Sedang Membaca
Dada Para Pendadu: Tentang Klaim Kesucian dan Keluhuran
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Dada Para Pendadu: Tentang Klaim Kesucian dan Keluhuran

Images

Adalah Harya Suman, atau kelak setelah dihajar sampai penyok raganya oleh Patih Gandamana, bernama Sangkuni. Tentang kecerdikan sekaligus kelicikan dalam berpolitik, barangkali, ia adalah teladan yang tak ada duanya.

Seandainya Kresna mewakili idealisme dalam berpolitik, Sangkuni justru sebaliknya, pragmatisme dalam berpolitik.

Seandainya Kresna menghasilkan anak didik seperti Arjuna, yang menjadi pancer para raja Jawa, Sangkuni melahirkan para oposan politik: Aswatama yang bergerilya seusai perang Bharatayuda dan Antisura pada era Prabu Parikesit.

Kecerdikan sekaligus kelicikan dalam berpolitik Sangkuni saya kira adalah berdasarkan kebiasaan dan keahliannya dalam bermain judi kocok atau dadu.

Pada judi kocok, orang dituntut untuk memiliki kemampuan “merik” atau menerka angka dadu yang keluar.

Terang, dalam hal ini, intuisi adalah faktor yang berperan penting. Dengan kata lain, kecerdikan dan kelicikan dalam berpolitik ternyata juga mengandalkan intuisi.

Ada banyak lakon dalam pewayangan Jawa yang mengisahkan pilihan-pilihan politik Kurawa, atas peran Sangkuni, yang sebenarnya tak pernah rasional—meskipun pada akhirnya menang sesaat.

Taruhlah penyingkiran Patih Gandamana yang mesti mengorbankan cacatnya tubuh Sangkuni: hidung penyok, bibir sobek, pingggang yang tak lagi tegak, tangan dan kaki yang tak lagi berfungsi sempurna.

Irasionalitas itu adalah lalainya Sangkuni pada sosok Patih Gandamana yang merupakan orang pribumi yang secara simbolik dilambangkan berunsur tanah yang dapat mengalahkan unsur-unsur lainnya.

Sedangkan Sangkuni adalah orang luar yang berasal dari wilayah Plasajenar sebagaimana Rsi Drona yang berunsur angin karena berasal dari negeri Atasangin.

Baca juga:  Tahun Politik: Bagaimana Cara Mengasah Nalar Keislaman Kita

Selicik apa pun Sangkuni dan sesakti apapun Rsi Drona, pada akhirnya mesti kalah dan kewirangan oleh para ksatria yang berunsur tanah yang kuat.

Ksatria itu Patih Gandamana (pada lakon Gandamana Luweng) dan Setyaki  (berasal dari kasatrian Swalabumi), senapati kerajaan Dwarawati yang berarti pintunya bumi.

Dengan kata lain, dalam kearifan lokal Jawa, selalu saja manusia—seberkuasa apapun—memiliki pengapesan.

Dalam kisah tersebut satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa segala hal yang bersifat autochthonous tak akan mudah dilenyapkan.

Ia dapat dipojokkan, dibatasi, diintimidasi, atau bahkan ditutup segala aksesnya. Namun, satu hal yang pasti ia serupa dengan darah daging kita sendiri yang mustahil untuk dilenyapkan.

Tilik saja perihal kehadiran Islam radikal di nusantara yang dilambangkan dengan sosok Bathara Yamadipati (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).

Ataupun Syekh Siti Jenar dan paham ketuhanannya yang mengendap dalam warisan kebudayaan tradisional (Manunggaling Kawula-Gusti dan Sufisme Gambang, https://alif.id).

Pada titik ini kita pun beranjak pada tema besar yang acap dilupakan dalam pendekatan politik, agama dan unsur-unsur kebudayaan lainnya: lokalitas.

Bukankah banyak para sejarawan yang mengungkapkan bahwa kesuksesan Islam di Nusantara bukanlah didasarkan pada kemajuan ataupun iming-iming surga dunia dan akhirat, tapi dihormati dan diakomodasinya lokalitas ini?

