“Kapan kalian pindah ke agama kristen?” pertanyaan itu berulang kali kami dengar dari peziarah asing yang berkunjung ke wilayah Palestina. Pemahaman salah kaprah yang meyakini bahwa rakyat Palestina sepenuhnya muslim membuat identitas warga Kristen terus dihujani tanda tanya. Padahal sejatinya hampir 20% populasi Palestina adalah umat Nasrani, fakta yang jarang diketahui luas oleh masyarakat internasional.
Di satu sisi, tradisi Kristiani sebenarnya jauh lebih lama terjaga di bumi Palestina. Berbeda dengan Eropa yang baru mengadopsi agama Kristen saat masih menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi, pada abad ke-4 Masehi. Sebelum masa tersebut, Natal sudah menjadi perayaan orang-orang Kristen di Palestina dan wilayah Levant, di mana tradisi kuno mereka masih berkembang sampai sekarang. Salah satu yang paling indah adalah tradisi Paskah, ketika ribuan umat berduyun-duyun ke Gereja Makam Suci di Yerusalem.
Hingga kini mereka masih menjalankan budaya menyalakan api dari ruang bawah tanah-ruang di mana orang Kristen percaya bahwa Yesus dikuburkan setelah penyaliban-Nya. Tak lama, lonceng kemudian dibunyikan, menyalakan memori masa lampau saat Kristus telah bangkit, dan nyala api itu, Api Kudus, digunakan sebagai penanda untuk menyalakan lilin lain, yang kemudian disebarkan ke desa-desa dan kota-kota setempat.
Selanjutnya, seluruh kota akan menunggu dengan taat, memegang lilin mereka masing-masing, dan kemudian bersorak ketika perwakilan dari gereja yang dipercayakan untuk melindungi api itu membawanya keluar dengan menunggang kuda (atau dalam beberapa tahun terakhir, dibawa serta keluar dengan mobil). Mereka lalu berduyun-duyun untuk menyalakan lilin mereka sendiri.
Berbeda dengan perayaan Natal masa sekarang yang jauh lebih riuh, Natal di Palestina zaman dulu penuh dengan keheningan, bahkan kebiasaan mereka bisa dikatakan sangat mirip dengan umat muslim yang memulai perayaan dengan beribadah dan saling silaturahmi. Di Yerusalem, pagi hari di waktu Natal akan diawali dengan berdoa di gereja dan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan sosial. Tidak ada pohon Natal, tidak ada hadiah, tidak ada pakaian baru atau permen. Kenangan klasik bagi para sesepuh di sana amatlah sederhana; hanya cinta, kedamaian dan kepuasan hati yang lapang di dada.
Setiap tahun jelang Natal, rata-rata keluarga Kristen akan memasak hidangan populer Palestina yang bernama Maftool, teksturnya mirip sekali dengan couscous. Sebagai pelengkap, ada juga yang membuat manisan sederhana yang disebut Qarsa. Para ibu dan wanita paruh baya akan menyiapkan adonan pada malam Natal, membungkusnya dengan selembar kain, dan menggantungnya dari langit-langit sampai keesokan harinya. Mereka kemudian memanggangnya di oven lumpur tua yang membuat harum semerbak aromanya tercium ke jalan-jalan. Setelah selesai, makanan tadi dipotong untuk dimakan bersama. Namun sebelumnya akan dituangkan minyak zaitun dan taburan gula di atasnya. Begitulah sarapan istimewa mereka.
Yang tak kalah menarik, Warga Palestina akan saling mengucapkan “Eid Milad Majid” yang artinya ‘Hari Raya Kelahiran’. Dalam bahasa Aram, atau bahasa yang digunakan Yesus, bermakna ‘Eedookh Breekha’ yang berarti ‘Terberkatilah Natalmu’. Sapaan tadi justru sepi dari hiruk pikuk kontroversi. Praktik toleransi nyata mereka malah semakin menguat, terutama okupansi dari Israel tak sebatas melanggar hak hidup warga Muslim tapi juga umat Nasrani yang telah lama mendiami tanah Palestina.
Oleh karenanya, alih-alih menambah beban ganda sesama warga, umat Muslim dan Nasrani di sana justru saling mengunjungi dan berbagi makanan ketika hari raya tiba, termasuk saat Natal. Realita kerukunan yang diperlihatkan umat Islam dan Kristen di sana lantas mengingatkan saya pada pernyataan Gus Dur bahwa benar, “agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan.”