Ada sesuatu yang menarik dari kata subasita, udanegara, atau adab dalam kebudayaan keraton di Jawa. Lazimnya, seorang abdi dalem akan menangkupkan kedua telapak tangannya dengan kedua jempol menyatu dan menempel di hidung.
“Nyuwun palilah,” katanya lirih pada seorang yang dianggap lebih senior dan dirasa lebih berpengaruh ketika namanya mengemuka untuk diberi tugas tertentu. Hal seperti ini dikenal sebagai gaya bahasa “bagongan,” anggah-ungguh berbahasa yang hidup dan dilestarikan dalam keraton di Jawa.
“Palilah” secara harfiah bermakna sebagai tak sekedar izin, tapi juga restu. Ada anggapan bahwa tanpa adanya restu tersebut sesuatu yang akan diemban atau peristiwa yang akan terjadi tak terberkati. Sekalipun barangkali itu semua terlaksana rasanya akan seperti mengendarai pinjaman mobil dimana yang empunya terpaksa meminjamkannya.
Sudah membawa mobil orang, dan pemiliknya pun terpaksa meminjamkannya, tentu kekhawatiran tak urung menyergap dua kali lipat. Itu sudah pasti akan memengaruhi perjalanan yang akan dilakukan.
Kepercayaan akan “palilah” atau restu memang menjadi karakteristik utama konsep kekuasaan Jawa tradisional. Seandainya Raden Patah di Demak memerlukan Walisongo sebagai legitimasi politik-kulturalnya, kerajaan Mataram Islam pun konon memerlukan sosok Nyi Rara Kidul yang memiliki fungsi serupa. Secara kosmologis, baik Walisongo maupun Nyi Rara Kidul, merupakan representasi alam—atau setidaknya autad atau bahkan kutubnya.
Dalam konsep kekuasaan Jawa tradisional hal seperti itu memang dapat dimaklumi mengingat kekuasaan adalah mutlak ditangan sang raja yang bersifat turun-temurun. Sekalipun kekuasaan itu ingin berganti tak urung pembangkangan dan pemberontakan adalah satu-satunya pilihan.
Sebab, konsep kekuasaan Jawa tradisional tak memberi ruang terhadap adanya pemilihan. Inilah yang menjadi dasar kultural konsep dan laku “palilah” tersebut di masa kerajaan tradisional. Seandainya di masa kini masih jamak ditemui orang yang mencari legitimasi politik-kultural semacam itu, maka dalam paradigma “palilah” inilah ia dan segala pendekatan politiknya menggantungkan diri.
Namun demikian, satu hal yang patut diutarakan, masihkah konsep kekuasaan di hari ini bersifat monarchical dan hirarkis, terpusat dan mengalir dari atas ke bawah? Bukankah demokrasi menyuguhkan konsep kekuasaan yang sebaliknya, dispersif dan menyembur dari bawah ke atas?
Seandainya demikian, maka masih bergunakah subasita dan udanegara lama untuk meminta “palilah” pada seorang “Sultan” dijadikan paradigma di alam demokrasi seperti ini?
Sebenarnya, tanpa mengacu pada konsep demokrasi di alam modern, kebudayaan Jawa tradisional tak pula tak menyajikan alternatif atau pandangan lain selain konsep dan laku “palilah” yang menyiratkan konsep kekuasaan Jawa tradisional yang bersifat monarchical dan hirarkis.
Pada kisah wayang purwa dan beberapa kisah sejarah kekuasaan Jawa terdapat apa yang disebut sebagai panakawan yang berintikan sesosok Semar atau Sabdapalon pada kisah Brawijaya V. Satu mitos pewayangan Jawa mengatakan bahwa hanya ksatria yang diembani oleh Semar yang akan memegang tampuk kepemimpinan, bukan oleh Bathara Guru, Rsi Drona, Rsi Bhisma atau bahkan Begawan Abiyasa.
