Sebuah pertanyaan menarik diajukan Abu Abdullah al-Husein bin Ahmad bin Sa’dan, seorang menteri pada dinasti Buwaihi (373-375 H): “Apakah ada perempuan yang menjadi laki-laki ?”
Abu Hayyan at-Tauhidi menjawab, “Abu Sa’id as-Sairafi menceritakan kepadaku bahwa Aisyah binti Abu Bakar pernah disebut sebagai laki-laki Arab (Rajulah al-Arab)”. Kata “rajulah” ini tentu saja tidak sama dengan “mutarajjilah” yang artinya perempuan yang berperilaku laki-laki atau perempuan yang kelelaki-lakian.
“Rajulah” berarti mempunyai kecerdasan dan keberanian seperti umumnya laki-laki, atau lebih tepatnya memiliki karakter “maskulinitas”. Istilah ini muncul tentu saja di tengah tradisi patriarkhis yang kuatnya bukan main.
Sayangnya, kata Abu Sa’id, “orang asing (luar Arab) kemudian menenggelamkan predikat ini dari sirkuit sejarah. Sehingga tidak banyak orang mengenal Aisyah disebut kaumnya demikian. Demi Tuhan, dia benar-benar begitu.”
Baca juga:
- Perempuan Sunda yang Pertama Kali Pidato di Muktamar NU
- Fathimah, Sufi Perempuan dari Naisabur
- Siti Munjiyah, Ulama Perempuan Muhammadiyah
“Saya pernah mendengar orang mengatakan, ‘Kalau saja ayahnya punya anak laki-laki seperti dia (Aisyah) niscaya dia tidak akan bisa berbuat apa-apa di hadapannya (Aisyah)’. Sang menteri bertanya lagi, ‘Apakah Anda punya informasi tentang pandangan-pandangannya?’. “Sangat banyak. Dia bicara banyak tentang hukum-hukum agama. Pendapat-pendapatnya sangat diperhatikan dan ditransmisikan, jawab Abu Hayyan. Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah menyampaikan tentang al-akhlaq al-karimah (budi perkerti luhur). Katanya, ‘Ada 10 akhlak karimah: jujur dalam ucapan, terbuka terhadap orang lain, menjaga amanat (kepercayaan), silaturrahim, menyampaikan kebaikan, memperhatikan tetangga, menyayangi teman, membayar layak para pekerja, menjamu tamu dan paling penting adalah memiliki rasa malu (untuk berbuat jahat).