Bagi orang Jawa teologi tampaknya bukanlah sebentuk “ilmu teoritis” sebagaimana ilmu kalam dan ilmu teologi abad pertengahan yang melahirkan paham yang beraneka ragam. Teologi orang Jawa, yang masih lekat dengan kejawaannya, sama sekali tak terkait dengan “logos” yang menjadi dasar bagi keberadaan ilmu teologi.
Teologi orang-orang Jawa yang masih lekat dengan kejawaannya penuh dengan perlambang yang serupa dengan mitos dimana bukanlah nalar yang menjadi piranti epistemologis untuk mencernanya. “Logos” sendiri secara harfiah bermakna “sabda” yang karenanya Heidegger kemudian mengartikan “logika” sebagai istilah turunan darinya sebagai ilmu tentang proposisi atau “episteme logike” (Introduction to Metaphysics, 1959).
Seandainya nalar (reason) lebih terkait dengan bahasa, proposisi, lantas dengan piranti apakah orang-orang Jawa di masa silam mencerna Tuhannya mengingat teologi orang-orang Jawa sama sekali tak terkait dengan olah nalar sebagaimana dalam teologi abad pertengahan? Saya kira hal ini serupa dengan orang-orang Yunani di masa purba dimana mereka lebih menitikberatkan pada “nous,” yang oleh Heidegger—dengan mengutip Eickhart—disepadankan dengan “seelenfunklein” atau secara harfiah bermakna percikan ruh, dan bukannya logos sebagai piranti untuk mencerap pengetahuan.
“Nous” dalam hal ini lebih mendekati istilah Jawa “panggalih.” Di samping istilah “pamikir” dan “pangrasa” orang-orang Jawa di masa silam juga memiliki istilah lain yang sama-sama merujuk pada aktivitas reflektif dengan tingkatan yang berbeda yang dikenal sebagai “panggalih” tersebut. “Panggalih” memiliki akar kata “galih” yang berarti inti, jantung, atau hati yang lebih mendekati pengertian nous daripada logos—atau yang oleh al-Ghazali disebut sebagai “qalb” yang merupakan latifah rabaniyah-ruhaniyah (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Meskipun terkadang antara rasa dan hati sering tumpang-tindih, tapi keduanya dapat dipilah.
Pada dasarnya, saya kira, orang tak pernah berpikir dengan menggunakan kepala dimana otak biasanya dianggap terletak. Entah kenapa selama ini ketika orang berpikir kerap digambarkan dengan penampakan wujud kepala, seperti mendamik kepala atau menyangga dagu. Padahal tak ada aktivitas berpikir yang tanpa menggunakan kata-kata. Dan jelas, terdapat istilah “kata hati” dan bukannya “kata otak” ataupun “kata kepala.” Dengan kata lain, dengan istilah “kata hati” ini jelas bahwa hatilah yang berbicara atau berkata-kata dan bukannya otak dimana akal biasanya dianggap terletak. Karena itu, saya kira, dapat dipahami bahwa istilah “akal” merupakan pengadaptasian istilah Arab “qalb” yang dimaknai pula oleh al-Ghazali sebagai “taqallub” atau yang terbolak-balik. Jadi, “akal” adalah bagian dari hati, atau secara khusus, hati yang belum memusat (galih) dan karenanya cepat berubah atau terbolak-balik.
Taruhlah seekor laba-laba yang membuat sarangnya yang sedemikian uniknya hingga dapat menjerat mangsa. Laba-laba jelas tak punya pikiran, padahal jelas sering diungkapkan bahwa seorang arsitek atau tukang bangunan pasti menggunakan pikiran atau nalarnya untuk membuat rancangan sebelum membuat sebuah bangunan. Atau taruhlah seorang yang mengigau ketika tidur. Pikiran atau nalarnya terang tak lagi berfungsi sebagaimana saat kondisi sadar, tapi orang itu tetap berkata-kata.
