Sejak abad-13 sampai 16 Masehi Lombok menjadi rebutan kekuatan di sekitarnya, antara para penguasa Bali (kerajaan Gelgel) maupun Gowa-Makassar. Hal ini bisa dibaca dalam laporan H.J de Graaf dalam “ Lombok in 17e Eew”, para aparatur kolonial Belanda ataupun babad yang terkait dengan Bali dan Lombok.
Pada abad 18 Masehi, penguasa “luar” dari Karangasem, Bali, mulai mengukuhkan kekuasaannya di pelabuhan Tanjung Karang, bagian Barat pulau Lombok. Ekspansi orang-orang Bali tidak berlangsung mulus, di antara mereka terjadi konflik perebutan kekuasaan yang sangat alot: berulangkali pecah perang saudara.
Baru pada kuartal awal abad-19, para penguasa dari Bali berhasil mengkonslidasikan kekuasaannya di pulau Lombok. Terutama sejak berkuasanya I Gusti Ngurah Ketut Karangasem bersama adiknya I Gusti Gde Ngurah Karangasem di Mataram. Beberapa sub-keraton (puri) penguasa Bali selain Cakranegara, seperti Pagutan,Karangasem-Sasak, dan lainnya menerima dominasi puri Cakranegara (Mataram).
Para pedagang asing Eropa memanfaatkan konflik para penguasa Bali di Lombok. Berdasarkan catatan aparatur kolonial Belanda, sejak abad 18 Masehi perusahaan-perusahaan dagang Eropa memiliki kantor cabang di Mataram, terutama di pelabuhan Ampenan yang saat itu menjadi pelabuhan perdagangan yang sangat ramai.
Para penguasa Bali di Lombok memiliki bekerjsama perdagangan dengan perusahaan Eropa, terutama Inggris dan Denmark. Alfons Van der Kraan mengatakan bahwa pendapatan dari kerjasama perdagangan ini menghasilkan sumber kekayaan yang besar bagi para penguasa Bali Karangasem di Lombok.
Baca juga:
Jelang Munas Alim Ulama (4): Gus Dur dan Ulama Lombok
Toko Kitab Sapakira Ampenan, NU, dan Sebuah Kota
Salah satu faktor yang memberi daya tarik para penguasa pribumi memperebutkan Lombok adalah longgarnya pengaruh kolonial Belanda di Bali, dan terlebih di Lombok. Para raja Bali di Lombok tidak dikontrol ketat oleh Belanda seperti di Jawa atau daerah lainnya.
Sebagai pelabuhan perdagangan yang sangat ramai dengan rute yang tersambung dengan berbagai daerah di Indonesia, bahkan di regional Asia Tenggara, Ampenan menjadi tujuan dari berbagai kelompok, termasuk kaum Hadrami, kalangan Arab.
Bersama dengan orang Cina, kalangan Arab ini menetap di sentra pelabuhan Ampenan. Mereka tidak saja terdiri dari kalangan Arab biasa, tetapi juga para “keluarga suci” Nabi saw, para sayid yang memiliki otoritas keilmuwan dan ruhani yang sangat mempengaruhi dinamika pemikiran keislaman di pulau Lombok.
Seperti disebutkan oleh Fajri Al-Attas dalam salah satu penelitiannya, bahwa pada abad-19 Masehi Belanda memperkerjakan para “sayid” di pos-pos penting pemerintah kolonial, terutama di bidang kerjasama perdagangan dan diplomatik. Kebijakan kolonial semacam ini menyebabkan krisis regenerasi keulamaan di kalangan para habib dan sayid di Indonesia.
Krisis tersebut berlangsung dalam rentang yang cukup panjang. Sebagian dari para sayid yang bekerja sebagai aparatur kolonial gelisah dengan kondisi ini sehingga mereka mencoba dengan segala daya upaya untuk mengembalikan tradisi keulamaan di antara mereka.
Sekali lagi, abad-19 Masehi adalah puncak dari masa kejayaan Ampenan sebagai pelabuhan dagang. Kepala pelabuhan yang ditunjuk oleh raja Bali Karangasem di Lombok adalah Sayid Abdullah. Tokoh Hadrami ini memegang banyak otoritas, di antaranya sebagai penasehat raja di bidang politik dalam dan luar negeri. Mengapa?
Karena kemampuan Sayid Abdullah di banyak bidang sangat luar biasa. Ekspresi-ekspresi kekaguman para elit sangat tampak. Misalnya saja, raja mengambilnya menjadi menantu. Lalu raja memberinya tanah luas di perbukitan selatan, di daerah Sekotong, Lombok Barat, tepat di sisi selatan pelabuhan Lembar hari ini. Sayid Abdullah menikahi dua putri raja Karangasem dari puri Cakranegara.