Ibarat tamu yang berupaya menyingkirkan sang tuan rumah yang dari sudut-pandang apapun dan mana pun pasti salah, segala upaya penyingkiran autochthony akan berujung bunuh diri atau kembali ke diri sendiri.

Baca juga:  Kenangan dan Rabun

Kalangan yang sok milineal selama ini pun kerap menganggap autochthony sebagai sesuatu yang telah ketinggalan zaman yang tak penting lagi untuk dijadikan acuan.

Kegoblokan mereka rupanya cukup akut hingga, seumpamanya, berpandangan bahwa Islam radikal yang berwatak “masturbasif” telah memenangkan pengaruh keagamaan dan politik di nusantara akhir-akhir ini.

Mereka sama sekali berani malu atas keketakkentaraan reaksi lokalitas atas upaya dominasi Islam radikal ataupun ideologi dan gaya hidup sekular lainnya yang secara goblok telah mengabaikan autochthony.

Parahnya, otak mereka seperti tak sampai untuk mencerna apa itu autochthony. Acap yang muncul dalam kepala mereka bahwa autochthony itu berkaitan dengan klenik ataupun hal-hal gaib lainnya yang sudah ketinggalan zaman persis sebagaimana pandangan umum kaum wahabi yang sok putih.

Barangkali, para antropolog akan garuk-garuk kepala mendengar kegoblokan akut semacam ini dan bocah-bocah belia yang belajar ngaji akan terpingkal-pingkal ketika istilah “ghaib” diingkari atas nama kemajuan.

AI atau tetek-bengek revolusi industri 4.0 cukup meyakinkan mereka untuk mengarungi dunia dan kehidupan, memandang manusia dan sengkarut di sekitarnya.

Padahal dalil pertama yang mesti diketahui oleh para pembelajar ilmu-ilmu humaniora adalah bahwa “janma tan kena kinira.”

Apakah AI dan revolusi industri 4.0 yang digembar-gemborkan itu mampu menjawab pertanyaan: siapakah yang mengajak kita tidur sehari-hari?

Atau mampu menunjukkan istilah “aku” yang setiap menit kita bawa-bawa secara tepat?

Baca juga:  Makna Kebahagiaan Menurut Filsafat

Ketika saya katakan bahwa di balik pilihan-pilihan politik Sangkuni yang pragmatis, karena terkait dengan keahliannya dalam judi kocok, ternyata bersandar pula pada intuisi membuktikan bahwa tak selamanya semua hal yang secara sekilas terlihat rasional adalah benar-benar bertumpu pada rasio.

Benarlah dalil pertama yang mesti diketahui oleh para pembelajar ilmu-ilmu humaniora bahwa “janma tan kena kinira,” manusia tak dapat diukur.

Jangan-jangan, militansi berfilsafat seorang Sokrates adalah karena upayanya untuk menghindari isterinya yang jelek dan judes.

Jangan-jangan, kebijaksanaan seorang Rsi Drona berkaitan dengan iming-iming Kurawa atas tahta, harta, dan para wanita yang seumur hidupnya telah menipunya.

Bahkan, jangan-jangan, kecerdikan dan kelicikan seorang Sangkuni adalah karena kasih tak sampainya pada Dewi Kunthi, ibu dari Pandawa.

Psikologi seorang penjudi pada dasarnya memang tak pernah menyandarkan diri pada rasio. Karena hal inilah, maka politik praktis pun sebenarnya tak pernah bersifat rasional.

Tak ada orang yang benar-benar suci ataupun luhur ketika sudah berbalut dengan tubuh seperti halnya kisah seorang Seta yang pada akhirnya tak benar-benar seta (Hikayat Putih, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Masalah timbul ketika klaim kesucian ataupun keluhuran ini digunakan untuk menyingkirkan orang lainnya.

Judi, dengan demikian, tak pernah terkait dengan sebuah kemenangan, sebagaimana Sangkuni yang sejatinya tak pernah menang dan justru berakhir malang.

Adakah kemenangan pada orang yang bermasturbasi selama ini?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top