Lampu meremang di Omah Makan Busardjo, Laweyan, Surakarta. Komunitas Gusdurian Solo tengah menghelat diskusi bertajuk “Gus Dur dan Bung Mahbub: Dua Wajah Intelektual NU” (26/7/2019), dan saya didapuk (ditugasi) untuk mengulas episode sejarah Mahbub Djunaidi kecil sewaktu menginjakkan kaki di Kota Bengawan. Peserta berdatangan, memadati kursi-kursi yang tersedia. Ramai raga, rasanya bakal banjir cerita.
Bahan baku saya adalah novel “Dari Hari Ke Hari”, terbit tahun 1975. Karya ini memuat serpihan fakta sejarah Kota Solo periode revolusi. Saya cek silang dengan beberapa sumber primer dan sekunder agar kebenaran faktual yang teranyam dalam novel ini dapat dipertanggungjawabkan.
Kita tahu roman tersebut ditulis dalam sudut pandang bocah berumur belasan tahun yang menyaksikan sendiri realitas sosial. Kita tahu, memori bocah bersifat apa adanya (belum banyak manipulasi), segar, dan polos.
Sekalipun dirinya sohor, disebut sastrawan dan politikus pula, posisi liminal Mahbub adalah sastrawan yang tak sepenuhnya meninggalkan kerja jurnalis. Fakta-fakta lunak yang ditawarkan Mahbub menambah kekayaan cerita historis Solo di masa revolusi.
Novel disusun berdasarkan pengalaman pengarangnya mengungsi ke Solo bersama keluarganya tahun 1946-1948 dengan menumpang kereta api. Ia lahir tahun 1933. Artinya, saat “boyongan kedaton” dari Jakarta ke Surakarta, dirinya berumur 13 tahun, sebuah fase hidup bermain dengan ingatan segar dan riang lantaran tak ditumpuki beban hidup.
Ada baiknya terminologi fakta di sini saya sulih menjadi “tulang belulang”, dan saya akan menambah “daging” agar ditemukan keutuhan kisah menjadi lumayan gempal. Di lain, saya sekaligus ingin menguji kembali keabsahannya. Berikut ini serpihan faktanya:
1. Potongan kalimat: “kudengar di Solo ada raja. Berhubung revolusi, raja lebih suka memilih jadi penduduk kebanyakan, walaupun masih berumah tinggal di istana”.
Faktanya, Solo memang digoyang oleh “kelompok kiri” dan terjadi penculikan pada keluarga bangsawan untuk menuntut raja menyerahkan wewenang kepada rakyat. Akhirnya, Presiden Soekarno pada 15 Juli 1946 mengeluarkan Keppres 16/SD/1946 membekukan status DIS untuk menjadi karesidenan.
2. Obrolan di gerbong: “tuan menjual ban pada pemerintah RI. Pemerintan RI punya mobil, namun kesulitan ban”.
Faktanya, banyak makelar memanfaatkan kondisi sulit itu. Bukan hanya ban, senjata ikut diperjualbelikan. Tentara yang pulang dari medan bakti butuh uang untuk belanja sehari-hari, maka senjata dijual kepada tukang catut (makelar) yang keliling kota mencari dagangan senjata yang akan dijual ke pemerintah.
Sebab, periode itu pemerintah (polisi dan TNI) membutuhkan alat senjata sebanyak mungkin untuk modal bertempur mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tukang catut tersebut berburu keuntungan dalam kesempitan. Setelah senjata dilepas dengan harga 12 ribu rupiah, pejuang dapat hidup sebulan lamanya di Kota Bengawan. Bahkan, bisa menginap di kamar hotel Merdeka (kini gedung baru BI) dan berfoya-foya.
3. “Kampung Kauman, yang bertitik berat di Masjid Agung sebagai pastinya, teriris-iris oleh jalannya yang kecil tapi lurus, merupakan daerahku yang baru.”
Menurut informasi dari keluarga teman Mahbub kala kecil di Kauman, Basid, rumah sementara Mahbub berada di pojokan pertigaan dekat sekolahan SD. Analisa memilih Kauman, karena ayah Mahbub, Djunaidi, adalah pegawai Mahkamah Tinggi Agama (Pengadilan Tinggi Agama) sehingga punya pengetahuan agama yang bagus dan relasi kuat dengan penghuni Kauman, misalnya Kyai Dimyati yang menjadi pimpinan Mambaul Ulum.
Faktanya, Kauman merupakan ruang tinggal penghulu tafsir anom dan petugas keagamaan Keraton Kasunanan (khotip, merbot dan muazin).
4. Mahbub bersekolah dasar partikulir “Muhammadiyah”. Persis di sebelah masjid Mangkunegaran, yang bisa juga berarti mesjid bagian dari istana kerajaan. Benar adanya sekolah Mahbub kini menjadi SD Muhammadiyah.
