Sedang Membaca
Tafsir Al-Bayan (1): Pesantren, Kiai, dan Literasi Tafsir Al-Qur’an
Islah Gusmian
Penulis Kolom

Dosen di IAIN Surakarta. Menekuni manuskrip, khususnya di bidang tafsir

Tafsir Al-Bayan (1): Pesantren, Kiai, dan Literasi Tafsir Al-Qur’an

Whatsapp Image 2022 12 06 At 23.02.51

Praktik pengajaran dan penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia telah berjalan dalam rentang waktu yang panjang. Pada abad 17 M., seorang ulama dan mufti kerajaan Aceh, ‘Abd al-Rauf al-Sinkilī (1615-1693 M) telah menulis Tarjumān al- Mustafīd, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz. Tafsir ini ditulis dengan bahasa Melayu, aksara Jawi. Manuskripnya telah disalin dan kemudian dicetak di berbagai tempat, seperti di Bombai, Mesir, Turki dan di wilayah nusantara. Pada era selanjutnya, seiring berjalannya waktu, para ulama di nusantara terus memproduksi tafsir Al-Qur’an dalam berbagai bahasa dan aksara dengan keragama metode, bentuk dan teknis penulisan hingga kini.

Menurut Anthony H. Johns, tafsir Al-Qur’an yang ditulis dan dipublikasikan di Asia Tenggara era abad 17-19 M merupakan bentuk transmisi dan adaptasi dari tafsir-tafsir berbahasa Arab yang ditulis di Timur Tengah. Pendapat serupa dikemukakan Peter G. Riddell dalam dua kajian yang dia lakukan, yaitu tentang penggunaan tafsir-tafsir berbahasa Arab sebagai rujukan oleh tafsir-tafsir yang lahir di kawasan Asia Selatan dan pengaruh tafsir berbahasa Arab dalam perkem- bangan tafsir Al-Qur’an di Indonesia dan Malaysia. Hal yang demikian terjadi menurut Riddell, bukan hanya pada literatur tafsir, tetapi juga di bidang ilmu yang lain, seperti fikih dan tasawuf.

Kesimpulan serupa dikemukakan Federspiel ketika mengkaji karakteristik terjemah dan tafsir Al-Qur’an di Asia Tenggara. Dengan pendekatan kawasan, Federspiel memberi- kan gambaran tentang praktik adopsi yang dilakukan para penulis tafsir Al-Qur’an di Asia Tenggara atas tafsir-tafsir berba- hasa Arab yang ditulis ulama Timur Tengah. Dalam survei yang dia lakukan tentang kepopuleran literatur di bidang Al-Qur’an di Indonesia pada abad 20 M., Federspiel juga memberikan kes- impulan yang sama.

Realitas yang dikemukakan Riddell, Johns, dan Federspiel di atas merupakan hal yang lazim. Di dalam suatu teks, terma- suk tafsir Al-Qur’an, seringkali terjadi interteks, yaitu pen- gutipan atas teks-teks yang lain, tetapi penting dicatat bahwa yang terjadi dalam tafsir Al-Qur’an di Indonesia tidak hanya praktik interteks. Sebab, para penulis tafsir di Indonesia teru- tama yang diterbitkan pada era awal abad 20 M, selain mengutip dan mentransmisikan tafsir-tafsir berbahasa Arab dari Timur Tengah, mereka juga mengemukakan pandangan-pandangannya serta audiens yang mereka imajinasikan dalam literatur tafsir yang mereka susun.

