Karena kehidupan itu ujian, kita tak mungkin mengharap semua kisah yang dialami selalu berjalan indah, tanpa hambatan, tanpa kendala, tanpa masalah. Sedih dan gembira, susah dan bahagia, gagal dan sukses, akan senantiasa berputar terus, datang, dan menghilang sebagaimana silih bergantinya siang dan malam.
Seperti halnya yang sedang berlangsung saat ini. Wabah korona membuat kita menjalani hari-hari tidak seperti biasanya. Ruang gerak dibatasi. Sebagian besar aktivitas di luar rumah harus dihentikan. Siapa pun dihimbau melakukan physical distancing (menjaga jarak fisik) demi memutus rantai penyeberan virus yang telah menelan korban ratusan jiwa di negeri kita.
Perputaran roda ekonomi pun melambat karena lalu-lintas manusia dan barang berkurang. Berbagai sektor usaha melemah, dan perlahan-lahan mengakibatkan naiknya angka pengangguran. Pemerintah memang tengah berupaya keras mengulurkan bantuan melalui beragam kebijakan tanggap darurat. Tetapi intensitas maupun skala dampak turunan wabah korona yang tak ringan dan kecil menyebabkan masyarakat, terutama di lapisan bawah, harus tetap bergelut dengan persoalan finansial yang cukup pelik.
Lalu bagaimana cara menyiasatinya?
Tentu tak ada resep yang sederhana dan instan semudah membalik telapak tangan. Namun kesehatan mental dan kesiapan jiwa setidaknya adalah benteng pertahanan utama yang harus dijaga dan diperkuat.
Rapuhnya mental bakal menurunkan imunitas tubuh, memperbesar peluang masuknya penyakit, bahkan bisa menjadikan kita benar-benar jatuh sakit sebelum “waktunya tiba”. Bermula dari rasa sedih, cemas, dan khawatir berlebihan yang dipelihara, misalnya, seseorang menjadi rentan dihinggapi penyakit fisik atau yang biasa disebut psikosomatis, yakni terganggunya raga lantaran ketidakstabilan kondisi jiwa.
Sebaliknya, mental yang kokoh akan mendongkrak daya tahan tubuh, melipatgandakan kekuatan fisik untuk menangkis dan menaklukkan serangan beragam penyakit, tak terkecuali virus yang mengintai di sekeliling kita. Ketangguhan mental juga dapat membantu otak berpikir lebih jernih dan rileks, serta menciptakan kedamaian hati sehingga menstimulasi rasa bahagia dengan cepat.
Suasana kejiwaan yang positif itu pada gilirannya bisa membuat akal bekerja lebih kreatif pula, demi menggali atau mengeksplorasi gagasan dan peluang baru yang bersembunyi di balik realitas masalah. Contoh paling gamblang mengenai hal ini adalah massifnya penggunaan wahana daring untuk menyampaikan pelajaran kepada anak didik di saat aktivitas tatap muka di sekolah-sekolah terpaksa harus diliburkan dalam jangka waktu lama.
Demikian juga kantor-kantor yang memberlakukan WFH (work from home/bekerja dari rumah) bagi para karyawannya dalam rangka menekan laju penyebaran wabah korona. Pendek kata, musibah yang menimpa tak selamanya melahirkan derita semata apabila kita bersedia gigih mencari “titik terang” (bright spot) yang dapat dimanfaatkan untuk memandu kaki meniti jalan keluar.
Hanya saja, perlu disadari bahwa buah kreativitas sangat mungkin belum bisa kita petik esok pagi, lusa, atau minggu depan. Para inovator kelas dunia pun butuh waktu lama sebelum menikmati hasil kreasinya. Tetapi yang pasti; mereka selalu bergerak ke depan, memilih bangkit setelah jatuh, merintis usaha lagi seusai gagal berkali-kali, berspekulasi dengan mencoba hal-hal baru, serta tak mau meratapi badai keterpurukan yang terkadang datang di luar perkiraan.
Mental atau jiwa kreatif inilah yang kini kita butuhkan. Kendati seratus persen takdir terjadi atas kehendak Tuhan, sungguh tak elok bila tangan cuma dipakai menengadah memohon belas kasih-Nya, tanpa dioptimalkan untuk bergerak menjajaki segala bentuk usaha, sehingga selaras dengan bunyi sebuah pepatah: “Wurudul imdad bihasabil isti’dad”; datangnya pertolongan sesuai kadar kesiapan. Wallahu ‘alam..