Avatar
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang.

Hikayat Walisongo (7): Kanjeng Sunan Kalijaga, Wayang dan New Media  

Whatsapp Image 2021 04 06 At 19.06.59

Islamisasi di Nusantara tidak bisa lepas dari peran Walisongo. Dakwah Walisongo adalah dakwah yang damai, akomodatif, dan kontekstual dengan situasi dan kondisi masyarakat Nusantara kala itu. Masyarakat Nusantara dan kebudayaan lokalnya tidak digusur habis, tetapi diajak berdialog dengan damai sehingga menjadi Muslim sejati tanpa harus kehilangan identitas lokal. Apa yang disebut dakwah bi al-hikmah (arif bijaksana) dalam al-Nahl ayat 125 diformulasikan dengan sangat baik oleh Walisongo dalam bentuk pendekatan dakwah yang humanis.

Di antara pendekatan dakwah yang dilakukan Walisongo adalah pendekatan dakwah bermedia. Pengalaman bermedia dari Walisongo menjadi penting didiskusikan dalam era kemajuan new media (media baru) yang tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat. Oleh karena itu, secara spesifik artikel ini mengajak pembaca untuk meneladani cara bermedia Sunan Kalijaga dan relevansinya bagi perkembangan “media Islam” atau “media dakwah modern.”

Diskursus Agama dan New Media

Diskusi tema ini menjadi penting dalam merespons fenomena perkembangan “media Islam” akibat kemajuan teknologi Internet. Berbagai media dengan nomanklatur Islam muncul dari beragam latar belakang ideologi, mulai dari yang berhaluan lunak/moderat hingga yang ekstrem. Hal ini terjadi karena memang media baru (new media) yang bersifat bebas dan terbuka (Holmes, 2012) memungkinkan setiap orang, individu, dan kelompok menampilkan identitas keislamannya melalui kanal pribadi.

Kemajuan media di satu sisi sangat kontributif bagi kemajuan dakwah Islam, namun di sisi lain juga mengkhawatirkan karena media Islam yang seharusnya menjadi sarana penting bagi pembumian Islam yang rahmatan lil alamin terkadang juga menampilkan wajah Islam yang tidak ramah. Bakti (2011) dalam artikel “The Role of Islamic Media in the Globalization Era” melihat adanya potensi paradoks ketika membawa agama ke ranah media dengan kemungkinan munculnya dakwah yang tidak humanis sehingga mencoreng image Islam sebagai agama damai. Selain itu, Heidi Campbell (2010) yang menulis banyak karya dalam bidang agama dan new media memandang media baru sebagai ruang masa depan agama, bahkan agama dapat menawarkan diskursus baru dalam studi kemediaan di masa-masa mendatang.

Baca juga:  Esais Muda Pesantren (4): Kiai Asa’d di Abad 21: Sebuah Relikwi Sejarah atau Inspirasi Bangsa?

Beberapa studi terdahulu yang spesifik membahas agama dan new media dapat dijumpai dalam Religion in the Media Age (2001) karya Hoover; Give Me That Online Religion (2001) karya Brasher; Religion Online: Finding Beliefs on Internet (2004) karya Cowan; dan Virtual Religion (2018) karya Helland. Pada dasarnya, pertemuan agama dan new media menuntut diskusi intensif terkait posisi media Islam sebagai media private dakwah keagamaan sekaligus sebagai media publik. Sementara itu, media dakwah sendiri yang menjadi fokus artikel ini adalah satu sub-tema dalam diskursus agama dan new media.

Dari Wayang untuk New Media: Pelajaran Penting dari Walisongo

Perkembangan “media Islam” dalam konteks new media seringkali berbenturan dengan lokalitas sehingga memicu kontroversi, maka pengalaman bermedia dari Walisongo dapat menjadi inspirasi. Sunan Kalijaga adalah di antara figur Walisongo yang aktif menggunakan Wayang Kulit sebagai sarana/media dakwah. Pada masa itu, Wayang belum disebut sebagai “media” sebagaimana didefinisikan keilmuan modern, namun semangat berdakwah melalui Wayang menjadi bukti historis pengalaman bermedia generasi terdahulu. Kees Van Dijk (1998) melihat “popularitas Wayang menjadi sarana penyebaran Islam di Jawa. Dalam upacara pembukaan Masjid Demak, Sunan Kalijaga memperoleh kesempatan untuk mendalang pertama kali. Juga, pementasan Wayang Kulit berlangsung di alun-alun masjid pada perayaan Maulid.”

