul Ulama Tiongkok? Tentu pertanyaan ini membuat kaget sang tamu karena tidak lazim untuk seorang duta besar negara adidaya menanyakan tentang Nahdlatul Ulama Tiongkok. Keingintahuan Duta Besar Amerika itu wajar ketika dihubungkan dengan peran PCINU Tiongkok selama ini yang mampu memberikan perimbangan berita berkait persoalan Xinjiang dan Etnis Uyghur melalui berbagai pernyataan saya yang dimuat beberapa media mainstream di Indonesia.
Bagi PCINU Tiongkok, isu Uyghur dan Xinjiang yang sering dimunculkan oleh media barat dan diduplikasi oleh media-media nasional sering bias, tidak obyektif dan dimanfaatkan kekuatan-kekuatan ‘hardliner’ yang kerap menggunakan isu-isu Islam untuk kepentingan politik mereka menggoyang pemerintah. Dalam konteks ini, posisi PCINU Tiongkok menjadi sangat strategis dalam memberikan perimbangan perspektif dalam melihat isu Xinjiang mengingat Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tengah berada dalam pertarungan besar kekuatan dunia : Amerika dan China.
Isu Xinjiang dan respon dunia Islam
Jauh sebelum Pemerintahan Xi Jinping mendirikan Pusat Pendidikan Ketrampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) atau apa yang sekarang ramai dituduhkan media barat sebagai ‘detention camps’ (kamp penahanan) Muslim Uighur di Xinjiang yang dibangun Tahun 2014, Lilian Craig Haris (1993) pernah membuat tulisan dengan judul Xinjiang, Central Asia and The Implications for China’s Policy in The Islamic World, yang membahas turbulensi di Xinjiang sebagai bagian dari wilayah China dikaitkan dengan posisi geostrategis, geopolitik maupun konektifitas geografisnya dengan negara-negara Asia Tengah dan Timur Tengah.
Meskipun berbagai kebijakan Beijing untuk mengatasi instabilitas di Xinjiang baik melalui instrumen ekonomi dan politik tidak pararel dengan kompleksitas kepentingan negara-negara berpenduduk muslim, tetapi respon yang ditampilkan negara-negara Arab dan Asia Tengah tetap adem ayem. Minimnya respon negatif dari negara-negara Timur Tengah terhadap kebijakan Beijing di Xinjiang selain untuk kepentingan pragmatis ekonomi dan militer (pembelian persenjataan) juga bertujuan memelihara hubungan baik dengan China sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB agar aware dengan kepentingan negara-negara dunia ketiga termasuk negara-negara muslim di dalamnya.
Haris juga menyebut otoritas China menegasikan alternatif pemecahan persoalan melalui skema konsultasi pemerintah dengan pemerintah (G to G) berkait cara penanganan turbulensi di Xinjiang karena Beijing sangat sensitif terhadap intervensi pihak luar atas apa yang menjadi urusan dalam negerinya.
Penulis lainnya adalah Colin Mackerras (2011) yang membuat paragraf khusus tentang dampak peristiwa kerusuhan di Urumqi, Ibukota Xinjiang Tahun 2009 bagi hubungan China dengan negara-negara muslim dalam sebuah tulisan berjudul The Disturbances in Tibetan Areas and Urumqi 2008-2009 : Implications for China’s International Relations. Hal menarik dari tulisan Mackerras adalah hampir semua pemerintahan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia termasuk Iran dan Pakistan memilih diam, tidak berkomentar negatif atau justru mengakui otoritas China untuk menanggulangi kerusuhan etnik sebagai urusan domestik.
Negara-negara Asia Tengah dan sebagian Timur Tengah seperti Suriah bahkan memberikan dukungan kepada pemerintah China untuk menegakkan hukum dan ketertiban dalam menanggulangi separatisme. Hanya Pemerintah Turki yang negaranya menjadi tujuan migrasi sebagian etnis Uyhgur memiliki sikap beragam. Presiden Abdullah Gul yang pernah berkunjung ke Xinjiang menyebut Urumqi sebagai kota yang menakjubkan dan sangat penting bagi kebijakan jalur sutra. Sementara Recep Tayyip Erdogan yang waktu itu masih menjadi perdana menteri memberikan reaksi keras dengan menyebut kerusuhan di Urumqi sebagai peristiwa genosida, meskipun kemudian Pemerintah Turki menyatakan tidak berada di belakang gerakan separatis Uighur.