Nama lengkapnya adalah Said Abdullah bin Abdurrahim al-Kadrie (kemungkinan Al-Gadri). Menurut pakar sejarah dari Universitas Udayana, Bali, I Gde Paramirtha, Sayid Abdullah lahir dan tumbuh dewasa di Surabaya. Tetapi berdasarkan informasi keturunannya, beliau lahir dan besar di keraton kesultanan Pontianak, bagian dari bangsawan inti kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat.
Menurut aparatur kolonial Belanda, Leifrinck, Sayid Abdullah memonopoli barang impor dan ekspor, seperti gambir,kain lena, dan tata kelola pangan se-pulau Lombok.
Posisi kekuasaanya yang startegi ini yang membuat iri banyak bangsawan Bali Karangasem di Lombok, dan Sayid Abdullah terlibat kontestasi perebutan kekuasaan antara putera-putera Ratu Agung Gde Ngurah Karangasem yang menggantikan posisi kakaknya sebagai raja Bali Lombok pada tahun 1870.
Para pedengkinya tidak saja membesar-besarkan posisi pentingnya dalam kerajaan,tetapi juga perhubungannnya yang sangat dekat dengan warga pribumi Lombok, orang Sasak. Seperti disebutkan dalam banyak catatan, Ratu Agung adalah raja yang sangat peka dengan peta keragaman rakyatnya, terutama orang Sasak.
Atas saran Sayid Abdullah, guna mengurangi resistensi warga Sasak, Ratu Agung mengambil permaisuri dari bangsawan Sasak, yakni Denda Aminah dari desa Kalijaga, Lombok Timur.
Belanda dan bangsawan Bali di Lombok mencurigai peran ganda Sayid Abdullah, terutama kedekatannya dengan kalangan pribumi Sasak yang menjadi ancaman para penguasa Bali-Lombok. Meletusnya banyak pemberontakan terhadap para penguasa Bali di Lombok dipicu oleh kerjasama antara kalangan Hadrami dengan para ulama Sasak.
Abad-19 Masehi adalah puncak dari ketertindasan orang Sasak, nasib buruk mereka disebabkan oleh perebutan kekuasaan di antara para penguasa Bali-Lombok, kolonial Barat, dan para elite orang Sasak sendiri. Dan kekuatan politik orang Sasak terletak di tangan para datu dan pangeran dari berbagai wilayah kedatuan kecil yang tersebar di Lombok.
Para elit Sasak seringkali mengambil langkah pragmatis dengan mengundang Belanda atau orang Inggris maupun Denmark ikut campur dalam konflik politik internal maupun perlawanan mereka terhadap penguasa Bali.
Sebagian elit Sasak bekerjasama dengan Belanda, pihak Inggris dan Denmark. Tidak sedikit di antara mereka juga berkerjsama dengan penguasa Bali-Lombok. Micahel Laffan mengatakan, bahwa Sayid Abdullah adalah agen ganda karena ia bekerja untuk kerajaan Karangasem Lombok dan pemerintah Belanda sekaligus.
Pendapat Laffan ini tidak serta merta harus disebut sebagai bentuk kalaborasi kalangan hadrami dengan kaum penjajah seperti yang diuraikannya panjang-lebar dalam bukunya, tetapi harus ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas,terutama dinamika politik para penjajah lokal dan asing yang tidak membuat kalangan hadrami menjadi tidak mudah.
Paling tidak dapat disimpulkan, bahwa kalangan Hadrami sudah sejak lama terlibat atau memiliki peran politik yang signifikan dalam sejarah kekuasaan di Indonesia. Posisi yang mereka ambil pun sangat beragam, ada yang pragmatis, ada yang resisten dengan kekuasaan, dan ada juga yang tidak berpolitik sama sekali.
Sebagai sebuah kelompok,kaum hadrami tidaklah statis. Mereka juga seperti kelompok lainnya, berubah dan penuh dinamika. Seperti pada kasus Sayid Abdullah, posisi politis yang diambilnya di antara para penjajah dimanfaatkannya untuk membantu orang Sasak yang menjadi objek penindasan para penjajah lokal dan asing. Seperti para pendahulunya, ia menikahi perempuan pribumi dan menetap di pedesaan bersama orang pribumi, dan kebiasaan semacam itu terus dipertahankan oleh anak-turunnya sampai hari ini dan tidak mengurangi kemulian mereka sebagai keturunan suci Nabi saw.
Jika dibandingkan dengan dinamika kaum hadrami hari ini, mereka terlalu sibuk mengurus keistimewaan nasab yang dilarang oleh leluhur mereka, Ali bin Abi Thalib. Wallahu yaqulul haqq wa huwa yahdis sabiil.