Di antara basis sosial-budaya para penulis literatur tafsir di nusantara tersebut adalah pesantren dan kiai. Pesantren dan kiai merupakan dua entitas penting dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.8 Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indo- nesia, sejak sebelum negara ini merdeka, keberadaannya telah menjadi faktor kunci dalam transmisi ilmu-ilmu keislaman dan pengembangan dakwah Islam, sehingga Islam menjadi kokoh dan akarnya menyatu dengan budaya Indonesia. Pada sisi yang lain, kekuatan jejaring guru-murid dengan para ulama di Timur Tengah, moralitas keagamaan, serta peran sosial politik yang di- miliki telah mengantarkan kiai dan pesantren menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Namun demikian, dengan posisinya yang strategis tersebut, hingga akhir 1960-an kiai dan pesantren belum banyak dikaji oleh para peneliti. Peran sosial dan politik yang dimain- kannya juga tidak banyak dilihat dan diperbincangkan. Dalam Ensiklopedia Islam yang diterbitkan Van Hoeve dan disusun para intelektual Muslim Indonesia, tidak disediakan entri khu- sus tentang peran kiai dan pesantren. Sejarah dan peran Wali Sanga (sembilan ulama yang sukses menyebarkan Islam melalui pendekatan kultural di tanah Jawa pada abad 15 M), sebagai ba- sis tradisi dan budaya pesantren, juga tidak dibahas dalam buku tersebut.

Memasuki era 1970-an, pesantren dan kiai di Indonesia mulai menjadi objek kajian para akademisi. Masalah-masalah yang dikaji tentang dinamika sosial keagamaan di dunia pesantren dan peran yang dijalankan kiai. Horikoshi misalnya, pada era ketika Indonesia mulai tumbuh sebagai negara demokrasi, menganalisis sosok kiai yang memainkan peran ganda, yaitu selain sebagai pemimpin pesantren dan pengajar ilmu-ilmu keislaman, mereka sekaligus juga sebagai agen dari berbagai perubahan yang terjadi di luar pesantren. Dari sisi tradisi dan budaya pesantren, Zamakhsyari Dofier telah men- jelaskan dengan baik siklus kehidupan dan metode pembelaja- ran ilmu-ilmu keislaman di pesantren.

Pada era 2000-an, kajian tentang peran pesantren dan kiai berkembang dan meluas ke arah konteks dinamika sosial masyarakat. Misalnya, peran pesantren dalam pembentukan masa depan umat Islam, keterlibatan pesantren dalam politik elektoral dan pemegang otoritas keagamaan serta dalam dinamika perubahan di Indonesia. Kajian yang dilakukan Abdurrahman Mas’ud tentang para intelektual dan perancang pesantren di masa lalu melengkapi kajian-kajian di atas.

Selain peran-peran di atas, sejak masa awal pertumbuhan pesantren, kiai juga telah menggeluti dunia literasi di bidang ilmu-ilmu keislaman. Selain mengajarkan ilmu-ilmu keislaman melalui teks-teks yang ditulis ulama di Timur Tengah, mereka menulis beragam teks-teks keislaman yang digunakan sebagai bahan pembelajaran. Pada konteks yang lain, teks-teks tersebut berisi tentang tanggapan dan analisis atas situasi sosial, politik dan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Teks-teks tersebut terdiri dari berbagai bidang ilmu, seperti fiqh, uṣūl fiqh, teologi, bahasa, sejarah dan tafsir Al-Qur’an. Selain memakai bahasa Arab, di antara teks-teks tersebut ditulis dengan memakai ba- hasa lokal, seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura dan Melayu serta aksara lokal, yaitu Jawi (aksara Arab yang dipakai menulis bahasa Melayu) dan Pegon (aksara Arab dipakai menulis bahasa Jawa, Sunda, dan Madura).

Baca juga:  Kitab Ulumul Qur'an Karya Mbah Sholeh Darat: Al-Mursyid Al-Wajiz Fi 'Ilmi Al-Qur'an

Dalam konteks literasi tafsir Al-Qur’an, meskipun hingga akhir abad 19 M., tafsir Al-Qur’an belum dianggap sebagai bagian yang sangat penting dalam kurikulum pesantren, bukan berarti para kiai di pesantren tidak mempunyai perhatian ter- hadap tafsir Al-Qur’an. Pada kenyataannya, pada era itu mereka bukan hanya mengajar tafsir, tetapi mereka telah menulis dan mempublikasikan karya mereka di bidang tafsir Al-Qur’an. Ṣāliḥ bin ‘Umar al-Samaranī (1820-1903 M) atau dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat, pendiri pesantren Darat, Semarang, menulis tafsir Faiḍ ar-Raḥmān fī Tarjamāh Kalām Mālik al- Dayyān. Tafsir ini ditulis dengan aksara Pegon-bahasa Jawa, terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi tafsir atas sūrah al- Fātiḥah dan sūrah al-Baqarah. Tafsir ini dicetak di Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 1893 M. Sedangkan jilid kedua terdiri atas tafsir sūrah Āli ‘Imrān dan sūrah al-Nisā’ dan dicetak oleh percetakan yang sama pada 1895 M. Tafsir Faiḍ ar-Raḥmān ini, oleh sebagian peneliti dipandang telah memengaruhi perjalanan keagamaan Kartini, meskipun dalam konteks sejarah, pandangan ini perlu dikaji keabsahannya.

