Sedang Membaca
Diaspora Santri (19): Pentingnya Konsolidasi Kader Nahdliyyin

Pengasuh Pesantren Ali Maksum dan Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta; Anggota DPD RI

Diaspora Santri (19): Pentingnya Konsolidasi Kader Nahdliyyin

Whatsapp Image 2020 10 25 At 3.59.51 Am

Menjelang seratus tahun Nahdlatul Ulama, penting kiranya untuk merefleksikan dan memaknai tujuan kaderisasi Nahdliyyin. Pada momentum ini, memaknai siyasah dalam konteks kebangsaan dan keindonesiaan menjadi sesuatu yang strategis.

Politik di kalangan Nahdliyyin itu sangat menarik, karena Nahdlatul Ulama memberikan bekal kepada kader-kadernya rumusan-rumusan sikap kemasyarakatan. Tujuannya agar kita semua warga Nahdliyyin, mampu mengaplikasikan sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan i’tidal (adil).

Nahdlatul Ulama juga memberikan rumusan tentang mabadi khaira ummah, yakni mengharuskan kita semua untuk mengimplementasikan nilai-nilai as-shidqu, (jujur), al-amanah wal wafa bil ‘ahdi (tanggung jawab dan menepati janji). Selain itu, kita harus mengaktualisasikan al-‘adalah, berlaku adil, dan harus mampu ta’awun (bekerjasama dengan yang lain), dan itu semua dilakukan secara konsisten, terus menerus dan berkesinambungan.

Demikian juga, NU punya prinsip kebudayaan yang luar biasa, yakni al-muhafadzah ‘ala al-qadimi as-shalih wal-akhdzu bil jadidi al-ashlah. Kaidah ini menjadi penting, yakni menjaga nilai-nilai lama yang baik, seraya menyerap nilai-nilai baru yang lebih baik.

Prinsip ini menjadi bekal kita, dalam proses menjadi warga negara yang baik. Tentu, bukan hanya diam saja, jangan sekedar pasif, akan tetapi menjadi warga yang berperan aktif. Kalau dalam konteks agama, disebut sebagai warga yang bermanfaat.

Selain itu, kita mengetahui bahwa tugas Nahdlatul Ulama, sebagaimana sering disebut oleh Kiai Ma’ruf Amin, yakni wadzifah diniyyah (tugas keagamaan) serta wadzifah wathaniyyah (tugas kebangsaan). Kedua nilai ini saling terkait, saling melengkapi, sebagai kompas penuntun untuk memaksimalkan peran sebagai kader Nahdliyyin.
Nilai-nilai inilah yang menjadikan kita semua harus bertanggungjawab bukan hanya persoalan keagamaan, namun juga permasalahan kemasyarakatan.

Baca juga:  Nasihat Imam Abu Hanifah untuk Para Jomblo yang Ingin Menikah

Nahdlatul Ulama memang tidak berpolitik praktis. Akan tetapi, NU juga menyiapkan kader-kadernya untuk membangun bangsa, berperan aktif di setiap lini. Inilah yang harus dipahami secara utuh, bahwa secara organisasi NU jelas dan tegas tidak bermain politik. Namun, menjadi hal penting bagi Nahdlatul Ulama untuk menyiapkan anggotanya menjadi kader-kader terbaik. Maka, barisan kader-kader itu pada saat dibutuhkan harus selalu siap mengisi pos jabatan-jabatan publik, dalam rangka menunaikan amanah. Baik itu di tingkat RT, desa maupun pada posisi lebih tinggi sebagai Bupati, Gubernur dan seterusnya.

Maka, untuk menyongsong masa depan, Nahdlatul Ulama harus menyegarkan kelembagaan sekaligus juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, penyiapan kader-kader Nahdliyyin ini sangat penting. Kader-kader inilah yang didistribusikan ke berbagai ruang, ke pelbagai lini terkait, agar manfaatnya terasa maksimal.

Nah, pada konteks inilah, perlu ada diskusi lebih mendalam. Karena tidak hanya berhenti pada distribusi kader. Jika NU menyerahkan kadernya, apakah itu selesai? Oh, tentu tidak.

