Waktu, atau yang dalam kebudayaan Jawa sering disebut sebagai kala, dan jauh sebelum Heidegger mengkonsepsikan waktu yang ternyata erat kaitannya dengan manusia, orang-orang Jawa di masa silam sudah menjalin hubungan yang mesra dengan kala.
Bagi orang-orang Jawa di masa silam, waktu itu seperti halnya detak jantung ataupun lenguhan nafas yang antara satu orang dengan orang lainnya tak sama, baik dalam hal kecepatan maupun kuantitas. Dengan demikian, dalam paradigma kebudayaan Jawa masa silam, sebenarnya sama sekali tak perlu apa yang kita kenal sebagai penanda waktu obyektif seperti arloji, jam, dst.
Seorang yang tengah berlapar-lapar puasa tentu akan mengalami perjalanan waktu yang berbeda dengan orang yang tak sedang berpuasa, meskipun mereka berada pada waktu obyektif yang sama. Karena sedemikian istimewanya, dalam kisah pewayangan Jawa dikisahkanlah bagaimana awal mula terciptanya waktu atau kala.
Ketika nganglang jagat, Sang Hyang Jagat Giri Nata konon tengah menahan berahi yang tak tertangungkan. Ia pun meminta isterinya, Batari Uma, untuk melayaninya. Namun, entah tersebab haid atau karena sang Batari juga tengah bertapa, berahi sang penguasa triloka itu tak mendapatkan jalannya. Akhirnya, dikisahkan muncratlah sperma sang Batara Guru ke lautan dan kemudian menjelma sesosok raksasa yang diberi nama Batara Kala.
Dari kisah pewayangan Jawa itu, waktu ternyata terbentuk secara intim dengan keberadaan manusia, bahkan pun ketika ia sudah berkaitan dengan proses awal kehidupan—seolah waktu itu sangat dekat dengan kehidupan, bahkan waktu itu seakan adalah hidup itu sendiri seperti ungkapan AIU: “Aku iki Urip” atau “Aku iya Urip.”
Jawa, ketika ditarik pada cakupan yang lebih luas seperti Indonesia, pada dasarnya sudah mengalami pergeseran. Ada banyak faktor yang menjadikan pergeseran-pergeseran itu. Secara geopolitik, pemindahan ibu kota negara otomatis akan mengubah paradigma kebudayaan Jawa lama tentang ideal Tamansari dunia, Mentaram yang juga diasalkan pada motarum atau berbau wangi (yang merujuk pada tanah). Pengubahan gelar raja Mataram-Yogyakarta beserta kisah suksesi kedepannya.
Dari dua fenomena kebudayaan Jawa itu jelas bahwa paradigma kebudayaan Jawa sampai pada kebutuhan untuk menata ulang tata-nilai, filosofi, dst. Jangka 7 ksatria Jawa sudah tuntas. Sudah tak ada lagi data sejarah tentang kemungkinan pasca 7 kstaria itu. Paling tidak, dalam literatur-literatur Jawa, sesudah kstaria ke-7 atau “Ksatria Pinandhita Sinisihan Wahyu,” tak ada penyebutan nama untuk ksatria ke-8.
Artinya, ketika di Jawa waktu tak dipahami secara linear, tertinggal dua kemungkinan yang dapat terjadi: kembali ke titik awal seperti halnya jalan melingkar atau berubah pada suasana dan kondisi yang sama sekali baru. Dan jelas, dua kemungkinan yang tersisa ini sama-sama tak tampak gampang untuk ditempuh.