Pada masa selanjutnya, literasi di bidang tafsir Al-Qur’an terus tumbuh di pesantren. Setelah kiai Ṣālih, menyusul K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950 M), pengasuh pesantren Samsul Ulum Sukabumi. Di antara karyanya di bidang tafsir yang populer di masyarakat adalah Rauḍāh al-‘Irfān fī Ma’rifah al- Qur’ān, ditulis dengan memakai aksara Pegon-Sunda dan Tamsi- yah al-Muslimin ditulis dengan memakai bahasa Indonesia aksara Latin. Tafsir ini terbit pada era 1930-an. Pada era yang sama, Imam Ghazali, seorang kiai di pesantren Al-Islam dan guru di madrasah Manbaul Ulum Surakarta, menulis tafsir Al- Balagh. Tafsir ini diterbitkan pada tahun 1936 secara serial dan ditulis dengan bahasa Jawa.

Setelah Indonesia merdeka, tradisi literasi tafsir Al-Qur’an di pesantren terus tumbuh dan mengalami akselerasi dengan baik. Pada era ini, di samping mengajar di pesantren, berdakwah dan aktif dalam kegiatan sosial politik, para kiai di pesantren juga aktif mengembangkan dunia literasi. Berbagai bidang ilmu keislaman mereka tulis, termasuk bidang tafsir Al- Qur’an. Bisri Mustofa (1915-1977 M), pengasuh pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, menulis dua kitab tafsir, yaitu Tafsīr Sūrah Yāsīn dan Al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al- ‘Azīz. Dua tafsir ini ditulis memakai aksara Pegon-bahasa Jawa, disertai dengan teknik makna gandul (penerjemahan kosa kata Al-Qur’an yang diletakkan pada masing-masing kata dan tulis secara menggantung). Pada periode yang sama, Kiai Misbah bin Zainil Mustafa (1917-1994 M), pengasuh pondok pesantren Al- Balagh Tuban, Jawa Timur menulis Al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl dan Tāj al-Muslimīn dengan memakai aksara Pegon-bahasa Jawa.

Pada era selanjutnya, tafsir Al-Qur’an di pesantren tumbuh secara dinamis, bukan hanya ditulis dengan bahasa dan aksara yang lokal, tetapi juga bahasa Arab. Muhammad bin Sulaiman bin Zakariya (1911-1991 M), berasal dari Solo, menulis Jāmi’ al-Bayān, min Khulāsah Suwar al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Tafsir ini dipakai sebagai acuan pembelajaran tafsir Al-Qur’an di Pesantren Mbrabu Purwodadi. Di Madura, Abi Muhammad Thaifur bin Ali Wafa bin Muharrar menulis Firdaus al-Na’īm Bitauḍīḥ Ma’ānī Āyāt al-Qur’ān al-Karīm. Di Kediri, Ahmad Yasin Asymuni menulis, pengasuh di Pesantren Petuk Semen dan pernah menjadi Kepala Madrasah Hidayatut Thullab, menulis banyak judul tafsir dalam bahasa Arab. Di antaranya adalah Tafsīr Bismillāhirraḥmānirraḥīm Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu`āwidatayn, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Āyah al-Kursī, dan Tafsīr Ḥasbunallāh. Tafsir-tafsir ini diterbitkan oleh penerbit Bungkul Indah di Surabaya.

