Isham Pawan Ahmad membenarkan pandangan Imam al-Ghazali tentang peran penting akal rasional, di mana saat itu banyak kaum Sufi telah meremehkannya (I. P. Ahmad, 1998: 228). Mempertentangkan akal rasional (‘aql, reason) dan penyingkapan (ladunni, revelation) tidaklah tepat.
Dalam sub bahasan reason vis a vis revelation, Isham P. Ahmad mengutip Kitabal-‘Ilm. Bagi al-Ghazali dalam kitab itu, akal rasional menjadi jembatan manusia mengenal Tuhan, Kebenaran Utusan-utusan Tuhan, dan Hukum-hukum Tuhan. Akal rasional adalah instrumen bagi orang-orang beriman.
Di tempat lain, Isham Pawan Ahmad (1998: 218) juga menyebutkan bahwa reason maupun revelation sama-sama sebagai sumber ilmu pengetahuan (sources of knowledge). Mempertentangkan reason dan revelation menimbulkan kerugian dan kehilangan satu sumber ilmu pengetahuan.
Pertarungan merebut dominasi antara pendukung reason dan pendukung revelation terjadi sepanjang sejarah. Menurut A. J. Arberry seperti dikutip Isham P. Ahmad, hubungan reason dan revelation ini memang pembicaraan paling hangat sepanjang sejarah pemikiran manusia (I. P. Ahmad, 1998: 219).
Bagi al-Ghazali, reason (al-‘aql) adalah sumber (manba’), mata air (mathla’), dan dasar-dasar (asas) ilmu pengetahuan. Dari akal inilah, ilmu pengetahuan bermunculan seperti buah-buah yang menggelantung pada pohonnya; seperti cahaya yang memancar dari matahari; seperti penglihatan yang keluar dari mata. Akal juga pelantara untuk mendapatkan kebahagiaan (wasilah al-sa’adah) di dunia dan akhirat (I. P. Ahmad, 1998: 221).
Sementara revelation, bagi al-Ghazali, hanya menjadi penting karena ia merupakan kehendak Allah Swt yang memberi informasi kepada kita sebagai manusia tentang apa kehendak Allah Swt yang mesti kita ketahui dan lakukan. Sementara pada dirinya sendiri, revelation tidak memiliki nilai intrinsik yang penting (I. P. Ahmad, 1998: 220).
Dengan begitu, revelation berperan memberi informasi tentang kehendak Tuhan akan diri manusia, sementara reason berperan sebagai instrumen manusia mengetahui informasi dan pembawa informasi Tuhan tersebut. Melalui reason, manusia mengenal Tuhan, membenarkan informasi yang dibawa para utusan Tuhan, dan menjalankan hukum-hukum Tuhan (I. P. Ahmad, 1998: 229).
Berbeda halnya dalam kitab al-Risalah al-Ladunniyah, terbitan Kurdistan al-Ilmiah, Al-Mahmiyah, 1328 Hijriyah. Di dalam Fashl fi Bayan Thuruq al-Tahshil li al-‘Ulum, al-Ghazali membahas tentang dua cara manusia mendapatkan ilmu pengetahuan; pertama, al-ta’allum al-insani, dan kedua, al-ta’allum al-rabbani (al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyah, 1328: 23).
Term al-ta’allum al-insani dapat disejajarkan dengan reason dalam pembahasan Isham Parwan Ahmad. Sementara term al-ta’allum al-rabbani disepadankan dengan revelation.
Hanya saja, ketika bicara al-ta’allum al-rabbani atau revelation tersebut, al-Ghazali membaginya ke dalam dua macam lagi: 1) datang dari luar dan disebutnya sebagai al-tahshil bi al-ta’allum, dan 2) datang dari dalam dan disebut al-tahshil bi al-tafakkur (al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyah, 1328: 23-24).
Menariknya, bagi al-Ghazali, al-tahshil bi al-ta’allum maupun al-tahshil bi al-tafakkur dianggap sejajar atau setara. Hanya saja, kualitas pencapaiannya berbeda. Al-Ta’allum adalah perbuatan seseorang mencari faedah dari manusia lain yang parsial (al-syakhs al-juzi). Sedangkan al-Tafakkur adalah perbuatan jiwa (al-nafs) mencari faedah dari jiwa universal (al-nafs al-kulliy). Jiwa universal ini jauh lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seluruh kaum intelektual (al-‘ulama) maupun kaum pemikir (al-‘uqala’).
Dari hipotesa inilah, al-Ghazali membuat sebuah ilustrasi untuk menjelaskan perbedaan dampak al-ta’allum dan al-tafakkur. Al-Ghazali mengatakan, apabila cahaya akal (nur al-‘aql) telah menaklukkan sifat-sifat indera (awshaf al-hiss) maka seorang pelajar cukup melakukan sedikit tafakkur (qalil al-tafakkur). Sang pelajar akan mendapatkan banyak faedah hanya dengan satu jam bertafakkur (bi tafakkur sa’atan), melebihi banyaknya faedah yang diperoleh dengan ta’allum satu tahun lamanya (al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyah, 1328: 25).
Al-ta’allum al-Rabbani ini di bagian lain oleh al-Ghazali juga disebut sebagai al-Ta’lim al-Rabbani. Al-Ta’allum al-Rabbani atau al-Ta’lim al-Rabbani adalah revelation. Kemudian al-Ghazali membagi revelation ini menjadi dua macam: 1) pewahyuan (ilqa’ al-wahy), dan 2) pengilhaman (al-ilham). Ilmu pengetahuan yang didapat melalui wahyu disebut Ilmu Nubuwah (‘ilm nabawiy) dan yang didapat melalui ilham disebut ilmu ladunni (al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyah, 1328: 26-29).
Isham Parwan Ahmad tidak membahas konsep-konsep penting al-Ghazali ini, yakni tentang pembagian ta’allum insani dan ta’allum rabbani; tentang ta’allum rabbani ta’allum rabbani yang bisa dihasilkan melalui dua cara, ta’allum dan tafakkur; dan jenis-jenis ta’allum rabbani yang berupa wahyu dan ilham.
Dengan memasukkan terma-terma seperti wahyu, ilham, ta’allum, dan tafakkur kedalam kategori al-rabbani maka semakin jelas bahwa mempertentangkan reason dan revelation semakin tidak asyik lagi. Namun pertanyaan berikutnya: “perangkat” apa pada diri manusia yang bisa menampung segala jenis ilmu? Di sinilah Isham Parwan Ahmad membahas tentang how is revelation received?. [bersambung]