Wayang adalah simbol “media Islam” yang sukses pada zamannya. Dalam mengembangkan Wayang sebagai media Islam, Sunan Kalijaga tampaknya berpegang pada tiga hal yang dapat dianalisis lebih jauh, yaitu:

Pertama, tidak melakukan Arabisasi media. Wayang bukanlah produk dunia Islam dan sama sekali tidak dibawa dari tanah Arab ke Nusantara. Wayang sudah eksis di Nusantara ketika Islam datang kala itu. Walisongo membiarkan Wayang murni sebagai sarana seni budaya masyarakat lokal dengan nomanklatur lokal yang tidak dilabeli kata “dakwah,” “Islam,” atau bahasa Arab, yang bisa memberi kesan “Arabisasi.” Sunan Kalijaga tidak mengubah nama Wayang menjadi Wayang Islami, Wayang Hijrah, atau pun Wayang Hidayah, dan semacamnya, meski secara subtantif Wayang memuat ajaran Islam yang luar biasa. Dengan pengertian ini, maka media apapun yang sering disebut sebagai produk dunia non-Islam seperti media sosial, YouTube, Facebook, Instagram, Tik-Tok, dan Twitter yang berkembang pesat di era new media sekarang, dapat digunakan selama masih mengedepankan kebermanfaatan.

Baca juga:  Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (3): R. Ng Ronggowarsito III, Wirid Idajat Jati, dan Napsu

Kedua, berbasis pada trend dan kecenderungan publik. Walisongo (khususnya Sunan Kalijaga) sangat memahami, bahwa penggunaan sesuatu yang berbasis pada trend publik akan dengan mudah memperoleh perhatian dan minat publik. Sunan Kalijaga berhasil memainkan posisi sentral Wayang sebagai “budaya popular” masyarakat dalam menarik mereka kepada dakwah Islam. Wayang adalah salah satu budaya yang ngetrend dalam masyarakat kala itu, dan sering dipertunjukkan pada peringatan-peringatan kegiatan tertentu. Untuk itu, Wayang di bawah tangan Sunan Kalijaga dikembangkan secara dinamis dengan mempertimbangkan kebutuhan dakwah Islam di satu sisi dan masyarakat di sisi lain. Sunan Kalijaga secara kreatif menciptakan nama-nama figur tertentu dalam Wayang berbasis pada semangat ajaran Islam.

Ketiga, menekankan aspek subtantatif dan kegunaan media. Walisongo menyisipkan nilai-nilai Islam melalui pertunjukan Wayang. Media Islam harus menjadi sarana penanaman nilai-nilai tawhid sebagai fondasi ajaran Islam. Hal ini selaras dengan pikiran Hamid Mowlana (2007) yang menjadikan tawhid sebagai salah satu prinsip komunikasi Islam. Namun tawhidisasi melalui media tidak harus melabrak tradisi dengan mengedepankan caci-maki.

Wayang Kalijaga adalah Wayang dengan semangat tawhid. Kisah Pusaka Jamus Kalimasodo yang muncul dalam media Wayang dianggap saduran dari “Kalimat Syahadat.” Kalimat Syahadat adalah pintu gerbang utama bagi setiap orang yang ingin memeluk Islam dengan menafikan apapun selain Allah. Sunan Kalijaga membimbing akidah (sisi subtantif) masyarakat menjadi bertawhid tanpa harus mengubah sisi simbolik dari kebudayaan mereka. Spirit ini dapat menjadi inspirasi kegiatan dakwah puritan melalui new media yang kadangkala melawan arus mainstream kebudayaan sehingga berujung konflik agama dan budaya.

Baca juga:  Genealogi Pemikiran Martin Lings: Dari Orientalisme Menjadi Sufisme

Lebih jauh, media Wayang Kalijaga memuat tokoh Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang dapat diterjemahkan secara islami. Ini adalah bentuk konstruksi media Islam baik menyangkut isu teologis maupun sosial. Menurut sumber yang beredar, Semar (Jawa) berasal dari kata ‘Simar atau samara (Arab) yang berarti paku/kokoh dan bergegas. Seorang muslim harus harus kuat dan kokoh dalam komitmen keislaman, senantiasa bertindak dalam kebenaran. Gareng (Jawa) berasal dari ‘nala qarin atau nala khayra’ (Arab), yang berarti memperbanyak teman, ramah, dan bersikap sosial yang tinggi serta menebarkan kebaikan. Petruk (Jawa) berasal dari ‘fatruk’ (Arab) yang berarti “tinggalkanlah segala sesuatu selain Allah.” Sedangkan Bagong (Jawa) berasal dari kata ‘bagha, al-baghaya, atau mabagha’ (Arab) yang berarti “memberontak” atau “perkara buruk,” yaitu sikap memberontak pada keburukan, kezaliman dan ketidakadilan.

Konstruksi empat tokoh Punakawan dalam media Wayang ini adalah bentuk kritik media terhadap fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, baik terkait aspek teologis maupun sosial-praktis termasuk sosial-politik dan sosial-ekonomi. Artinya media Islam harus memperkuat spiritual-keagamaan namun juga memotret isu-isu sosial seperti kezaliman, ketidakadilan, pembangunan sosial ekonomi, dan lain-lain. Konstruksi media Islam berorientasi pada pembangunan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial secara bersamaan.

Akhirnya, pengalaman Walisongo diharapkan dapat mengilhami kegiatan “media Islam” di era new media saat ini. New media membuka peluang umat Islam untuk menampilkan ajaran Islam sebagai sarana kontrol sosial, termasuk bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Hanya dengan cara demikian, maka “media Islam” menjadi media moderat yang kontributif bagi umat dan bangsa. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top