Ketika NU menyerahkan kadernya, maka harus diikuti dengan memastikan dukungan warga yang lain untuk mensukseskan kader tersebut. Jadi, kader-kader santri harus disiapkan, dibentuk karakter dan kemampuannya, serta didukung sekuat tenaga agar menjadi lebih bermanfaat.

Nah, pada konteks ini, saya ingin bercerita pengalaman saya ketika berproses di DPD RI di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan proses panjang dari NU. Kami menyebutnya sebagai ‘penataan politik jamaah Nahdliyyin’, ketika amanat disampaikan dalam forum Konferensi PWNU DIY di Wonosari Gunung Kidul, Desember 2016 lalu.

Baca juga:  Antusiasme Teknologi

Dasar pemikirannya sederhana: warga NU itu sangat besar populasinya namun potensi politiknya sering tidak terkelola secara maksimal. Warga Nahdliyyin yang jumlahnya melimpah kita layani dalam bidang sosial dan dakwah keagamaan, namun tidak terkonsolidasi secara politik.

Merespons hal itu, kami kemudian membentuk tim di luar pengurus harian PWNU DIY untuk konsolidasi. Alhamdulillah, kerja tim dan dampaknya berlangsung luar biasa. Kami berada pada jalur yang tepat, dengan tidak melakukan money politics, dan betul-betul berusaha mengimplementasikan berpolitik dengan akhlaqul karimah, sesuai dengan ketetapan organisasi NU.

Cerita sukses ini menjadi inspirasi, menjadi energi positif yang menggerakkan. Bahwa, warga berbondong-bondong bergerak untuk inisiatif politik. Kenapa begitu? Karena pemahaman yang utuh bahwa politik membangun agama.

Kita tahu bahwa tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama itu bagaimana mengimplementasikan ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah. Nah ketika tujuan itu tidak bisa maksimal tanpa pranata dan dukungan kekuasaan atau hal-hal terkait, misalnya. Kita bisa melihat bahwa pada masa Kerajaan Demak, para Wali Sanga itu didukung oleh pemerintah yang berkuasa.

Ketika masa Orde Baru, kita tidak mendapatkan bagian yang layak, padahal populasi konstituen Nahdliyyin demikian banyak. Mengapa begitu? Karena kita berjarak dengan politik. Oleh karena itu, apa yang berlaku hari ini, utamanya ketika Kiai Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, dan sebelumnya Gus Dur sebagai presiden, itu sesungguhnya harus mendorong kita untuk siap dan bisa menyiapkan kader-kader terbaik untuk bisa mengisi pos-pos yang memang dibutuhkan oleh bangsa dan negara.

Baca juga:  Pesantren, Kultur Etis, dan Kepercayaan Umat

Partai politik itu merupakan instrument demokrasi. Kita harus memahaminya secara muwafaqah, bahwa pemahaman kelanjutannya adalah bila mayoritas adalah muslim, maka partai politik sudah sepatutnya menjadi bagian dari realitas itu. Yakni untuk memperjuangkan hak-hak yang lebih, itu sebagaimana instrument dari demokrasi.

Sama halnya, ketika konstituen terbesarnya adalah Nahdlatul Ulama, maka penting agar jaminan kelayakan partai terhadap konstituen, itu untuk memperjuangkan hak-hak dan apa yang menjadi kepentingan dari masyarakat yang memilihnya. Maka, partai politik harus menunjukkan kemanfaatan untuk rakyat.

Untuk itu, harus ada upaya serius untuk konsolidasi kader, agar secara maksimal meningkat kualitasnya dan terdistribusikan pada ruang-ruang strategis.

Tentu saja, kalau kader yang dipersiapkan oleh Nahdlatul Ulama mendapat amanah untuk menempati pos-pos pemerintahan, maka bisa bermanfaat secara lebih maksimal serta punya tanggung jawab untuk merawat Nahdlityyin. Tentu saja tujuan jangka panjang dalam tugas pengabdian kebangsaan, keindonesiaan serta dakwah menjadi sangat penting [].

Esai ini disarikan oleh *Munawir Aziz (Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom) dari ceramah Dr. KH. Hilmy Muhammad pada agenda Webinar Pra-Konfercab PCINU Yordania, pada 15 Oktober 2020.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top