KH. Shodiq bin Hamzah bin Usman dan Tafsīr Al-Bayān

Tradisi penulisan tafsir Al-Qur’an di pesantren terus ber- jalan dengan dinamika, konteks, kebutuhan dan tantangan yang muncul di tengah masyarakat. KH. Shodiq bin Hamzah bin Us- man (lahir 1954), pengasuh dan sekaligus pendiri pondok pesantren Ash-Shodiqiyah Semarang, pada tahun 2020 mempub- likasikan tafsir Al-Bayān Ma’rifati Ma’ānī al-Qur’ān, lengkap 30 juz.

Kiai Shodiq dibesarkan dalam tradisi pesantren. Dia ada- lah lulusan pesantren Futuhiyah Mranggen Demak di bawah asuhan KH. Muslih Abdurrahman. Dia juga berguru kepada sejumlah kiai di Jawa, di antaranya Syaikh Abdurraḥmān Badawī, Syaikh Ahmad Muṭahhar Abdurraḥmān, Syaikh Ḥu- maidi Umar Kendal, Syaikh Abdul Laṭif Mā’mūn, Syaikh Ishāq Nurhadi, dan Syaikh Abdullāh Sajād al-Dainuriyyah Sendang- guwo Semarang.

Selepas dari pesantren Futuhiyah, pada 1981-1983 dia belajar di Mekah. Di tanah suci ini, dia belajar kepada banyak guru dengan beragam bidang ilmu. Kepada Syaikh Damanhurī al-Makkī, dia belajar Tafsīr al-Jalālain dan ilmu ḥikmah (hizib dan aurad); kepada Syaikh Daud al-Makkī, dia belajar ‘Ulūm al- Qur’ān dan tajwīd; kepada Syaikh Ibrāhīm al-Mujallad al-Makkī, dia belajar Ilmu Farā’iḍ, kepada Syaikh Yāsīn al-Fadānī, dia bela- jar Ilmu ḥadīṡ dan sanad; dan kepada Sayyid Muḥammad Alwi al-Mālikī al-Hasanī al-Makkī, dia belajar Ilmu ḥadīṡ dan kitab Fatḥ al-Wahāb.

Setelah belajar di Mekah, dia pindah ke Madinah untuk belajar kepada para guru. Di antaranya, kepada Syaikh Muḥammad Maḥmud al-Ḥajar al-Madanī, dia belajar Ṭarīqah Naqsyabandiyah; kepada Syaikh Riḍwān al-Madanī, di belajar Ṭarīqah, kepada Syaikh Abdul Mu’īn al-Madanī, dia belajar Ṭarīqah; kepada Sayyid al-Kāf al-Madanī, dia belajar Fathul Alam; kepada Syaikh Abdul Ḥalif al-Madanī, dia belajar ḥadīṡ; kepada Syaikh Baṣīr Aḥmad al-Madanī, dia belajar ‘Ulūm al- Qur’ān; dan kepada Syaikh Yūsuf al-Qarḍawī al-Madanī, dia belajar ‘Ulum al-Qur’an.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Fatihah (7): Mengupas Makna Rahman dan Rahim

Sepulang dari dari tanah suci, Kiai Shodiq aktif di dunia pendidikan dan pesantren. Selain mendirikan pesantren Ash- Shodiqiyah di Semarang, dia juga aktif di berbagai organisasi so- sial kemasyarakat. Misalnya, dia menjadi penasihat Masjid Agung Jawa Tengah, penasihat MUI Jawa Tengah, Anggota Dewan Syari’ah Forum Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Pusat, dan pengurus JATMAN Idharah Wustha. Dia juga mendirikan Yayasan pendidikan Al-Fattah Demak, mendirikan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) As-Shodiqiyyah Semarang, dan sebagai salah seorang pemrakarsa berdirinya Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Di sela-sela kesibukan mengajar di pesantren dan berbagai peran sosial keagamaan tersebut, Kiai Shodiq menulis tafsir Al-Qur’an yang diberi judul Al-Bayān fī Ma’rifati Ma’ānī al- Qur’ān. Tafsir ini ditulis ketika wabah pandemi Covid-19 melanda dunia pada akhir tahun 2019 dan diterbitkan oleh pen- erbit Asnalitera Yogyakarta pada tahun 2020. Tafsir ini dicetak dalam 30 jilid, masing-masing jilid mencakup satu juz yang mengacu pada muṣḥaf Al-Qur’an.

