Hilmi Abedillah
Penulis Kolom

Alumni Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng.

Mengenal Kitab Pesantren (87): Syari’at al-Islam li Ta’lim an-Nisa’ wa al-Ghulam; Karya KH. R. Asnawi yang Selama Ini Tersimpan

294435933 10209798435593301 7460140894549079998 N

Selama ini kita mengenal KH. R. Asnawi Kudus (1861-1959) dari kitabnya yang sangat fenomenal, Fasholatan, yang dipelajari oleh hampir setiap santri di Indonesia. Selanjutnya, nama KH. R. Asnawi semakin familiar saat Shalawat Asnawiyah didapuk sebagai shalawat kebangsaan karena isinya mengandung nasionalisme dan kecintaan pada bangsa Indonesia.

Namun, baru-baru ini ditemukan kitab karangan KH. R. Asnawi yang lain, yang selama ini tersimpan dan jarang diketahui publik: Syari’at al-Islam li Ta’lim an-Nisa’ wa al-Ghulam (Syariat Islam untuk Pengajaran Wanita dan Anak).

Kitab dengan tebal 112 halaman ini diterbitkan pada awal bulan Sya’ban 1353 atau 19 November 1934, dua puluh tahun sebelum Fasholatan (1954). Kitab ini dicetak atas biaya Syaikh Abdullah bin Afif pemilik al-Maktabah al-Mishriyyah di Cirebon, Jawa. Dicetak di Percetakan Musthafa al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu di Kairo, Mesir. Pembuat salinan atau penulis khat kitab ini ialah Abdurrahman Hafidh al-Khaththath dan ditashih salinannya oleh Fahmi Ja’far.

Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi syariat Islam yang dengan pengertiannya adalah hukum dan ketentuan dari Allah pada hambanya yang berlandaskan pada al-Quran dan hadits, seperti perintah, larangan, halal, dan haram. Dalam pengertian luas, syariat ialah agama ini sendiri. Artinya, seluruh ketentuan agama bisa disebut sebagai syariat. Namun dalam pengertian yang lebih sempit dan sering digunakan, syariat hanya mencakup bidang fikih saja. Menurut Ibnu Mandhur, syariah adalah apa yang ditentukan dan diperintah oleh Allah dari agama, seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan amal baik lainnya.

Baca juga:  Bekal Literasi Pergi ke Tanah Suci

Penulisan kitab Syari’at al-Islam yang diperuntukkan bagi wanita dan anak ini menggambarkan kepedulian KH. R. Asnawi secara khusus pada pendidikan wanita dan anak. Melihat pada masa itu, akses pendidikan perempuan tidak semudah sekarang, baik dalam hal agama maupun umum. Itu artinya, pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan masih berada di bawah laki-laki. Permulaan abad 20 menjadi titik awal pendidikan perempuan di Indonesia. Selain oleh KH. R. Asnawi, kebangkitan pendidikan perempuan juga menjadi fenomena di berbagai wilayah.

Meskipun berisi pelajaran fikih, KH. R. Asnawi memulai kitabnya dengan membahas rukun Islam dan rukun Iman, baru diikuti dengan fashal bersuci. Kitab yang memuat 44 tema ini ditulis dengan metode tanya-jawab yang juga tren pada masa itu. Kitab yang ditulis dengan metode serupa seperti Durr an-Nafis karya KH. Muhammad Irsyad Kudus, Tsimar al-Janiyyah karya Zubaidi Hasbullah, al-Mabadi’ al-Fiqhiyyah karya Umar Abdul Jabbar, Durus al-‘Aqaid ad-Diniyyah karya Sayyid Abdurrahman as-Segaf, dan lain-lain.

Dengan menggunakan tulisan pegon (bahasa Jawa dengan aksara Arab), pertanyaan atau soal diawali dengan simbol huruf sin (س) singkatan dari su’al (pertanyaan), sedangkan jawaban diawali dengan simbol huruf jim (ج) singkatan dari jawab (jawaban). Bedanya, KH. R. Asnawi dalam membuat pertanyaan selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko, sementara jawabannya menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Dengan perbedaan itu, tanya-jawab yang bersahut-sahutan serasa seperti sebuah dialog antara orang yang lebih tua dengan yang muda. Mungkin antara guru dan murid, atau kiai dan santri. Berikut salah satu penggalannya:

Baca juga:  Dayon: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang

س – فيرا فركارا كغ بطل اكن وضو؟

ج – فركويس اغكغ بطل اكن وضو: فونيكا نموغ سكاوان.

(Terjemah:

S: Berapa perkara yang membatalkan wudlu?

J: Perkara yang membatalkan wudlu itu hanya empat.)

R. Asnawi absen dalam membahas bab haji dalam kitab ini. Padahal lazimnya sebagai satu-kesatuan rukun Islam, haji menjadi topik yang tidak ditinggalkan. Beliau tentu memiliki alasan tertentu. Asumsi yang bisa diambil barangkali ialah karena peruntukan kitab dasar ini bagi wanita dan anak yang keduanya tidak memiliki peluang besar untuk melaksanakan ibadah haji pada masa itu. Selain itu, tanpa menyentuh pembahasan haji pun kitab ini sudah cukup tebal jika dibanding kitab dasar pesantren pada umumnya.

Kitab ini penting sebagai sebuah khazanah pesantren yang patut dilestarikan, apalagi penulisnya merupakan salah satu ulama Nuzantara yang membanggakan. KH. R. Asnawi Kudus selain sebagai pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama rupanya baru diketahui memiliki kitab lain yang belum dikenal. Mudah-mudahan dengan ulasan ini, ada seseorang maupun dari pihak keluarga yang mau menerbitkan kembali kitab ini dan menyebarluaskannya.

 

*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top