Orang-orang yang dekat Gus Dur, bercerita, jika tak ada teman yang diajak bicara dan beliau sendirian, maka dalam waktu yang sunyi sepi itu ia membaca surah al-Fatihah, entah berapa kali, lalu membaca selawat atas Nabi, tawasul dan berdoa untuk dirinya sendiri, kedua orangtua, keluarga, untuk para wali (para kekasih Tuhan), para ulama yang telah wafat dan untuk bangsa dan negara yang dicintainya.
Ada juga orang yang bercerita : “Jika tangan Gus Dur tak pernah berhenti bergerak-gerak, seperti mengetuk-ngetuk, sebenarnya dia sedang berzikir : Allah, Allah, Allah. Tangan itu menggantikan tasbih”. Itulah jalan spiritual (thariqah)-nya. Aku diam saja.
Aku sendiri tak pernah tahu atau mendengar dan tak pernah bertanya, apakah Tarekat Gus Dur? Atau Gus Dur itu mengamalkan Tarikat apa: Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah-Naqsyabadiyah, Syazdiliyah, Tijaniyah, Mawlawiyah, Rifa’iyyah atau yang lainnya?
Aku tak bisa menjwab. Aku kira beliau tak terikat pada satu tarekat. Boleh jadi dia juga tak mau berkomentar soal “mu’tabarah” (diakui) atau “ghair mu’tabarah” (tidak diakui) dalam hal ini.
Baginya semua tarekat baik adanya, karena ia adalah jalan spiritual yang ditemukan oleh seseorang dengan pengalamannya masing-masing.
Seorang teman mengatakan bahwa beliau telah memperoleh “Ijazah”, semacam perkenan mengamalkan suatu tarekat dari banyak sekali guru-guru atau “mursyid” tarekat, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri.
Gus Dur terlalu sering berziarah ke tempat-tempat peristirahatan para pendiri Tarekat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Tarikat (Thariqah) adalah cara atau jalan menuju Tuhan berdimensi esoterik, batin, spiritual. Para pengikut Tarekat biasanya menempuh perjalanan menuju Tuhan ini melalui aktifitas ritual-ritual zikir (mengingat dan menyebut) Tuhan, permenungan dalam keheningan malam, ketika segala aktifitas manusia berhenti dan pintu-pintu rumah telah terkunci dan sepi.
Zikir-zikir kepada Tuhan itu diucapkan mereka berkali-kali, puluhan dan ratusan kali, hingga Dia lekat di hati. Ketika Dia telah lekat dan menyatu di hatinya, maka Dia menjadi matanya, menjadi pendengarannya, menjadi tangan dan kakinya. Ini disebutkan dalam hadits Qudsi. Imam al-Bukhari, master hadits terkemuka menulis :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Manakala hambaku mendekati-Ku, dengan selalu mengingat-Ku, sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka dia melihat dengan Mata-Ku, mendengar dengan Pendengaran-Ku, memukul dengan Tangan-Ku, berjalan dengan Kaki-Ku. Bila dia meminta, Aku akan mengabulkannya dan bila dia memohon perlindungan-Ku, Aku melindunginya”.
Dalam tradisi di kalangan masyarakat umum, zikir-zikir, doa-doa dan Istighatsah (memohon pertolongan Tuhan), dilakukan sebagai upaya melepaskan segala kegalauan, kecemasan, kerisauan dan kemelut-kemelut kehidupan atau untuk meminta sesuatu yang diimpikannya. Ini berbeda dengan para kaum sufi.
Doa dan segala zikir dipanjatkan lebih dalam rangka memohonkan ampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya sehingga segalanya diridhai dan ia menjadi orang yang dicintai-Nya. Bagi mereka apapun yang dilakukan dalam kehidupan, tak ada maknanya, tanpa kerelaan dan cinta Tuhan.
Menjelang ziarah ke Ma’la
Makkah, 22/12/2028