“Mengenal orang lain adalah kebijaksanaan. Mengenal diri sendiri adalah pencerahan,” itulah ungkapan bijak Lao Tzu (lihat buku “Embun Kerinduan Refleksi Psikologis Menyelami Diri” karya Rae Wellmina).
Dalam ungkapan para filsuf Muslim disebutkan, “Siapa yang mengenal dirinya ia akan mengenal siapa Tuhannya.” Jauh sebelum itu, Umar bin Khattab ra memberikan satu rumus hidup bahagia. “Evaluasilah dirimu sebelum tiba masanya engkau akan dievaluasi (oleh Tuhan).” Tiga ungkapan itu rasanya cukup menjadi bukti kepada kita bahwa untuk meraih kebahagiaan diri, kita harus benar-benar pandai mengintrospeksi diri dengan sebaik-baiknya.
Dalam kata yang lain, cara meraih kebahagiaan bagi diri adalah pandai melakukan introspeksi diri. Introspeksi diri artinya memeriksa diri dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya. Melihat apa dorongan-dorongan yang paling kuat dalam diri, apa motif-motif yang menjadi penggerak diri berpikir dan berperilaku. Dan, apa yang sebenarnya menjadi kecintaan dalam hati.
Langkah itu akan membuat seseorang memahami dirinya sendiri. Oh…ternyata selama ini dorongan yang paling kuat dalam diri adalah menunda-nunda. Enggan disiplin walau tahu secara kognitif disiplin itu penting untuk masa depan. Begitu pula dalam hal shalat, senang menunda, bahkan meninggalkannya. Walau ketika itu terjadi ada gelisah dalam hati. Akan tetapi karena tidak ada introspeksi diri, akhirnya menjadi biasa dan semakin hari kian jauh dari shalat.
Akan tetapi kalau seseorang tidak mau introspeksi, mengapa tidak shalat, mengapa suka menunda, maka selamanya ia akan hidup biasa-biasa saja. Tidak menyesal telah berbuat dosa. Dan, tidak takut meninggalkan banyak kewajiban sebagai hamba Allah. Oleh karena itu penting siapapun memahami pesan gamblang Allah Ta’ala dalam Alquran.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyir: 18).
Ibrah dari Abu Bakar
Perihal betapa pentingnya mengenal diri sendiri untuk hidup bahagia yang sejati, kita juga bisa belajar kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq yang termaktub dalam Tarikh Thabari (lihat buku edisi terjemahan: “Akhirnya Kutemukan Kebenaran” karya Dr Muhammad Tijani Al-Samawi).
Kala itu Abu Bakar melihat seekor burung hinggap di suatu pohon. Lalu berkata, “Berbahagialah engkau, duhai burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pohon, tanpa ada hisab atau balasan. Aku lebih suka kalau aku ini adalah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, kemudian datanglah seekor unta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan dan tidak menjadi seorang manusia.”
Hal itu menggambarkan kepada kita bahwa tanggung jawab, komitmen pada iman dan terus beramal sholeh harus jadi misi hidup setiap Muslim. Jika tidak, maka ke depan ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan. Dan, itu benar-benar bukan perkara ringan.
Seseorang yang duduk di kursi terdakwa dalam pengadilan hukum manusia saja bisa jadi sangat gelisah atau bahkan ketakutan. Itu baru di pengadilan dunia yang hakimnya manusia. Lantas bagaimana jika itu terjadi di hadapan Allah?
Dalam kata yang lain, kita harus banyak berpikir, merenung dan berhati-hati. Jangan sampai secara sadar dan sengaja, kita memilih jalan yang menyulitkan hari-hari esok kita sendiri.
Lihatlah hidup para pembangkang kebenaran, mereka sempat hidup enak, fasilitas lengkap, akan tetapi ujung dari kehidupan mereka adalah kesengsaraan dan kehinaan.
Belajarlah pada Fir’aun, Abu Jahal dan para penjahat lainnya. Mereka tak pernah bahagia dalam kehidupannya, justru ketika mereka menolak kebenaran dan membenarkan seluruh tindak kejahatan.
Seekor Singa Jantan
Kebahagiaan seringkali baru bisa diperoleh ketika seseorang berani bersikap tegas dan istiqomah dalam iman dan Islam. Hal itulah yang diteladankan oleh Rasulullah SAW. Saat beliau diminta berhenti berdakwah. Kemudian datang para pembesar Quraisy menawarkan harta, tahta dan wanita. Namun Nabi Muhammad SAW menolak.
Justru muncul deklarasi luar biasa dari putra Abdullah itu. Sekiranya mereka memberikan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku. Sungguh aku tidak akan menerima, hingga tiba masa aku menang atau aku terkubur bersama dakwah ini.
Ungkapan itu tentu tidak saja heroik dan luar biasa. Akan tetapi untaian kalimat itu adalah buah dari orang yang merasakan langsung bagaimana hidup bahagia yang sesungguhnya.
Mungkin dari kisah itu, yang juga diperkuat oleh pengalaman keberanian Nabi Ibrahim as yang selamat dari kobaran api. Pemikir Muslim dari Pakistan, M. Iqbal menggubah satu bait puisi yang luar biasa (lihat buku “I Am A Leader” karya Moh. Syahri Sauma, dkk)
“Bungkus dirimu dalam api. Jadilah seorang Ibrahim. Jangan tunduk kepada apapun. Kecuali kebenaran. Niscaya engkau akan jadi seekor singa jantan.”
Tentu saja seekor singa jantan itu adalah diksi simbolik. Bahwa orang yang hidupnya fokus pada iman dan amal sholeh, ia akan kuat dan kebal dari berbagai macam serangan penyakit yang akan menggerus kebahagiaan dalam hati hari ini dan esok di akhirat. Wallahu a’lam.