Teknis Penulisan dan Metode Penafsiran Tafsīr Al-Bayān

Tafsir ini ditulis memakai bahasa Jawa dan aksara Latin. Pilihan bahasa dan aksara ini berkaitan erat dengan konteks audiens dan sejarah sosial masyarakat yang dihadapi oleh Kiai Shodiq. Dalam acara diskusi tentang tafsir ini, Kiai Shodiq mengisahkan bahwa dia menulis tafsir ini bermula dari pengajian tafsir di masyarakat. Secara umum, peserta pengajian tersebut adalah masyarakat awam yang tidak pernah belajar di pesantren maupun madrasah. Mereka tidak pernah belajar aksara Pegon dan teknik makna gandul. Mereka juga kesulitan mencecap tafsir-tafsir berbahasa Indonesia, karena faktor bahasa dan uraiannya yang kurang praktis. Kondisi ini yang men- dorong dia untuk menyusun tafsir yang ditulis secara ringkas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam, tetapi tetap mem- pertahankan tradisi pesantren.

Secara teknis, Tafsīr al-Bayān ditulis mengikuti tertib mushaf, mulai sūrah al-Fātiḥah dan diakhiri sūrah al-Ikhlāṣ, suatu cara yang lazim dipakai para penulis tafsir di Indonesia. Pada setiap awal sūrah, dimulai dengan penjelasan tentang pengertian sūrah, tempat turun sūrah, jumlah huruf, kata dan kalimat dalam sūrah, serta tema-tema pokok yang terkandung di dalamnya. Disertakan pula keutamaan masing-masing sūrah bagi pembaca. Penjelasan ini diacukan pada sumber-sumber ri- wayat serta penjelasan dari sejumlah kitab mengenai ḥikmah dan faḍilah Al-Qur’an dalam praktik keagamaan, seperti Khazīnah al-Asrār karya Syeikh Muḥammad Ḥaqqi al-Nazlī.

Sumber-sumber rujukan yang digunakan, selain jumlah- nya banyak, yaitu 31 judul kitab tafsir, karakteristiknya juga be- ragam: tafsir ringkas, misalnya Jalālain karya Jalāluddīn al- Suyūṭī dan Jalāluddīn al-Maḥallī; tafsir fikih, misalnya Ṡafwah al- Tafāsir karya Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī; tafsir bi al-riwāyat, misalnya Tafsīr al-Ṭabarī karya Abī Ja’far Muḥammad al-Ṭabarī dan al-Durr al-Manṡūr karya Jalāluddīn ‘Abd al-Raḥmān al- Suyūṭī; tafsir rasional, misalnya Tafsīr al-Kasysyāf karya Maḥmud ibn ‘Amr al-Zamakhsyarī. Keragaman judul dan karak- teristik tafsir yang dirujuk tersebut mencerminkan dari kelua- san bacaan kiai Shodiq dan sekaligus keterbukaannya terhadap berbagai aliran tafsir.

Sebelum memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat di atas, Kiai Shodiq menelaah berbagai model penulisan kitab tafsir, terutama yang berbahasa Indonesia dan Jawa yang telah beredar di masyarakat, seperti tafsir Al-Ibrīz karya Kiai Bisri Mustafa dan Al-Iklīl karya Kiai Misbah Mustafa, Faiḍ al-Raḥmān karya Kiai Ṣālih ibn ‘Umar al-Samarānī, serta tafsir- tafsir berbahasa Indonesia aksara Latin, seperti tafsir Al- Mishbah karya M. Quraish Shihab. Tafsir-tafsir tersebut, baik yang ditulis memakai Bahasa Indonesia aksara Latin maupun Pegon Jawa, bagi mereka menyisakan kerumitan: uraiannya kompleks dan kurang praktis; aksara Pegon dan model makna gandul juga menjadi kendala, karena mereka tidak pernah bela- jar di pesantren di mana sistem pembelajaran semacam ini diajarkan.

Mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan tersebut, Tafsīr Al-Bayān ditulis secara praktis, ringkas, dan memakai aksara Latin. Oleh karena itu, tafsir ini ditulis bukan semata- mata dalam rangka mengemukakan gagasan-gagasan dan pan- dangan dunia yang dibangun Al-Qur’an, tetapi juga tertumpu pada hal-hal praktis yang dibutuhkan oleh audiens: masyarakat awam. Di dalam konteks lingkaran hermeneutik (teks, penafsir dan audiens), unsur utama yang dominan dalam mengkonsep- sikan tafsir ini adalah kebutuhan dan kondisi audiens tersebut.

Meski demikian, di dalam tafsir ini Kiai Shodiq tetap mengangkut teknik makna gandul, yaitu teknik pemberian makna perkata yang ada dalam ayat Al-Qur’an sebagaimana yang hidup dalam tradisi pembelajaran kitab kuning di pe- santren, tetapi dalam tafsir ini diaplikasikan pada aksara Latin dan ditulis secara berderet, bukan menggantung. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi pesantren, pilihan ini menc- erminkan kesadaran bahwa teknik tersebut memberikan dua keuntungan. Pertama, pembaca mengetahui makna setiap kata dalam ayat yang diterjemahkan; kedua, pembaca mengetahui konteks dan posisi tiap-tiap kata dalam rangkaian kalimat.

Baca juga:  Munasabah Surah: Al-‘Alaq dan Al-Ikhlas

Metode dan manfaat semacam ini tidak kita temukan dalam model terjemahan Al-Qur’an perkata dalam bahasa Indonesia.

Pada aspek karakteristik bahasa Jawa yang dipakai, yaitu bahasa Jawa Ngoko, dalam konteks sosial budaya, tafsir ini cerminan dari audien tafsir yang terdiri dari masyarakat awam. Kita tahu bahwa Jawa Ngoko merupakan kategori bahasa Jawa yang dipakai di kalangan masyarakat umum, bersifat terbuka, dan bersahaja. Oleh karena itu, melalui karakter bahasa yang demikian, Kiai Shodiq menghadirkan tafsir yang tidak berjarak dengan para pembacanya di masyarakat Jawa.

Dari sisi metode penafsiran, Tafsīr Al-Bayān ditulis secara ringas dengan cara mengemukakan pesan inti dari masing-masing ayat. Analisis kebahasaan yang cenderung rumit dihindari, demikian juga diskusi dan perdebatan dalam aspek fikih. Hal tersebut dipilih, karena sejak awal tafsir ini didesain sebagai sa- lah satu sajian dan layanan praktis atas kebutuhan masyarakat awam tentang pesan-pesan inti Al-Qur’an.

Meski ditulis secara singkat, praktis dan padat, aspek- aspek yang berkaitan dengan sebab turunnya wahyu, kata kunci dari suatu ayat, serta hikmah dan keutamaan dari suatu ayat atau sūrah dipaparkan merupakan bagian yang cukup dominan dalam tafsir ini. Misalnya, ketika menjelaskan tentang makna nafs wāḥidah dalam sūrah Al-Nisā’: 1, Kiai Shodiq memaparkan aspek kebahasaan dan sekaligus memilih satu makna dari ka- limat tersebut. Maksud dari istilah tersebut menurut dia adalah bahan baku diciptakannya Nabi Adam, yaitu tanah.

Hal serupa kita temukan di sejumlah kasus yang lain. Bahkan, ketika menerjemahkan kata per kata, pada hakikatnya, dia juga melakukan praktik penafsiran. Sebab, dari sisi fungsi, terjemah yang dilakukan kiai Shodiq bukan hanya pengalihan teks: dari satu bahasa ke bahasa yang lain, tetapi di dalamnya juga terjadi pemilihan makna dalam praktik pengalihana tersebut. Misalnya, ketika menerjemahkan kata al-raḥmān dan al- raḥīm dalam sūrah Al-Fātihah, dia sekaligus juga memberi-kan makna khusus. Kata al-raḥmān diterjemahkan dengan kang paring gede-gedenen nikmat, sedangkan kata al-raḥīm diter- jemahkan kang paring cilik-cilik’e nikmat ning akhirot bloko. Terjemahan semacam ini tentu tidak hanya bentuk pengalihan bahasa, tetapi juga pengungkapan makna yang terkandung dalam kata.

