Indonesia dikaruniai keberagaman budaya yang cukup untuk membuatnya tampak seperti untaian mutu manikam. Memang, ungkapan seperti ini terdengar klise. Tapi, atas keberagaman itu, saya pernah membuat semacam konsep tentang “interkulturalisme” yang selangkah lebih dalam daripada konsep multikulturalisme (Mengulik Interkulturalisme dalam Musik Etnik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
“Interkulturalisme” beranjak dari dunia musik tradisional atau musik etnik yang ternyata sarat multiplisitas yang kadang membuat perbedaan serasa tak asing satu sama lain, sebagaimana konsekuensi dari konsep multikulturalisme. Pada konteks ini, seorang maestro karawitan Jawa, Prof. Dr. Rahayu Supanggah, yang beberapa waktu lalu telah tilar, pernah menyajikan repertoar musik etnik dari berbagai budaya di Indonesia. Serasa naik sebuah mobil, yang saking mahirnya sang sopir, berbagai pergantian giginya terjadi secara halus.
Dalam esai kali ini saya tak hendak membahas karawitan dan musik-musik etnis lainnya beserta implikasi teoritis sekaligus praktisnya yang telah beberapa kali saya singgung: Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id, Mengulik Interkulturalisme dalam Musik Etnik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id, Habitus II: Musik Sebagai Sebentuk Deradikalisasi, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net, Yang Berisik, Yang Berbisik: Seni Sebagai Pendidikan Toleransi Sejak Dini, https://jalandamai.net, Paman Dhoplang, Muludan, dan Musikalitas Sholawatan Gaya Pedesaan, https://jurnalfaktual.id.
Dari berbagai instrumen gamelan dalam karawitan Jawa saya cukup tergelitik dengan instrumen gambang yang konon, meskipun tak sepokok kendang ataupun bonang fungsinya, dibuat oleh Syekh Siti Jenar ketika masih duduk dalam dewan Walisongo. Kisah ini saya kira tak perlu diperdebatkan tentang benar atau tidaknya secara historis. Dalam hal ini, pendekatan sejarah yang selama ini saya praktikkan bukanlah sejarah positivistik, tapi sejarah diskursus (Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Bagaimanakah kemudian saya mengidentifikasi instrumen gambang dengan sosok dan ajaran Syekh Siti Jenar? Pertama, perlu diketahui tentang doktrin utama Jenar yang kumandang pula sebagai “ngelmu kamanungsan” yang beranjak dari salah satu hadis qudsi yang bersambung dari syaikh al-akbar Ibn ‘Arabi, AbdulKarim al-Jilli, Fadlullah Burhampuri, Abdurrauf al-Singkeli, Syekh Abdul Muhyi: “Al-insanu sirrii wa ana sirruhu.” Kedua, tentang kedudukan Jenar dalam dewan Walisongo yang menurut catatan Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita mengurusi masalah Sasahidan atau tauhid yang kelak digantikan oleh Sunan Geseng.
Instrumen gambang sendiri terbuat dari bahan utama kayu, tak ada satu pun bahannya yang berasal dari besi, kuningan, dan perunggu sebagaimana demung, saron, peking, bonang, dst. Tak ubahnya Jenar yang dalam berbagai diskursus terkenal khariqul ‘adah alias nyele. Wilahan atau bilahnya, tak tanggung-tanggung, berjumlah 20 atau 4 gembyang (4 oktav).
Apakah Jenar begitu berlebihan ketika wali lainnya menciptakan intrumen gender yang terdiri dari 14 wilah atau 3 gembyang dan demung, saron, peking, bonang yang rata-rata 1 gembyang? Saya kira Jenar adalah seorang yang tahu diri. Ia, sebagai pemejang Sasahidan, sangat tahu bahwa Tuhan memiliki sifat wajib sejumlah 20 sebagaimana teologi Asyari’ah menyingkapkannya. Yang membedakannya dengan teologi Asyari’ah, dan dengan demikian para wali lainnya, adalah caranya dalam menjelaskan atau mengkongkretkan sifat wajib itu.
