Dalam dunia pesantren mutakhir, kebudayaan itu pernah menjadi makna dan praktek yang sangat parsial, atau seringkali sempit. Misalnya, pada periode tertentu kebudayaan disamakan dengan kesenian, dan itupun kesenian yang terbatas seperti hadrah, terbangan, kasidahan,samanan, dan berbagai varian dari sholawatan. Walaupun ini mirip dengan penyederhanaan kebudayaan versi pemerintah, kesenian sebagai kebudayaan ala pesantren ini mungkin lebih bermutu karena memiliki sanad historis dan tidak sekedar sebagai pertunjukan semata (memiliki aspek relegius dan spritualitasnya).
Pernah juga kebudayaan disemarakkan dengan sastra, terutama penulisan puisi. Sejak tahun 80-an lahirlah istilah “penyair pesantren”. Kalau didata dengan baik, mungkin ada ribuan penyair berlatar belakang pesantren. Dan saya sepenuhnya tidak paham, apa pengertian penyair pesantren itu? Karena sejauh yang saya tahu, ya karena mereka menulis puisi dari ‘lokasi’ bernama pesantren. Selain itu, mereka berlatar pesantren, entah sebagai santri atau sebagai keluarga inti pesantren.
Dalam kasus sastra, saya tidak pernah mendapatkan gambaran yang utuh soal hubungan tradisi skolastik-humanistik ala pesantren Indonesia dengan tumbuh suburnya kapasitas menulis atau kapasitas artikulatif di dunia pesantren,terutama puisi. Saya juga tidak pernah, kecuali satu atau dua, orang pesantren yang dilabeli sebagai penulis atau penyair pesantren yang benar-benar menguasai pranata bahasa Arab, sastra Arab, kitab kuning pada satu sisi. Dan penulis pesantren yang bersitekun dengan pranata sastra Jawa, bukan saja ‘melek’ aksara Jawa atau aksara lokalnya pada sisi lain.
Saya hanya husnus dhan, bahwa tumbuh suburnya kepenyairan di dunia beririsan dengan tumbuh-ganasnya “kanker” sastra Indonesia secara umum longgar dan tidak jelas. Di mana tidak kriteria apapun di dalamnya sehingga siapapun bisa menyebut dirinya sebagai penyair atau penulis. Sebagian orang merasa heran, di Indoensialah puisi menjadi sesuatu yang remeh-temeh dan kehilangan wibawa.
Tradisi skolastik-humanistik ala pesantren itu adalah tradisi keilmuwan pesantren seperti penguasaan atas ilmu nahwu,shorof dan balagah. Kemudian dilanjutkan dengan membaca teks-teks Arab dalam bidang hukum, tafsir, hadis, akidah, dan tasawuf. Kapasitas keilmuwan di bidang ilmu-ilmu agama inilah yang seharusnya bersambut dengan literasi modern sehingga memperkaya dunia intelektual sastra di pesantren.
Karena dampak langsung kultur dan politik kolonial, pendidikan klasik pesantren akhirnya, sadar atau tidak, menjadi pendidikan hukum Islam (fikih oriented). Pendidikan sastra dengan segala perangkatnya tidak pernah menjadi sesuatu kekuatan yang mendorong kaum sarungan untuk mengimajinasikan mendasarnya fungsi dari pendidikan klasik yang mereka lalui (lakoni dalam bahasa Jawa).
Pernah juga kebudayaan di dunia pesantren jaman now itu berupa hubungan atau relasi yang susah dijelaskan, hubungan dengan sejumlah seniman beken di berbagai bidang kesenian. Baik sastra, seni rupa, film, seni tradisional, musik, dan lain sebagainya.
Ada perasaan tertinggal pada sebagian orang pesantren dengan kelompok lain dalam bidang kesenian kontemporer sehingga mereka menjalin berbagai perhubungan sosial dengan para seniman, kurator, dan tokoh kesenian terkenal. Dengan mengenal seniman beken, timbulah perasaan bahwa mereka sudah cukup berbudaya.
Padahal para seniman Indonesia di berbagai bidang kesenian sebenarnya memiliki level pemikiran kebudayaan yang sama buruknya dengan kalangan pesantren umumnya. Seniman beken belum tentu mengenal dengan baik wacana kebudayaan, apalagi politik dan fungsi politis kebudayaan Indonesia. Mereka hanyalah seniman yang berkarya di bidangnya dan sepi dengan pergumulan kebudayaan.
Saya bisa bertele-tele membahas makna dan praktek kebudayaan pesantren, tetapi satu lagi yang ingin saya paparkan, bahwa pernah juga kebudayaan itu dikaitkan dengan historiografi semata. Upaya menulis ulang sejarah Nusantara, pesantren, dan Indonesia. Sejak tahun 2000-an, terutama pertengahan 2000-an, tulisan tentang sejarah pesantren mencapai angka fantastis.