Dalam ranah agama, khususnya sufisme atau Islam penghayatan, orang tentu paham akan adanya “waham” dan “ilham.” Waham lebih merujuk pada angan yang masih bermediakan kata-kata yang sering juga dianggap terletak di kepala yang berhubungan dengan pikiran. Sementara “ilham” pada sebentuk pemahaman yang tak perlu bermediakan kata-kata atau seandainya pun menggunakan kata-kata adalah sesudah mendapatkan ilham. Bukankah banyak ungkapan sufistik atau ungkapan kawruh yang membuat nalar kelu dan sia-sia semisal “Kakange mbarep adine wuragil (kakaknya yang sulung dan adiknya yang bungsu)”? Gamblang, dalam ungkapan sufistik atau ungkapan kawruh ini bukanlah fakultas “pamikir” ataupun “pangrasa” yang mampu menemukan jawabannya, tapi “panggalih” yang merupakan perpaduan keduanya. Di sinilah kemudian apa yang disebut sebagai tasawuf-filsafati lahir.
Terdapat sebuah naskah yang merupakan tilaran Pakubuwana IX yang dapat mewakili salah satu corak teologi orang-orang Jawa di masa silam yang saya istilahkan sebagai “teologi wayang purwa” (Wulang Dalem PB IX, Angabei IV, I900. 1795: 16 Mei 1866 dan 4 Mei 1867). Naskah ini konon ditulis untuk memperingati kelahiran sang raja. Yang menarik dari naskah yang terdiri dari 20 pupuh (bait) ini adalah dipakainya pagelaran wayang purwa sebagai sebentuk teologi yang tak menyandarkan diri pada logos. Dan dalam hal inilah pagelaran wayang tak semata bersifat tontonan yang memiliki aspek hiburan semata, tapi adalah juga sebentuk cara berada (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo,CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).
Secara umum, kehidupan kerap diperumpamakan sebagai sebuah sandiwara besar sebagaimana yang dinyatakan oleh Shakespeare ataupun Abdurrahman al-Jami’ dengan romannya tentang Laila-Majnun. Di Jawa, sandiwara ini dikenal dengan istilah “pagelaran” yang sangat detail dilukiskan dalam pertunjukan wayang purwa dimana sang dalang dituntut untuk tak sekedar bisa menggelar, tapi juga menggulung. Logika menggelar dan menggulung ini secara teknis memang berkaitan dengan kelir yang mesti digelar sebagai tempat untuk membabarkan lakon sebelum pagelaran dimulai dan mesti pula digulung ketika pagelaran sudah selesai. Sedangkan secara filosofis, tuntutan untuk seandainya bisa menggelar mestilah pula bisa menggulung berkaitan dengan setiap manusia yang hidup.
Ibaratkan kehidupan itu berawal dari benih yang mesti dibabarkan untuk menjadi sebuah pohon besar yang lengkap dengan batang, dahan, dan rantingnya—dimana dalam ilmu pedalangan teknis lakon wayang yang mesti digelar diperumpamakan pula dengan sebatang pohon: batang pohon merupakan lakon baku, adapun dahan atau rantingnya merupakan lakon carangan.
Pada dasarnya, dengan ungkapan “lamun bisa nggelar kudu bisa ngukut,” tak semata berkaitan dengan tuntutan dalang wayang purwa dan pagelarannya. Hal ini juga berkaitan dengan kita yang berkedudukan sebagai manusia yang tengah hidup di alam dunia. Terkait dengan benih tentu bukan kuasa kita untuk menciptakannya. Tapi, terkait dengan keberlangsungan benih itu terletak pada kita sebagai manusia (“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Tepat di sinilah wejangan PB IX dengan media pagelaran wayang purwa menemukan konteksnya. Pada umumnya banyak orang menganggap bahwa dalang dalam pagelaran wayang purwa merupakan representasi Tuhan sehingga ada pula yang menyatakan bahwa Tuhan sebagai Sang Maha Dalang. Tapi, dalam wejangan PB IX, dalang ternyata bukanlah Tuhan yang secara teologis melahirkan paham jabariyah atau fatalisme dimana setiap apa yang terjadi pada pagelaran sepenuhnya dalam kendali sang dalang.
