Upacara Hanta Ua Pua adalah rangkaian tradisi menyambut bulan Maulid, yang dilaksanakan dimulai era kepemimpinan Sultan Sirajuddin Abdul Khair, Sultan Bima ke II yang memerintah pada tahun 1640 sampai 1682.
Awal mula lahirnya tradisi upacara Hanta Ua Pua ini merupakan siasat para pembawa ajaran Islam dari Melayu, untuk membuat Sultan Sirajuddin menegakkan agama Islam di Bima. Kecintaan sang Sultan terhadap kesenian, maka lahirlah sebuah kesenian upacara Hanta Ua Pua yang diiringi oleh tari-tarian.
Adalah Datuk Raja Lelo, Datuk Iskandar, Datuk Pajang dan beberapa datuk lainnyalah yang membuat upacara kesenian Hanta Ua Pua sebagai tradisi menyambut bulan Maulid dan disisi lain merupakan cara para ulama untuk membuat Sultan tertarik pada Islam. Upacara Hanta Ua Pua ini, untuk pertama kali dilaksanakan di kampong Ule, daerah pesisir kota Bima dan tempat bermukimnya ulama gelombang kedua pasca Datuk Ri Bandang dan Datuk di Tiro datang dengan meng-Islamkan Sultan pertama yaitu Sultan Abdul Khair.
Hanta Ua Pua atau dalam bahasa Melayu disebut Sirih Puan adalah rumpun tangkai bunga berisi telur berwarna-warni yang diberi wadah bersegi empat, dengan jumlah telur sejumlah asmaul husna yaitu 99 dan ditengahnya terdapat sebuah kitab suci Al-Qur’an. Ua Pua ditempatkan ditengah rumah mahligai atau disebut Uma Lige yang berbentuk segi empat dengan ukuran 4×4 m2, didalam uma lige duduk penghulu Melayu atau seorang ulama. Kemudian Uma Lige diangkat oleh 44 pasukan kuat sebagai simbol 44 Dari Mbojo yaitu pasukan khusus Kesultanan.
Kesenian ini kemudian sangat disenangi oleh Sultan Sirajuddin, setiap diadakannya keseniannya selalu didatangi langsung oleh Sultan dan dewan adat. Sampai akhirnya Sultan meminta kepada para ulama Melayu untuk melakukan prosesi iring-iringan Uma Lige dari kampung Melayu ke Istana Kesultanan. Maka, upacara Hanta Ua Pua puncaknya adalah penyerahan kitab suci Al-Qur’an dari penghulu Melayu untuk diserahkan ke Sultan. Diawali dengan prosesi iring-iringan Uma lige dari kampong Melayu menuju Istana yang juga diiringi oleh 4 penari laki-laki dan disambut di istana dengan 4 penari perempuan serta atraksi pasukan Kesultanan.
Pada prosesi penyerahan kitab suci oleh ulama ke sultan adalah bentuk penghormatan sultan dan masyarakat Bima terhadap ulama Melayu yang membawa ajaran Islam di dana Mbojo, maka penyerahan kitab suci dengan maksud bahwa sultan memiliki kewajiban untuk menyebarkan ajaran agama Islam dimanapun berada diikuti pula dengan sumpah sultan yaitu sumpah dengan menyebut Wallahi untuk menyebarkan agama yang disaksikan oleh ulama dan masyarakat, tentu dengan bimbingan para ulama.
Akan tetapi, sebelum prosesi puncak pada hari esoknya, malam sebelum hari puncak di Istana diadakan dzikir Maulid atau jiki molu dengan membaca dzikir Ratib dan Barjanji yang dihadiri oleh seluruh pejabat Kesultanan. Kemudian pada tahun 1070 H, Sultan Sirajuddin menetapkan Rawi Sara Ma Tolu Kali Samba’a adalah acara resmi Kesultanan yang wajib dirayakan yaitu tiga hari besar yang diadakan dalam satu tahun, Wura Molu ialah bulan Maulid yang ditandai dengan upacara Hanta Ua Pua, aruraja to’i yaitu Idhul Fitri dan aruraja na’e yaitu Idhul Adha.
Di era Sultan Sirajuddin pula, terjadi penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam. Kemudian terbentk majelis sara yang terdiri dari dari Khatib Tua, Khotib Karoto, Khatib Lawili dan Khatib Toi. Dengan adanya penyesuaian hukum Islam kedalam sistem Kesultanan, para ulama diberi kekuasaan dalam mengurus urusan agama. Pada zaman Sultan Sirajuddin inilah kebangkitan Islam di Bima mendapatkan puncak kejayaannya dalam menegakkan agama Islam. (RM)