Sedang Membaca
Seutas Kenangan Bersama Mas Pur, Kawan Nyantri yang Mati Muda
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Seutas Kenangan Bersama Mas Pur, Kawan Nyantri yang Mati Muda

Fb Img 1608566675193

“Purnomo Adi, Unyal-Unyil …” suara khas Kiai Ali Maksum terdengar di seluruh area Pesantren Krapyak.

Tak lama berselang, tiga orang berseragam putih biru datang ke ndalem Kiai. Purnomo Adi, Achmad Munawwar, dan Ahmad Qomari. Mas Pur asli Jogja, sementara Unyal-Unyil, berasal dari Semarang. Mereka diberi panggilan kesayangan mengambil tokoh film anak yang saat itu tengah populer.

“Ini ada anak baru. Namanya Dzulkifli Yahya, dari Kuningan Jawa Barat. Kalian temani dulu, ajak keliling pondok,” dawuh Kiai Ali kepada ketiganya.

Itulah hari pertama saya di Pesantren Krapyak, awal tahun 1984. Saya diajak ketiga kawan baru itu keliling pesantren sambil dibriefing tentang berbagai hal. Mas Pur tentu paling dominan bicara karena dia paling “tua” di antara kami. Dia sudah lulus SMP tapi balik lagi masuk kelas 1 MTs, dan sekelas sama kami.

Saya ditempatkan di Komplek E yang berdekatan dengan kantor pesantren. Pada saat itu belum banyak santri asal kulon. Baru di tahun berikutnya beberapa santri asal Tasikmalaya datang menyusul. Memasuki tahun kedua di Krapyak, saya pindah ke Komplaek C yang menempel dengan mesjid. Lalu saat kelas tiga, kami ditempatkan di Komplek B, tak jauh dari ndalem Kiai Zainal.

Saya telat setengah tahun saat masuk kelas satu MTs. Al-Munawwir. Itulah periode belajar paling penuh semangat dalam hidup saya, harus mengejar ketinggalan pelajaran selama satu semester. Tiada hari tanpa menghafal. Berlomba ambil tempat saat sorogan pagi kepada Kiai Ali, dan dulu-duluan setor hafalan juzz amma bakda magrib ke Kia Zaini.

Tapi banyak main juga. Dan partner in crime saya ya, Mas Pur ini. Sebagai “pemilik” Jogja dia menjadi guide menjelajah Kota Gudeg. Kadang saya diajaknya berjalan kaki, bolak-balik Krapyak-Malioboro. Atau kami naik becak sebalikan karena uang yang pas-pasan. Sepanjang jalan Mas Pur selalu bercerita tanpa henti. Saya menjadi pendengar yang baik yang sesekali ngegongi. Dia memang nyeniman. Gaya baca puisinya di atas rata-rata kami.

Baca juga:  Masihkah Kita Curiga kepada Gus Dur, Terkait Keakrabannya dengan Tokoh Agama-Agama?

Suatu hari saya yang memang senang diajak nglencer, diajak oleh Kang Dardiri ke rumahnya di Bantul. Saya dibonceng naik sepeda. Lumayan jauh ternyata. Saat pulang saya ngantuk dan tanpa sadar kaki kana masuk ke dalam jari-jari sepeda. Kang Dardiri spontan berhenti karena orang-orang berteriak melihat kejadian itu. Saya lalu dibawa ke tempat dokter yang tak jauh dari lokasi kejadian. Setelah diberi obat sekedarnya, kami pulang ke pesantren.

Jalan kaki saya otomatis terpincang-pincang. Hal itu menarik perhatian Mas Jawwad, santri asal Gunung Kidul yang jago main bola. Dia rupanya punya keahlian memijat.

“Kakimu pasti keseleo. Harus dipijat,” ujarnya memberi saran.

“Sakit nggak?” tanya saya membayangkan pijat keselo yang katanya suakit sekali.

“Sedikit,” lanjutnya meyakinkan.

Saya pun pasrah. Dan di tengah teriakan saya menahan rasa sakit, proses pemijatan berlangsung singkat saja. Dan memang benar, rasa sakit saya berangsur hilang.

Di tengah “penderitaan” itu, saya tidak mengabari orang tua. Selain belum ada layanan telepon, saya kasihan juga kalau ayah harus datang ke Jogja untuk sekedar menengok. Lagi pula saya cukup terbantu oleh bantuan kawan-kawan seperjuangan di pesantren.

Saat itu pas liburan semester. Saya lebih banyak tinggal di asrama sambil menunggu kaki pulih kembali. Nah, ketika suatu siang saya tengah duduk-duduk di serambi mesjid, Mas Pur datang membawa kabar gembira.