Dari Teks Hermeneutik ke Teks Performatif

Meskipun ditulis secara singkat dan padat, secara paradig- matik Tafsīr al-Bayān mengekspresikan dua aspek utama dalam praktik penafsiran Al-Qur’an. Pertama, teks Al-Qur’an diposisi- kan sebagai teks hermeneutik, yaitu suatu teks yang ditafsirkan dan dipahami melalui perangkat bahasa. Cara ini dilakukan, ka- rena teks Al-Qur’an dipandang sebagai teks kebahasaan yang di dalamnya mengandung informasi dan pengetahuan. Secara ek- splisit, dalam dirinya sendiri, Al-Qur’an disebut sebagai kitab petunjuk (hidāyah). Klaim “sebagai petunjuk” tersebut, secara tekstual berarti dia harus dieksplorasi dan digali melalui aspek kebahasaan, sehingga petunjuk dan pengetahuan tersebut bisa ditemukan dengan baik. Praktik hermeneutik semacam ini me- lahirkan tafsir yang berlapis-lapis dan dalam sejarah khazanah umat Islam telah memproduksi beragam teks tafsir, baik dari sisi teknis, metode maupun ideologi.

Kedua, selain mengekspresikan tindakan hermeneutik, Tafsīr Al-Bayān juga mengekspresikan tindakan performatif atas teks Al-Qur’an. Tindakan performatif yang dimaksud di sini adalah cara bagaimana teks Al-Qur’an tidak dipahami melalui sisi kebahasaan untuk menemukan pengetahuan dan petunjuk

Tuhan, melainkan ia diekspresikan dalam sistem tindakan. Tindakan performatif tersebut tidak menggali pengetahuan atau petunjuk dari dalam teks Al-Qur’an, tetapi melalui kelisanan Al- Qur’an seseorang memasuki dunia pengalaman dan berusaha menemukan ketenangan. Oleh karena itu, meskipun dibangun oleh keyakinan, ia tidak berada dalam ruang kognitif atau intel- ektual, melainkan bersifat ‘irfānī dan ḥuḍurī; ia tidak mengeluar- kan pengertian-pengertian konsep-tual dari dalam Al-Qur’an melainkan justru subjek menyelami kelisanan Al-Qur’an untuk menemukan ketenangan dan ketentraman.

Tindakan performatif tersebut dibangun melalui berbagai kisah dan riwayat yang bersumber dari Nabi. Riwayat-riwayat tersebut berisi mengenai keutamaan atau hikmah dari sūrah maupun ayat yang disertakan pada banyak konteks dan tempat dalam Tafsīr Al-Bayān ini. Misalnya, riwayat tentang orang yang membiasakan membaca sūrah Al-Mulk, maka bacaannya terse- but akan menjadi pembela dari siksa kubur; riwayat tentang orang yang membiasakan membaca sūrah Al-Nisā’ dia akan dihindarkan dari perilaku syirik; riwayat tentang rumah yang tidak akan dimasuki setan bila pemiliknya membiasakan mem- baca sūrah Al-Baqarah; dan riwayat-riwayat yang lain.

Menempatkan riwayat-riwayat tersebut pada setiap sūrah yang memiliki kaitan dengan riwayat tersebut merupa- kan pilihan bahwa Al-Qur’an tidak selalu didekati dalam konteks hermeneutik, tetapi melalui kelisanannya seseorang berusaha menemukan ketenangan dan ketrentraman ruhani. Cara ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya berguna bagi masyarakat intelektual tetapi juga masyarakat amam. Na- mun perlu disadari, bila tidak hati-hati, cara ini bisa menjadi penyebab melemahnya progresivitas intelektual dalam meng- gali pesan-pesan Tuhan dalam Al-Qur’an. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top