Terkadang, orang secara sederhana menganggap Tuhan laiknya seorang dalang dimana para wayang dan suasana di sekitarnya, seperti iringan musik, tergantung sepenuhnya oleh kontrol seorang yang dikategorikan sebagai seniman tunggal itu.
Memang, dalam perjalanan teologi Islam, paham yang menganggap Tuhan laiknya dalang itu ada. Paham yang di dunia Barat dikenal sebagai fatalisme ini disebut sebagai jabariyah yang berlawanan dengan paham qadariyah atau kehendak bebas.
Dalam kancah filsafat, perdebatan antara paham free will dengan paham determinasi ini sudah berlangsung sejak lama dan masih juga berlangsung hingga kini.
Teori konstruktivisme, entah yang bersifat sosial maupun bahasa dan diskursus seperti yang lekat dengan poststrukturalisme, tak pelak lagi adalah turunan dari paham jabariyah ini.
Tapi benarkah analogi Tuhan adalah laiknya dalang ini? Dalam diskursus pedalangan, bagi para dalang ataupun orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, dalang ternyata bukanlah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kekusaan dalang ternyata sangatlah terbatas, apalagi di masa kini ketika “management” sudah menjadi bagian pokok dari kehidupan kontemporer.
Di masa kini sangat lumrah seandainya dalang hanya bertugas untuk duduk di bawah blencong dan membawakan cerita yang sudah ditulis oleh orang lain, mengomandoi iringan musik yang sudah digarap oleh orang lain, menyiasati hujan saat pagelaran yang juga dilakukan oleh orang lain, dst.
Tak jauh berbeda pula dengan dunia dakwah yang sudah tumbuh menjamur dengan manajemen modern, dalang di masa kini harus pula tampil laiknya aktor teater yang mesti menguasai bahasa panggung.
Maka istilah “tunggal” seperti dalam penyebutan seniman tunggal, meskipun masih ada yang mempertahankan tradisi dan filosofi ini, perlu diberi pengertian yang baru.
Mengingat pada satu pagelaran wayang di masa modern yang berlangsung dengan lebih dari satu Tuhan atau dalang—Tuhan naskah, Tuhan artistik, Tuhan iringan musik, Tuhan yang mewawangi hujan, dst.—, maka istilah tunggal bukan lagi tunggal dzat, melainkan tunggal kahanan atau keadaan, yakni pagelaran atau pertunjukan itu sendiri.
Namun, ketaktepatan analogi bahwa Tuhan adalah laiknya sang dalang bukan semata terletak pada masalah tuntutan zaman.
Pada para dalang dan pagelaran klasik fenomena improvisasi, baik yang masih sebatas seni maupun yang non-seni, seperti tokoh wayang yang ketika dibutuhkan tiba-tiba raib, atau sebelum pagelaran tiba-tiba dalam mimpinya sang dalang bertemu dengan salah satu tokoh wayang yang meminta untuk tak dibunuh ketika esok digelar sesuai yang direncanakan, membuktikan bahwa Tuhan ternyata bukanlah dalang dan manusia bukanlah wayang.
Dengan demikian, determinasi ternyata berlangsung seperti halnya jawaban Foucault kepada salah satu peserta seminarnya, yang dalam catatan James Miller (The Passion of Michel Foucault, 1993):
“Freedom can be found, he said—but always in a context. Power puts into play a dynamic of constant struggle. There is no escaping it. But there is freedom in knowing the game is yours to play.”