Habibussalam
Penulis Kolom

Ketua Badan Ekonomi Pesantren Al Anwar 3 Sarang Rembang dan Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren/HEBITREN Wilayah Jawa Tengah.

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (3): Food Estate dan Peran Pesantren dalam Ketahanan Pangan

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (3): Food Estate dan Peran Pesantren dalam Ketahanan Pangan

Di tengah kolapsnya berbagai sektor usaha akibat pandemi, bisnis pangan diyakini memiliki daya tahan yang jauh lebih unggul. Selain merupakan kebutuhan pokok warga, status Indonesia yang banyak mengandalkan impor pangan kian terjepit ketika banyak negara surplus memilih untuk membatasi ekspor ke luar negeri dengan tujuan menghindari krisis internal.

Sebagai gambaran, tahun 2018 lalu Indonesia yang katanya negeri agraris, ternyata mengimpor beras sebanyak 2,14 juta ton. Di tahun 2019, meski mengalami penurunan, Indonesia masih menerapkan kebijakan sama. Tak heran, beberapa waktu lalu pemerintah gencar mempromosikan konsep ‘Food Estate’ sebagai solusi permasalahan pangan. Tapi, apa yang sebenarnya dimaksud food estate itu?

Konsep Food Estate

Secara ringkas, ‘Food Estate’ merupakan pola pengembangan kebercukupan pangan dengan mengintegrasikan lahan pertanian, perkebunan, dan juga peternakan dalam satu kawasan. Kasarnya adalah lumbung pangan dengan skala besar. Untuk jenis tanamannya sendiri, food estate hanya akan fokus pada satu komoditas saja, namun tentu jumlah produksinya jauh lebih tinggi.

Dengan menilik situasi pandemi seperti sekarang, menjaga ketahanan pangan masa depan seakan menjadi poin yang sangat krusial. Hanya saja, mengembangkan kawasan produktif seperti tadi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan sejenis sebenarnya sudah pernah beberapa kali diterapkan, dan beberapa di antaranya ternyata gagal total, seperti proyek satu juta hektar sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang tak produktif saat era Soeharto. Tak hanya di Kalimantan yang tak membuahkan hasil, proyek berbudget besar dengan tujuan sama di Sumatra Selatan, Merauke, dan Ketapang pun tak berjalan sesuai harapan.

Baca juga:  Sifat Uang dan Kekuasaan

Faktor kegagalan itu salah satunya berkaitan dengan strategi satu arah, tanpa perencanaan matang serta tanpa pelibatan masyarakat sekitar. Yang memprihatinkan, tak hanya menutup peluang agribisnis, pemerintah dulu juga akhirnya mengorbankan posisi para petani dan kualitas hidup warga lokal.

Kini, dengan terobosan yang hampir sama, nyatanya anjuran untuk merubah pola tanam oleh pemerintah dalam program food estate baru-baru ini di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah nyatanya berbuntut sama. Berdasarkan laporan Kepala Desa Belanti Siam, petani yang tergabung dalam program lumbung pangan atau food estate mengaku bahwa mereka mengalami penurunan produksi, bahkan dalam beberapa kasus, ada yang sampai gagal panen.

Peluang Kolaborasi dengan Pesantren

Kegagalan dalam pengelolaan food estate seperti tadi sebenarnya dapat diminimalisir, jika pemerintah tak bersikeras memaksakan diri. Keterlibatan investor dan pihak swasta semata, tanpa menyerap aspirasi petani sebagai subjek utama pertanian, sama saja memicu permasalahan baru. Sebabnya, isu pangan tak hanya sekadar menyediakan stok pangan yang cukup, tapi juga menyangkut pemberdayaan petani dan ketahanan lingkungan.

Jika pengelolaan food estate tetap egosentris, dengan hanya mengandalkan perspektif pemerintah, dikhawatirkan deretan kegagalan akan terus berlanjut, dan bukan tidak mungkin rakyat yang lagi-lagi menjadi korban: mengalami kerugian akibat gagal panen, hingga terancam menjadi korban bencana akibat perusakan lingkungan.

Baca juga:  Lagu, Logo, dan Muktamar Muhammadiyah

Kunci kolaborasi dalam pengembangan sumber daya pangan sebenarnya terbuka luas dengan melibatkan lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren dengan menggandeng kelompok tani binaan di daerah sekitar. Bentuk kerjasama tersebut bahkan sudah didahului oleh sejumlah lembaga filantropi dan pesantren di seantero negeri.

Contohnya adalah yang baru saja diinisiasi oleh  Dompet Dhuafa melalui Social Trust Fund (STF) bersama Ok Oce dan Pondok Pesantren Alam (PPA) Al Muhtadin yang membangun sinergi ketahanan pangan di Desa Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat. Realisasinya akan mengcover sekitar 50 hektar sawah irigasi. Pengerjaannya sendiri akan menggaet 10 kelompok tani binaan, yang per kelompoknya terdiri atas 10 hingga 20 kepala keluarga. Dengan perkiraan tiga kali masa produksi dalam setahun yang semuanya dikelola oleh para santri dan petani pemberdaya, harapannya akan dapat menghasilkan enam hingga tujuh ton sekali panen dalam kurun waktu 3 bulan.

Selain di Sukabumi, ada juga Pesantren Al-Amin di Kota Dumai, Riau yang sukses membangun fasilitas budidaya jamur tiram dengan kapasitas 5000 baglog. Tercatat, dalam satu hari usaha tersebut dapat menghasilkan 10 hingga 15 kilo jamur tiram yang dipasarkan, baik melalui jaringan pasar tradisional maupun retail modern. Tak hanya itu, pesantren Al Amin turut mengembangkan sayap di ranah lainnya, dari perikanan hingga peternakan. Atas keberhasilan pengembangan model bisnis tersebut, beberapa waktu lalu Pesantren Al Amin terpilih sebagai pondok pesantren paling unggul di bidang kewirausahaan oleh Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP). Kini dengan ekspansi yang semakin luas, Pesantren Al Amin tak hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok internal mereka, tapi telah membantu terbukanya lowongan kerja bagi masyarakat sekitar serta menjadi pioneer kemandirian UMKM berbasis lembaga pendidikan keislaman di daerah Riau.

Baca juga:  Mengapa Ada Phobia Agama?

Melihat dua kisah kesuksesan pesantren tadi dalam mengelola kawasan yang mengintergrasikan berbagai bisnis pangan, tak ada salahnya jika kemudian pemerintah perlu semakin intensif membuka kerja sama dengan berbagai pondok pesantren di berbagai wilayah untuk memaksimalkan ketersediaan pangan sekaligus memberdayakan para petani.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top