Baru-baru ini, Inggris diguncang serangkaian kerusuhan yang menargetkan kelompok imigran dan komunitas Muslim. Insiden yang dimotori oleh sejumlah grup sayap kanan tersebut dipicu oleh tewasnya tiga anak perempuan pada tanggal 29 Juli 2024 di Southport, kota di sebelah utara Liverpool.
Setelah ditangani oleh polisi, informasi mengenai proses hukum dan identitas pelaku tidak langsung diumumkan. Hal ini karena menurut sistem hukum di Inggris, media dilarang memberitakan nama pelaku yang telah ditangkap sebelum proses pengadilan berlangsung. Di satu sisi, kebijakan ini mendukung penyelesaian kasus secara adil dan menyeluruh. Namun, di sisi lain, kekosongan informasi yang ditinggalkan membuka ruang bagi spekulasi dan opini publik yang disuarakan melalui media sosial.
Situasi tersebut mendorong figur sayap kanan seperti Tommy Robinson dan Andrew Tate menyebarkan informasi keliru bahwa pelaku pembunuhan adalah imigran illegal beragama Islam. Mereka juga memprovokasi agar publik melawan para imigran dan menghentikan mereka sebelum Inggris direbut dan dikuasai.
Tak ayal, postingan mereka memicu emosi para followers mereka yang sebagian besar memiliki sentimen negatif terhadap imigran dan kelompok minoritas, termasuk umat Muslim. Padahal, pelaku adalah warga negara Inggris berusia 17 tahun dan lahir di Cardiff, serta bukan pemeluk Islam. Namun, fakta ini terlambat diinformasikan. Sehari setelah propaganda Tommy dan Andrew menyebar, masjid di Southport diserang secara membabi buta oleh kelompok ultranasionalis yang terus menggaungkan, “English till I die.”
Tidak hanya masjid lokal di Southport yang menjadi sasaran, tetapi rumah-rumah, akomodasi sementara pengungsi, dan unit-unit bisnis milik imigran di berbagai kota juga ikut diserang oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan. Aksi kekerasan ini meluas hingga ke luar wilayah Liverpool, menyasar komunitas imigran di banyak tempat. Beberapa kelompok ekstremis, seperti Patriot Defence League, Britain First, dan Pegida UK, diduga berperan penting dalam mengorganisir kerusuhan ini. Mereka menggunakan platform seperti Telegram untuk mengoordinasikan serangan di berbagai daerah, meningkatkan skala dan dampak dari kerusuhan tersebut.
Perlukah Sensor dalam Bermedia Sosial?
Kekerasan yang dipicu oleh kelompok sayap kanan di Inggris pada akhir bulan Juli lalu memperlihatkan bagaimana kebebasan berpendapat di media sosial dapat disalahgunakan. Dalam kasus ini, disinformasi yang menyebar dengan cepat melalui platform-platform seperti Telegram dan X/Twitter memperburuk situasi, memicu aksi kekerasan yang tidak hanya terfokus pada satu daerah tetapi meluas ke berbagai kota. Kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi, digunakan oleh beberapa pihak untuk menyebarkan kebencian dan propaganda.
Yang miris, pemilik X terbaru, Elon Musk, pun turut menebuh genderang provokasi. Ia membuka kembali akses-akses akun-akun tokoh dan organisasi ekstremis dengan berbagai ideologi dengan dalih kebebasan berpendapat. Bahkan ia beberapa kali mengutip tweet sejumlah tokoh ekstremis yang tentu kian mengundang kontroversi. Terakhir, ia sempat menyinggung publik Inggris yang kesulitan memiliki senjata (tidak seperti di Amerika Serikat), sehingga publik tidak bisa melawan aparat bila mereka ditangkap.
Bila sudah seperti ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan untuk mencegah informasi yang keliru dan propaganda lainnya? Sedangkan di saat yang sama, di negara-negara demokrasi, kebebasan bersuara selalu menjadi tameng dalam tindakan rasis, diskriminatif dan berbahaya.
Standar Ganda Pemerintah Inggris dalam Penanganan Kelompok Ekstremis
Isu lain yang mencuat dari kerusuhan ini adalah adanya standar ganda dalam respons pemerintah Inggris terhadap kekerasan yang melibatkan kelompok sayap kanan dibandingkan dengan kelompok ekstremis Muslim. Kritik ini muncul karena banyak pihak yang merasa bahwa pemerintah lebih lambat dan kurang tegas dalam menindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan.
Sementara itu, tindakan keras dan segera sering kali dilakukan terhadap kelompok ekstremis Muslim, meskipun dalam skala ancaman yang serupa atau bahkan lebih kecil. Misalnya, dalam beberapa kasus terorisme yang melibatkan ekstremis Muslim, pemerintah Inggris dengan cepat memberlakukan kebijakan darurat dan meningkatkan pengawasan.
Ketika kekerasan dilakukan oleh kelompok sayap kanan, respons pemerintah sering kali terlihat lebih lambat dan terkadang kurang tegas dalam penegakan hukum. Hal ini memunculkan persepsi bahwa ada perbedaan perlakuan terhadap ancaman kekerasan, yang didasarkan pada latar belakang ideologis pelaku. Perbedaan perlakuan ini pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap netralitas dan keadilan hukum di Inggris.
Penelitian yang dilakukan oleh lembaga think tank pertahanan dan keamanan, Royal United Services Institute (Rusi), pada tahun 2015 dan 2016 di wilayah-wilayah yang terdampak oleh ekstremisme sayap kanan juga mengungkapkan bahwa masyarakat sering kali mengaitkan kekerasan semacam ini dengan tindakan hooliganisme atau kriminalitas, bukan dengan terorisme atau ekstremisme kekerasan. Sebaliknya, ekstremisme cenderung lebih sering diasosiasikan dengan Islamisme dan jihad kekerasan.
Akibatnya, kelompok sayap kanan kerap berkelit dari hukuman dan tindakan tegas pemerintah hingga sanksi sosial. Mereka hingga kini terus berjejaring dengan leluasa, dan bahkan berhasil menciptakan huru-hara baru yang membuat publik Inggris terutama kelompok minoritas harus was-was. Dan, bila tidak ada perubahan kebijakan penanganan terhadap mereka ke depannya, bisa dipastikan kerusuhan sejenis di Inggris hanya tinggal menunggu waktu saja.