Hanya saja, kembali kita tidak mendapatkan ukuran penulisan sejarah yang seringkali mereka klaim sebagai histriografi alternatif. Tentu saja ada satu atau dua orang pesantren yang memiliki kapasitas menulis sejarah dengan standar yang bisa dipertanggung jawabkan. Sulit sekali membedakan histriografi dengan biografi tokoh.
Lesbumi dan postur kebudayaan Indonesia
Pasca rezim militer otoritarian, Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) dihidupkan kembali, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘pemulihan’ (rekuperasi) kelembagaan. Sebab setahu saya, secara kelembagaan jaringan Lesbumi di daerah-daerah masih aktif walau tanpa “pusat”.
Ada alasan lain, Di luar arus utama yang telah dipapar sebelumnya, sejak dekade 1990-an tumbuh kantong-kantong pemikiran anak muda yang merumuskan ‘jati diri’ (istilah untuk mempermudah saja), jaringan (dalam artian luas), struktur-infrastruktur dari kebudayaan pesantren. Perumusan intelektual dan eksprensial pesantren meliputi proses repolitisasi atas berbagai gagasan impor yang berkedok pembebabasan (emansipasi), dan secara internal berupaya memperluas jangkauan tradisi pemikiran pesantren di luar orientasi formal-legalistik.
Artinya, ketika secara kelembagaan Lesbumi dipulihkan, selain tersedianya ‘stok’ pengurus, juga terdapat ‘bahan mentah’ yang menjadi titik tolak kerja kebudayaan pesantren. Artinya, ada suatu kondisi yang lebih siap dibandingkan berapa dekade lalu.
Ketika buku Mbak Entis (Choirotun Chisaan): Lesbumi : Startegi Politik Kebudayaan ( LKiS: Yogyakarta) terbit, ada beberapa ikhtiar penulisnya justru disalahtanggapi oleh banyak kalangan. Paling tidak, menurut saya, mbak Entis sudah meninggalkan perdebatan tidak produktif, seperti soal sejarah-kronologis Lesbumi dan posisinya dalam kontestasi lembaga kebudayaan Indonesia pada masa itu, dekade 1960-an. Terutama isu yang paling menggelikan, yaitu pandangan sebagian orang luar NU, bahwa pendirian Lesbumi semata untuk mengimbangi Lekra.
Mbak Entis sudah berusaha menggali bahan-bahan, termasuk dari luar NU, untuk menunjukkan bahwa Lesbumi merupakan suatu lembaga kebudayaan yang menjadi kebutuhan internal dalam postur struktural Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam tataran ini, seringkali muncul pertanyaan lebih menyesakkan: kalau tidak menanggapi Lekra, lantas apa yang pernah dikerjakan Lesbumi dan orang pesantren di bidang kebudayaan?
Dalam ranah kebudayaan di Indonesia, salah satu aspek yang terlupakan adalah upaya serius menyusun wacana kebudayaan secara menyeluruh dan sistematis. Artinya, Indonesia membutuhkan orang yang masih mempercayai bahwa persoalan kebudayaan bangsa hanya bisa diurai dengan jalur akademis, sistematis, dan keterpelajaran (intelektual).
Pesantren pernah memiliki tokoh yang memiliki visi kerja kebudayaan yang serius, yakni Gus Dur. Dengan minat intelektual demikian luas, Gus Dur menggumuli persoalan kebudayaan secara luas. Dengan penguasaan yang mumpuni mengenai kompleksitas persoalan kebudayaan, Gus Dur membuka kemungkinan untuk menghubungkan pengalaman pesantren dengan pengalaman keindonesiaan. Tidak berhenti di situ, berdasarkan bahan baku pemikiran yang kompleks Gus Dur merumuskan ulang berbagai unsur pemikiran sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman pesantren.
Lantas munculah rumusan demikian: apa dan untuk siapa wacana dan praktek kebudayaan Indonesia itu? Dan inilah yang disebut dengan istilah yang gagah sebagai politik dan fungsi politis kebudayaan. Dalam beberapa buku yang ditulisnya, Gus Dur pernah memikirkan soal politik dan fungsi politis pesantren dalam jagad kebudayaan Indonesia modern.
Dalam harlah yang ke-56 ini, Lesbumi melanjutkan inventarisasi pergumulan pesantren di berbagai bidang masalah, juga berbagai zaman atau masa. Jika memungkinkan, memberikan tekanan tentang persitegangan pesantren dan kolonialisme lama dan baru. Dan, berdasarkan rekam jejak pergumulan yang diurai dan disusun secara sistematis (bukan sekedar ensiklopedik sifatnya) itulah Lesbumi bisa membuka kemungkinan baru arah politik dan fungsi politis kebudayaan pesantren khususnya, dan hubungannya dengan kebudayaan bangsa dan geopolitik internasional secara umum.
Tanpa kerja keras intelektual dan gerakan yang ketat, maka wacana dan kerja kebudayaan NU yang digawangi Lesbumi justru akan membenarkan dugaan orang lain, bahwa Lesbumi hanya “tjap” dan tempelan di dalam postur organisasi umat Islam tradisional bernama Nahdlatul Ulama. Wallahu ‘alam bishawab.