Terlalu jauh untuk menelisik, seumpamanya sifat qidam atau baqa Tuhan, dengan penalaran ala kaum teolog maupun ilmuwan memakai rambatan ayat-ayat kauniyah yang mengacu pada fenomena alam. Kenapa tak menyeksamai diri kita sendiri sebagai subyek yang menelisik itu semua? Demikianlah pendekatan Jenar dalam kaitannya dengan Tuhan dan ketuhanan.
Dalam kancah ilmu-ilmu modern telah lama digugat tentang klaim obyektivitas yang merupakan kriteria utama positivisme. Bahkan dalam ilmu-ilmu alam pun yang sifatnya pasti telah muncul berbagai gugatan yang akhirnya menyisihkan positivisme sebagai paradigma utama sains sejak abad ke-19. Tak kurang dari Karl Popper, Imre Lakatos, Paul Feyerabend, Thomas Kuhn, Bruno Latour, dst., menggugat dan mengubah arogansi sains yang selama ini hendak memonopoli kebenaran.
Dalam bidang fisika, Albert Einstein menyingkapkan bahwa ternyata faktor kemanusiaan cukup memengaruhi hasil amatan para saintis—sebagai konsekuensi dari teori relativitas. Dalam lapangan ilmu-ilmu humaniora, Hans-Georg Gadamer, salah seorang murid Martin Heidegger, menyingkapkan bahwa manusia bukanlah sebuah subyek kosong ketika berhadapan dengan segala sesuatu. Senantiasa benaknya sudah berisi asumsi tertentu sebagai konsekuensi dari persinggungannya dengan dunia sekitarnya.
Kejauhan dalam melihat (baca: transendensi radikal), baik yang terjadi pada bidang teologi maupun sains, tak urung menelorkan pula sebentuk arogansi, puritanisme, dan tentunya radikalisme yang bersifat “masturbasif” atau maunya menang sendiri dan lupa terhadap kebenaran lyan yang sesungguhnya—ketika dirasakan—tak mutlak lyan. Inilah salah satu alasan kenapa pola permainan intrumen gambang secara dominan menggunakan lampah 4 atau menabuh dua nada yang berbeda yang dalam teknik karawitan disebut sebagai “kempyung.”
Kempyung, pada instrumen gambang dan gender, mengacu pada dua wilah dan dua nada yang di antaranya bersela dua wilah dan dua nada pula. Dalam musik diatonis dua nada ini adalah do dan sol yang sama sekali tak mengenal wilayah mayor maupun minor. Pada instrumen gambang maupun gamelan lainnya, dua nada yang ditabuh secara bersamaan (tiba kempyung) ini memang bukanlah nada yang sama sebagaimana nada gembyang (oktav). Tapi, meskipun tak sama, tak berarti dua nada ini tak harmonis ketika dibunyikan secara bersamaan yang menjadi tuntutan dominan permainan instrumen gambang.
Dalam permainan gambang relasi nada kempyung adalah seperti halnya relasi antara kawula dan Gusti. Seandainya kawula itu adalah nada 2 atau sol pada musik diatonis, maka Gusti adalah nada 6 atau do pada skala nada diatonis. Pada permainan melodi pun selalu seleh atau akhir nada akan menuju pada nada gembyangan-nya (oktav) ataupun kempyungan-nya agar terasa harmonis. Dua nada kempyung ini ketika dibunyikan secara bersamaan akan saling menguatkan atau dukung mendukung (wengku-winengku).
Dengan demikian, bagi yang tak dapat mencerna pemahaman Syekh Siti Jenar terkait dengan ngelmu kamanungsan terkait dengan relasi antara Tuhan dan insan yang sesungguhnya bersifat kempyungan (dan bukannya gembyangan sebagaimana tafsir dominan selama ini), instrumen gamelan gambang dan pola permainannya dapat menjernihkan kesimpangsiuran selama ini. Dan tentu, sebenarnya, musik bukanlah sesuatu yang tepat untuk dipikirkan.