Namun ia keluar karena sering berkelahi setengah dikeroyok, susah dengan pelajaran berhitung, dan tidak betah dengan teman-temannya yang mengusik/ngrasani memakai bahasa Jawa. Guyonannya, Mahbub sejak kecil sudah memutuskan tidak masuk Muhammadiyah.
5. Mahbub pindah ke Sekolah Dasar Negeri No 27, letaknya di wilayah kampungku. Memang sukar membedakannya dengan rumah penduduk di sebelah-membelahannya, kalau tidak membaca papan namanya. Lagipula di gang sempit, dan halamannya sempit.
6. Pengungsi datang dari segala penjuru angin. Solo terengah-engah kepayahan menerima pendatang baru. Para pegawai bersetia bekerja dengan pemerintah RI ikut mengungsi. Benar bahwa Solo ialah kota kecil yang penghuninya nguler kambang dan penuh hiburan, tiba-tiba kebanjiran ribuan pengungsi.
7. “Mambaul Ulum terdiri dari belasan ruang kelas jajar dua, di sebelah kanan Masjid Agung, buah usaha Paku Buwana X, buah bibir orang sebekas kerajaan, tubuh besarnya penuh ditaburi segala macam bintang.”
Sebagaimana ditulis Kuntowijoyo (2006), tubuh raja PB X ditemploki bintang 2 kati (18 kilo). Ia memainkan simbol karena kekuatan politiknya menyusut akibat digencet pemerintah kolonial Belanda.
Dengan berseragam kain batik, jas dril putih, tanpa kopiah, bahkan tanpa sandal, Mahbub kecil bersekolah di Mambaul Ulum. Sekolah yang dibangun 23 Juli 1905 ini untuk menyiapkan siswa menjadi pengulu menduduki jabatan surambi masjid dan rad (pengadilan) agama di kerajaan. Buah hati sentana dalem, abdi dalem maupun kawulo dalem bisa menikmati pendidikan di sini. Ongkosnya murah, 0,5 gulden per bulan atau setara 20 kg beras.
Pengelolaan sekolah ini adalah KRTP Tapsiranom V. Adapun guru mengajar bacaan Al Quran, yaitu: (1) Haji M Fadlil, juru kunci di Pajang, berpangkat maulim 2; (2) Bagus Abdul Khotam, abdi ulama berpangkat muddaris; (3) Kiai Muhammad Nawawi, abdi perdikan di Gempol, berpangkat muddaris. Pengajar kitab: (1) Kiai Bagus Arfah, abdi ulama berpangkat mualim 1; (2) Kiai Muhammad Idris, abdi ulama berpangkat mualim 2; (3) Kiai Fahrur Rozi, juru kunci di Kapundang, berpangkat mualim 3; (4) Kiai M Ilyas, abdi dalem perdikan di Jati Songo berpangkat muddaris; (5) Kiai M Anwar, berpangkat muddaris.
Peserta didik selain menerima pelajaran mengenai agama Islam, juga bahasa Jawa, bahasa Melayu, berhitung, ilmu kodrat, dan beberapa mata pelajaran lainnya. Lulusannya banyak yang dadi uwong (jadi orang) dan jempolan. K.H Saifuddin Zuhri (1919-1986) menjadi Menteri Agama RI kabinet Soekarno; pakar fisika Ahmad Baiquni; Munawir Sjadzali sebagai Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan 1983-1993, dan KH. Imam Zarkasyi sebagai pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor.
8. “Kiai Amir, ujung wiron batiknya menyentuh lantai, membuka perpustakaan di rumah. bukan baca kitab, baca buku. Ada buku cerita anak, roman, pokoknya rupa-rupa. Gerbang barat benteng keraton, di depannya ada jalan, masuk dan tanya saja di situ.”
Analisi dari penjelasan ini, rumah kiai tersebut di kampung Reksoniten. Kiai Amir menjadi model ulama yang sadar literasi, juga terpengaruh oleh iklim Solo sebagai kota literasi dan melahirkan banyak pujangga. Dari lahapnya bacaan semasa SMP bukan hanya meluaskan pemahaman, tapi juga menjadi pondasi Mahbub mencintai dan menulis segala tema. Dalam umur 13 jalan 14 tahun, Mahbub dengan bacaan itu mampu mempertanyakan, meragukan, mengkhayal, membangkang, dan mengagumi. Membaca yang disantapnya ialah Si Samin, Si Dul Anak Betawi, dan karya penulis Barat.
9. Tahun 1947, setahun setelah Mahbub di kota ini, ia mengantar penguburan prajurit yang gugur di front selatan Semarang. Dikubur di Taman Pahlawan Jurug, tepian Bengawan Solo makin hari makin meluas ke barat. Benar bahwa tempat mengebumikan para pejuang yang gugur di medan laga ini terletak di barat sungai tua ini. Andai Mahbub menyebut Kali Pepe, Kali Samin, atau Kali Anyar, bakal meruntuhkan bangunan fakta yang disusunnya dalam novel itu.