Reaksi atas penanganan kerusuhan Urumqi Tahun 2009 dari entitas non pemerintah (ulama dan LSM) memang muncul di berbagai negara, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Di Indonesia hanya mucul demonstrasi berskala kecil, di Iran memunculkan kecaman dari Ayatollah Naser Makarem sedangkan di Turki, Jerman, Norwegia dan Belanda yang massa demonstrannya dari etnis Uyhgur sendiri dilakukan dengan cara membakar bendera China di depan kantor-kantor konsulat negeri Tirai Bambu, tetapi aksi tersebut minim dukungan dari penduduk lokal. Reaksi dalam bentuk ancaman terhadap kepentingan China justru muncul dari mereka yang terafiliasi dengan jaringan teroris Al Qaeda seperti video yang menampilkan Abu Yahya al-Libi yang diunggah pada tanggal 7 Oktober 2009 yang meminta etnis Uighur untuk secara serius bersiap berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata (2011, 38).
Kompleksitas Persoalan Xinjiang di Tengah Perang Dagang AS – China
Kini masalah di Xinjiang tidak saja dikaitkan dengan apa yang disebut Pemerintahan Xi Jinping sebagai penanganan terhadap tiga kejahatan (three evils) yakni terorisme, separatisme, dan ekstrimisme, tetapi juga mulai merambah ke persoalan Perang Dagang (trade war) antara Amerika dan China. Pada Minggu (7/10/2019), Departemen Perdagangan Amerika telah mengeluarkan daftar hitam (blacklist) larangan duapuluh delapan entitas di China untuk membeli produk-produk Amerika karena dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan entitas tersebut atas etnis Uighur.
Sebetulnya, Pemerintah China telah membuka diri bagi kunjungan pihak luar negeri termasuk diplomat, wartawan, LSM dan akademisi ke pusat-pusat pendidikan ketrampilan di Xinjiang diantaranya delegasi dari negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia untuk menyaksikan secara langsung atas apa yang terjadi di sana. Bahkan dua tahun lalu (16/8/2019) otoritas China juga telah mengeluarkan buku putih yang berisi penjelasan lengkap atas apa yang mereka lakukan di Pendidikan Ketrampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) Etnis Uighur di Xinjiang lengkap dengan latar belakang, dasar hukum, isi pelatihan, proteksi terhadap hak dasar, fasilitas, serta manfaat apa yang akan diterima peserta training.
Buku putih itu secara implisit membantah tuduhan media barat bahwa otoritas China mendirikan kamp-kamp penahanan (detention camps) sekaligus memperingatkan semua pihak bahwa upaya melawan terorisme dan ekstrimisme merupakan tanggung jawab bersama (shared responsibilities) masyarakat internasional. Berbagai kerajasama international guna mengatasi ancaman terorisme termasuk yang dilakukan negara-negara barat dan negara-negara berpenduduk muslim diantaranya melalui program CVE (Countering Violent Extrimism) sudah berjalan secara baik meskipun karakteristik dan strategi pelaksanaannya berbeda di setiap negara.
Upaya diplomasi Pemerintah China dalam menjelaskan persoalan Xinjiang memang belum sepenuhnya berhasil, tetapi apa yang dilakukan Beijing melalui diplomasi taiping shengshi untuk menegaskan keberpihakannya dalam menciptakan perdamaian dunia sekaligus menguatkan kerjasama ekonomi dengan berbagai negara termasuk dengan negara-negara berpenduduk muslim akan memberikan dampak yang konstruktif guna mengurangi distorsi informasi yang sampai saat ini masih mewarnai pemberitaan di berbagai media baik mainstream maupun medsos berkait Muslim Uighur.
Dengan tidak berpretensi memihak salah satu kekuatan dalam konteks perang dagang Amerika dan China, diperlukan keseimbangan informasi bagi masyarakat di negara-negara berpenduduk muslim seperti Indonesia agar bisa melihat persoalan di Xinjiang secara lebih jernih dan terukur dengan tanpa mengorbankan kepentingan nasional kita. Peran itulah yang telah dan akan terus dilakukan PCINU Tiongkok.
Selamat Hari Santri Tahun 2020
Wallahu a’lam bi shawab.