Sebab, siapa yang dekat dengan Semar akan menjadi ksatria yang sinisihan wahyu, dimana di masa kini wahyu itu sepadan dengan kepercayaan publik. Dan barang siapa meminggirkan panakawan akan berubah menjadi ksatria siningkiran wahyu atau bahkan ksatria wirang sebagaimana Brawijaya V yang mengecewakan Sabdapalon.
Mitos di atas sebenarnya sangat sederhana untuk dipahami. Sebab, Semar adalah representasi kawula atau rakyat dimana hanya dengan melihatnya sama pula dengan melihat kawula atau rakyat itu sendiri. Adapun Bathara Guru, Rsi Drona, Rsi Bhisma, dan Begawan Abiyasa, adalah representasi sesembahan, yang tak mungkin kelak orang yang meminta “palilah” tersebut akan memerintahnya.
Konsep kekuasaan Jawa tradisional pun pada akhirnya tak mutlak seperti yang dikupas oleh para ilmuwan selama ini, baik ilmuwan politik, sejarah maupun antropologi Barat. Mereka semua, ketika berbicara tentang konsep kekuasaan Jawa dan berbagai renik yang mengitarinya di masa silam, beranjak dari konsep besar “Raja titising Dewa.”
Tapi penemuan saya tentang sosok Semar dalam kisah tutur dan pewayangan justru menyingkapkan bahwa tak hanya raja yang merupakan titising Dewa, Semar pun yang notabene seorang kawula juga merupakan titising Dewa. Hal ini senada dengan konsep kekuasaan dalam sistem demokrasi Barat dimana dalam adagium Latin dinyatakan bahwa “Vox Populi Vox Dei.”
Padahal, sebagaimana yang pernah saya catat, Semar sudah mengemuka dalam tradisi tulisan di Jawa sejak abad ke-14, dalam Kakawin Sudamala (Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Artinya, ketika yang dipercayai oleh orang-orang Jawa masa silam sebagai titising Dewa tak hanya seorang raja, tapi juga kawula sebagaimana pada kasus Semar, maka konsep kekuasaan Jawa di masa silam tak semata mutlak bersifat monarchical dan hirarkis seperti halnya yang digambarkan oleh para ilmuwan Barat tersebut.
Di sinilah pada akhirnya kebudayaan Jawa masa silam menyuguhkan pula sebentuk tafsir tandingan atas kekuasaan Jawa ketika kekuasaan itu disalahgunakan oleh para raja. Secara moral, pembangkangan dan pemeberontakan pada seorang raja bukanlah hal yang subversif, karena Dewa pun juga menitis pada para kawula yang direpresentasikan oleh sosok Semar.
Dengan kata lain, kebudayaan Jawa masa silam menghidangkan pula konsep kekuasaan yang dispersif atau pecah, menyebar dan mengalir dari bawah—tak jauh berbeda dengan penemuan Michel Foucault di dekade 70-an (Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Penguin Books,New York, 1977).
Tapi, berkaca pada sosok Semar, tentang sebuah kebenaran, tak benar pula mengatakan bahwa kebenaran kawula atau rakyat adalah dengan sendirinya kebenaran Tuhan. Sebab, Semar adalah seorang kawula yang tak sebagaimana kawula biasa. Secara sederhana, ia tak semata seorang kawula yang tak tahu seluk-beluk para elit.
Jadi, ketika ia mubal atau marah pada para junjungannya atau para elit rakyat, kemarahannya selalu bersifat proporsional—seperti orang yang benar-benar memahami sebuah perkara. Pada titik inilah tampaknya para pujangga Jawa di masa silam menyajikan pula sebentuk antisipasi atas terjadinya tirani mayoritas yang dapat terjadi ketika prinsip “Vox Populi Vox Dei” benar-benar diikuti.
Pesan perenial mengatakan bahwa suara mayoritas belum tentu adalah sebuah kebenaran (Logika Pasca Ruang, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Dengan kata lain, bagi saya pribadi, Semar adalah representasi sebentuk populisme yang tak populistik.