PB IX menisbahkan Tuhan itu pada yang menanggap dan bukannya pada dalang. Ia mengistilahkan yang menanggap pagelaran wayang purwa itu sebagai “Sang Hyang Manon” (Yang Maha Tahu). “Kang ananggap neng sajroning kelir/Yaiku Hyang Manon/ Tunggal abad tunggal ajaline/ Lan ki dhalang loroning asiji/ Jatine mung siji/ Sirnaning kang makluk” (Yang menanggap di balik kelir/ Adalah Yang Maha Tahu/ Tunggal waktu tunggal kepurbaannya/ Dengan dalang dwitunggal/ Sejatinya hanya tunggal/ Fananya sang makhluk)
Sang dalang, dalam logika PB IX itu, hanyalah “utusan” Tuhan dan bukannya Tuhan itu sendiri yang adalah Sang Hyang Manon atau yang menanggap di balik kelir. Hubungan diantara keduanya, yang menanggap dan sang dalang, dengan ungkapan “loroning asiji,” pada dasarnya adalah seperti halnya konsep manunggaling kawula-Gusti yang mengendap dalam instrumen gambang (Manunggaling Kawula-Gusti dan Sufisme Gambang, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dengan demikian, lepaslah teologi wayang purwa dari tuduhan sebagai paham jabariyah (fatalisme) sekaligus qadariyah (kehendak bebas). Sebab, PB IX juga menyatakan bahwa ada kalanya sebuah pagelaran wayang purwa dinilai “gagal” sebagaimana kehidupan seorang manusia yang dinilai pula “gagal”—dimana dalam diskursus keagamaan disebut sebagai orang yang tak selamat.
“Nanging ki dhalang asring praduli/ Unine kang nonton/ Dadi nora turut lelakone/ Saking kehnya swara kang kapyarsi/ Keron dennya ngringgit/ Byar wayange kantun (Namun Ki Dalang sering peduli/ Suara para pemirsa/ Menjadi tak runtut lakonnya/ Saking banyaknya suara yang didengar/ Bubrahlah pagelarannya/ Melewati batas waktu)
Blencong wutah kecer turut margi/ Tur kelire amoh/ Wiyagane bubar boya dherek/ Tan patemon lan kang nanggap singgih/ Opah nora tampi/ Ulihe barundul” (Blencong tumpah sepanjang jalan/ Kelirnya rusak pula/ Para pemusiknya tak ikut/ Bersua yang menanggap/ Upah tak menerima/ Pulangnya penuh sesal)
Idealnya, sehabis pagelaran—baik pagelaran wayang maupun pagelaran kehidupan—dalang beserta para niyaga dan pesinden-nya mesti bersua (sapatemon) dengan yang menanggap yang selama ini berada di balik kelir. Sebab, tanpa adanya yang menanggap tentu pagelaran itu tak ada, yang otomatis, dalang beserta anak buahnya pun tak ada. Terdapat istilah yang cukup bagus dalam bahasa Indonesia untuk melukiskan hal ini: “prakarsa.” Yang menanggap adalah sang pemrakarsa keseluruhan pagelaran. “Prakarsa” berkaitan dengan “karsa” atau “kehendak” dimana yang menanggap menyerahkannya sebagian pada sang dalang untuk mengatur pagelarannya sendiri. Dalang yang bertanggungjawab, karena itu, mesti menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak yang menanggap agar pagelarannya selamat. Di sinilah saya kira, pada akhirnya sufisme ataupun tradisi-tradisi spiritual lainnya menemukan ruangnya. Bagaimana keridhaan manusia selaras dengan keridhaanNya, seperti halnya alunan gending yang “nyamleng” atau pas dengan rasa.
Apa yang saya sebut sebagai teologi wayang purwa ini memang cukup kental dengan nuansa tasawuf-filsafati Ibn ‘Arabi yang dikenal sebagai sang kutub pengetahuan. Ibn ‘Arabi sendiri terkenal dengan dalil “Tuhan” sebagai “kanzan makhfiyyan” yang mendasari keseluruhan pemikiran sufistiknya. Karena itulah PB IX menyatakan yang menanggap sebagai Sang Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Istilah “tahu” berkaitan dengan “pengetahuan” atau “kawruh” dalam istilah Jawa yang berkaitan dengan kata kerja “weruh” (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, 2020).
Dengan demikian, saya kira, perdebatan dalam diskursus tasawuf selama ini, antara para pengikut Ibn ‘Arabi yang berpaham wihdatul wujud dan para pengikut Ahmad Sirhindi yang berpaham wihdatus syuhud, tak relevan lagi untuk diperdebatkan. Sebab, melalui perumpamaan pagelaran wayang purwa, baik wihdatul wujud maupun wihdatus syuhud, sama-sama menemukan ruangnya. Bukankah metode dzikir latifah yang diciptakan oleh Ahmad Sirhindi yang memiliki 7 jenjang juga sebangun dengan 7 jenjang sajaratul yaqin dalam tradisi wujudiyah?