Toko kitab “Sapakira” yang terletak di kampung Banjar, Ampenan, Mataram,Lombok, Nusa Tenggara Barat bukanlah toko kitab biasa, terutama bagi kalangan pesantren di pulau Lombok. Toko kitab ini adalah usaha bersama milik satu rumpun keluarga ulama asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Mereka, keluarga ulama ini, datang ke Kota Ampenan pada awal abad-20 Masehi. Mereka masih bersambung nasab dengan seorang ulama besar Banjarmasin abad 18 M, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, pengarang kitab fikih yang terkenal itu: Sabilal Muhtadien.
Keluarga ini kemudian menikah dengan salah satu puak ulama besar Lombok di desa Sekarbela, Jempong Baru, Mataram sehingga regenerasi keulamaan keluarga ini terjaga dengan baik sampai sekarang.
Sejak kecil saya sering diajak ayah belanja kitab di Sapakira. Ayah meyakini “keberkahan” berbelanja di toko kitab ini tanpa penjelasan apapun. Setiap awal bulan memacu motor bebek ke Ampenan.
Belakangan saya tahu, bahwa pendiri toko kitab Sapakira, Tuan Guru Saleh Hanan bin Tuan Guru Mustafa Bakri al-Banjari, adalah teman yang sudah seperti saudara-sendiri bagi guru ayah, Tuan Guru Abhar Muhyiddin Pagutan. Tuan Guru Saleh dan Tuan Guru Abhar pernah nyantri bareng di sebuah madrasah yang diasuh oleh seseorang ulama kharismatik dari kalangan “ahlul bait” yang alumni Universitas al-Azhar, Mesir, Sayyid Abdurrahman Assegaf. Dan itu berlangsung pada kuartal abad 20, di masa kolonial, di sebuah pulau kecil di bagian Timur Indonesia.
Sebelum lupa, penting juga dituliskan bahwa Tuan Guru Mustafa Bakri, Ahmad Sayuti (kakaknya), Sayyid Ahmad Idroes (asal Palembang), Sayyid Ahmad al-Kaf, dan Saleh Sungkar adalah para pendiri organisasi Persatuan Islam Lombok (PIL) yang nantinya dengan sukarela menggabungkan diri dengan Nahdlatul Ulama (NU), dan mereka adalah para pengurus awal NU di pulau Lombok. Sebuah foto pelantikan pengurus Nahdlatul Ulama Lombok yang bertitimangsa 1939 terbingkai rapi di atas meja kasir toko kitab ini.
Saat ini toko kitab Sapakira dikelola berdasarkan manajerialisme keluarga yang tidak ada dalam kamus manejemen modern. “Semua kami kelola sekeluarga. Saya dan beberapa saudara secara bergiliran membagi untung penjualan per-enam bulan. Penjaga toko juga adalah anak-anak kami. Ini bukan soal keuntungan semata, tetapi menjaga marwah tradisi keberislaman, keluarga dan hubungan kekeluargaan di antara kami,” tutur salah satu putera Tuan Guru Soleh kepada saya.
Hampir saja saya runtuh mendengar penuturannya. Ikhtiar mencari cara bertahan, tidak saja soal survival ekonomi, merawat tradisi adalah bagian yang menarik diperhatikan dalam konteks kapitalisme lanjutan hari ini.
Ada persoalan menarik terkait wacana kota dan agama. Apalagi jika melihat sebuah ibu kota seperti Jakarta yang setiap hari bising, sumpek, dan macet karena tidak menemukan formula bagi mesin “hasrat” para warganya.
Di antara “hasrat” tersebut adalah ambisi para warganya menaikkan volume atau menampakkan wujud ekspresi keberagamaannya sehingga agama menjadi bagian dari kesumpekan Jakarta. Apakah dulu Ibnu Khaldun ketika menuliskan peradaban kota karena mencandra gejala menguatnya agama?
Hamid Dabashi dalam Being Moslem in The World hanya menyisir sedikit soal su’ubiyah (saya tidak pasti) sebagai urbanisme yang disangga kaum urban di kota-kota abad kedelapan sampai kesepuluh di Timur Tengah. Dabashi menekankan ciri kaum urban masa itu: anti otoritas saja. Kaum urban yang menolak perikatan dengan otoritas keagamaan maupun politik tanpa harus jengah dengan agama.
Mereka terdiri dari para intelektual yang menulis apa saja, termasuk isu agama dengan mandiri. Dabashi tidak menyebutkan soal ateisme dan anti-agama, hanya lebih menonjolkan bagaimana sebuah kota menjadi tempat kondusif bagi kesuburan intelektual.
Ampenan adalah sebuah kota-pelabuhan yang didirikan dengan utopia kolonialisme Eropa awal abad lalu: bagaimana kota di tanah jajahan disusun seperti kota di Eropa karena mereka yakin akan terus mengontrol kota itu selamanya.
Ampenan sepenuhnya disusun dengan semangat kolonialisme semacam itu. Bukan saja kelas-kelas sosial yang terjajar, tetapi segregasi demografik berdasarkan ras untuk memastikan susunan kemanusiaan warga kota secara rasial.
Kota kolonial adalah kota rasial yang sangat rapi. Berbeda dengan kota yang disusun oleh kapitalisme-lanjut yang lebih menonjolkan keangkuhan modal dan kesemerawutan. Karena kolonialisme adalah kakak kandung kapitalisme, mereka sama prestasinya dalam menyemarakkan penindasan. Dan yang selalu ganjil, dari susunan penindasan itu rekah utopia pengetahuan: jaminan bagi pengembangan intelektualitas, atau paling tidak pengetahuan itu terlihat pas, bahkan cenderung nyaman, hidup di kota.
Satu fakta yang rekah dari sejarah Ampenan, terutama dari keragaman warganya, adalah ia menjadi rujukan ilmu agama. Para Hadrami, terutama para “sayyid”, melahirkan tradisi keulamaan yang kuat dan mampu bersenergi dengan jaringan ulama lokal untuk menumbuhkan keberislaman yang sinambung dan dinamis.
Sinergi itu menjadikan Ampenan rujukan Islam orang Lombok, tidak saja menjadi rujukan selera duniawiah. Orang Sasak memiliki ciri keislaman yang sangat menghormati keluarga suci Nabi saw dan para ulama. Seperti halnya Jakarta (mungkin), Ampenan pernah menjadikan NU sebagai praktek keberislaman kota yang kemudian muspra oleh berbagai sebab.
Apakah hari ini, para keluarga suci Nabi saw itu mengalami krisis keulamaan seperti yang pernah mereka alami pada abad 19 ? Sebagian Hadrami Ampenan, kebanyakan dari kalangan biasa, membawa paham impor dari Saudi di tengah keberlimpahan duniwiah mereka. Wallahu ‘alam bishawab.