Rasa-rasanya hampir semua umat Islam pasti pernah mendengar nama Sayidah Khadijah, istri Rasulullah saw yang mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk perjuangan Islam, terutama di masa-masa awal pertumbuhannya yang penuh rintangan dan tantangan berat.
Sosok saudagar sukses itu bukan hanya menjadi penyemangat utama di kala sang Nabi lelah dan gelisah, atau pun berperan sebagai sahabat berbagi suka dan duka, melainkan juga merelakan seluruh hartanya habis demi membiayai kebutuhan dakwah agama.
Begitu pentingnya kehadiran Sayidah Khadijah bagi Nabi Muhammad saw hingga kepergiannya menghadap Tuhan betul-betul membuat beliau merasa kehilangan dan terpukul, sekaligus menandai masa yang disebut sebagai ‘amul huzni (tahun kesedihan).
Selain Sayidah Khadijah, ada pula Sayidah Aisyah, yang dipersunting Rasulullah saw selang sepuluh tahun pasca kenabian. Putri Abu Bakar As-Shiddiq itu merupakan figur perempuan yang tangguh, cerdas, serta perawi hadis yang masyhur. Konon lebih dari 1.200 hadis diriwayatkan oleh Sayidah Aisyah, yang menunjukkan betapa perannya sungguh tidak kecil dalam penyebaran ajaran Islam.
Tanpa khazanah hadis yang dihimpun dari beliau, umat Islam sampai hari ini niscaya tidak akan tahu banyak tentang keteladanan Rasulullah saw sebagai suami, berbagai ibadah wajib dan sunnah yang dikerjakan sewaktu di rumah, serta aneka macam isu atau topik pembahasan lintas disiplin ilmu keislaman lainnya.
Kiprah dua orang ummul mukminin tersebut setidaknya menggambarkan kenyataan bahwa sejarah awal Islam tidaklah sepi dari keterlibatan kaum perempuan sebagai pelaku utama yang tak kalah penting dibanding kaum laki-laki. Mereka menjalankan tugas seorang ibu dan istri, namun juga aktif memikirkan kepentingan publik.
Memang para perempuan punya kodrat yang berbeda, alias tak sama dengan lawan jenisnya. Mereka mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anak, di samping juga memiliki beberapa keterbatasan kemampuan fisik. Tetapi semua itu tak pernah dijadikan alasan oleh agama untuk memandang rendah kontribusi perempuan di luar “urusan rumah”, apalagi sampai mencederai prinsip kesetaraan.
Tentu saja “setara” yang dimaksudkan di sini bukanlah berarti “sama”. Kesetaraan lebih mengacu pada peniadaan suatu hubungan yang timpang atau superior-inferior relationship; yakni salah satu pihak merasa lebih berkuasa atas pihak lainnya, termasuk pembatasan ruang gerak kreativitas dan produktivitas yang dilandasi keinginan untuk mendominasi. Bahkan Islam mengecam budaya patriarkis yang memandang perempuan tak ubahnya seonggok “properti” yang boleh diperlakukan semena-mena.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga, Al-Qur’an malah menyinggungnya dengan perumpamaan yang indah: “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (para suami) adalah pakaian bagi mereka,” (QS 2:187). Tak ada yang lebih tinggi, atau lebih rendah. Satu sama lain saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Kalaulah predikat kepala keluarga melekat pada diri suami, hal itu disematkan lantaran kewajiban mencari nafkah yang diletakkan di pundaknya, serta jaminan perlindungan dan keteladanan yang diharapkan terpancar dari sikap dan perilakunya, bukan pengabsahan hak untuk serba melarang atau pun melakukan kekerasan terhadap pasangan.
Terlebih di masa kini pada praktiknya banyak perempuan berprofesi rangkap; berkarir di luar rumah, namun juga sibuk menangani tugas-tugas keluarga. Rutinitas keseharian mereka nyaris selalu padat dan melelahkan. Berkutat di dapur, ruang makan, dan tempat cucian di kala pagi, lalu beraktivitas di kantor atau tempat kerja, dan disambung lagi dengan aneka kegiatan berbenah sewaktu malam telah tiba.
Mereka umumnya tidak mempersoalkan beban berat yang dipikulnya, dan tak menuntut imbalan atas jerih payahnya. Kaum perempuan lebih ingin dihargai, dihormati eksistensinya, yang nyaris tak kenal lelah berusaha mengasuh dan mendidik tunas-tunas bangsa.