“Ip, kamu mau ikut ke Bali?”
“Ke Bali? Aku nggak punya uang.”
“Tenang saja, kamu tinggal ikut.”
“Ok kalau begitu.”
“Biar kamu cepat sembuh, kita main ke Bali.”

Baca juga:  Mo Salah, Bukan Sekadar Pesepakbola Biasa  

Singkat cerita kami pun berangkat. Rute awal dari Stasiun Lempuyangan Jogja. Kami akan menuju Surabaya. Di tengah perjalanan, saya baru tahu bahwa ayah Mas Pur adalah pensiunan pegawai kereta api. Saat itu, keluarga yang ditinggal masih punya Kartu sakti, SAP namanya. Kami bertiga naik kereta ekonomi Jogja-Surabaya lalu dapat kelas bisnis dari Surabaya-Banyuwangi. Dari Ketapang kami naik ferry ke Gilimanuk. Saat masih di kapal, Ibunya Mas Pur mencari-cari tumpangan ke kota Denpasar.

Sebuah mobil angkutan barang akhirnya didapatkan. Ibunya Mas Pur duduk di depan, sementara kami berdua berangin-angin di belakang. Mungkin itulah perjalanan yang kelak dikenal sebagai backpakeran. Kami diturunkan di Jalan Katrangan Denpasar. Itu adalah rumah Pakdenya Mas Pur yang jadi pejabat di Pemprov Bali. Kurang lebih seminggu tinggal di rumah itu. Dua hal yang untuk pertama kalinya saya temui dalam hidup: sarapan roti dan anjing di dalam rumah. Saya berkenalan dengan dua keponakan Mas Pur, Gede dan Novi.

Pas hari Jumat, kami berjalan lumayan jauh untuk jumatan. Di sepanjang jalan bunga dan dupa tampak di setiap sudut. Pengalaman menarik buat santri seperti saya. Pas tuan rumah ada waktu, kami diajak jalan-jalan ke pantai Sanur. Lalu ke sebuah pusat perbelanjaan. Tambah satu lagi peristiwa besar yang saya rasakan: main dingdong.
Perjalanan pulang ke Jogja persis seperti keberangkatan. Cari tumpangan ke Gilimanuk, lalu naik kereta api dengan tiket SAP. Tapi di tengah perjalanan rute berubah.

“Kita ke Pondok Tremas dulu,” kata Ibunya Mas Pur.

Kami pun turun di Madiun, lalu naik bus ke Pacitan. Di jembatan Arjosari kami turun dan baik dokar sampai di depan pesantren. Yang saya ingat, kami sowan ke ndalem Kiai Harits Dimyati, ayahnya Gus Lukman. Saat ditawari makan, saya agak canggung memilih, karena menunya pedas semua. Lidah saya sudah Jogja banget yang serba manis. Diberi menu pedas, jadi kikuk. Ibu Nyai memaklumi lalu memberi saya abon.

Baca juga:  Saya Pikir, Radhar Panca Dahana akan Hidup Selamanya

“Ya sudah kamu makan sama abon saja.”
Saya sungguh tak menduga jika beberapa waktu kemudian, saya melanjutkan tingkat Madrasah Aliyah di Tremas. Pasti kunjungan dadakan saat itu ikut mempengaruhi. Sudah barang tentu, faktor bahwa Kiai Ali Maksum pernah belajar di Tremas, ikut menentukan juga.

Saat saya pindah ke Temas itulah kontak saya dan Mas Pur mulai berjarak. Dia meneruskan di MA Krapyak lalu ke IAIN Jogja. Tapi kalau saya ke Jogja, pasti sowan ibunya Mas Pur. Beliau juga pernah ke rumah keluarga saya di Tasik dan Garut.

Mas Pur kemudian menikah, begitu pula saya. Kami disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Lalu Facebook menyambungkan kami kembali. Termasuk dalam semingu ini, ketika Mas Pur mencolek saya dan Mas R Akhmadi Syamsul Ma’arif.

Saya sungguh kaget ketika istri Mas Pur memberi kabar bahwa suaminya baru saja wafat, Senin, 21-12-2020. Menurut Mas Abu Khoiri, ternyata akibat terjatuh di kamar mandi saat mau mengambil air wudlu. Mas Pur mau mengajak keluarganya tahlilan untuk Kiai Ali yang haulnya digelar secara virtual.

Rupanya Mbah Ali ingin segera sampeyan temani, Mas Pur. Sampeyan dipanggil oleh-Nya persis saat Mbah Ali kapundut: saat adzan magrib berkumandang.

Semoga sampeyan bahagia di surga-Nya, bersua para ulama dan habaib yang selalu sampeyan ceritakan dan sampeyan sowani sepanjang hidup.

Alfatihah …

Bandung, 21 Desember 2020

Foto: kenangan saya dan Mas Purnomo Adi di rumah Pakdenya di Jl Katrangan Denpasar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top