Berbeda masa, berbeda tempatnya. Dulu para santri, juga masyarakat harus pergi ke pesantren, ke masjid, ke surau-surau untuk menuntut ilmu pada seorang kiai. Tapi sekarang kecanggihan alat digital telah menjadi wasilah yang menghilangkan batas waktu dan tempat untuk terus belajar. Tapi santri kah mereka yang belajar melalui pesantren virtual?
Menurut Gus Mus, santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat –yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan.
Dari pemaknaan yang diungkapkan ole Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) itu kita tau bahwa istilah santri tidak diidentikkan dengan di mana -tempat- ia belajar, tapi kepada siapa ia belajar. Hanya saja surau atau pesantren dulu digunkan oleh santri sebagai tempat tinggal. Utamanya bagi mereka yang berada jauh dari rumah. Maka bagaimana bila dikatakan santri sekarang bisa hidup tanpa pesantren? Tidak lain itu adalah pesantren virtual.
Adanya pesantren virtual mereduksi epistemologi pesantren klasik yang dulu lekat dengan lima aspek yang menyertainya; santri, kyai, pesantren, masjid, dan kitab kuning. Dua aspek, pesantren dan juga masjid inilah yang kini tidak lagi menjadi syarat adanya pesantren virtual, karena setiap –santri— orang bisa belajar di mana pun dan kapan pun melalui setiap gawai yang digunakan. Baik itu melalui vidio youtube, instagram, atau tulisan-tulisan yang ada di portal pesantren atau keislaman.
Sanad Keilmuan dan Kevalidan
Para peneliti mengatakan, tidak hanya masjid dan pesantren yang tidak dimiliki oleh pesantren virtual dalam keberadaannya. Namun juga transfer karakter dan juga sanad keilmuan. Karena dalam memperdalam ilmu agama –hanya— melalui gawai saja tanpa mendatangi suatu majelis ilmu maka sanad keilmuan yang dimilikinya diragukan. Apalagi mereka yang belajar hanya dengan mengambil fatwa-fatwa dan cuplikan pengajian hanya saat dia butuh saja, seperti pencarian hukum halal-haram atau wajib-sunnah dan lain sebagainya.
Hal ini seperti yang dikatakan Gus Nadirsyah Hosen tentang ‘Kyai Goggle’. Bahwa orang yang menuntut ilmu melalui gawainya cenderung mencari topik-topik yang penting saja, atau doa-doa yang diinginkan. Berbeda dengan santri dulu yang harus belajar bertahun-tahun untuk menerima suatu wirid, atau doa tertentu dari kyai.
Jadi, fenomena pesantren virtual tidak hanya menjadi fenomena kemunculan ribuan santri tawon –bukan santri kalong. Istilah tawon di sini karena mereka hanya mengambil intisari dari setiap pengajian lantas oergi menuju chanel lain lagi untuk mencarai intisari atau ilmu yang lain. Dan yang menjadi polemik baru adalah mereka tidak pandai memilah apa yang dikatakan maqolah ‘lihatlah siapa yang mengatakan, jangan apa yang dikatakan’.
Karena dari berbagai hasil temuan dari berbagai penelitian. Ruang digital kini digunakan sebagai ladang monetisasi setiap orang yang bisa berceramah dan menjual fatwanya itu di ruang maya dengan kemasan yang menarik dan responsif bagi pengguna sosial media.
Sebab itulah banyak bermunculan ustaz-ustaz –yang secara keilmuan belum terlalu mumpuni— tapi berani menjual fatwa ke sana ke mari melalui berbagai platform media.
Dan santri juga para ulama yang paham akan keagamaan juga harus ikut andil dalam menjadi penyeimbang modernisasi ini. Dan salah satu cara menjadi penyeimbang informasi yang salah itu dengan memberi pembenaran fatwa melalui media yang sama. Karena itu para kyai juga santri dituntut untuk bisa menguasai dan memanfaatkan teknologi.
Maka adanya modernisasi pesantren ini kirannya dapat menjadi batu loncatan agar memudahkan kita untuk terus ber-tholabul ilmi. Dengan syarat tidak sebagai rujukan utama atau minimal memilih dan memilah pendakwah yang berkompeten dan tepat. Dampak modernisasi jangan sampai malah menjadi disrupsi bagi pesantren namun harus menjadi modernisasi pesantren sebagai sistem pendidikan yang ‘sholih likulli zaman wa makan’ (baik di setiap waktu dan tempat).
Wallahu a’lam bi shawab…