Sedang Membaca
Wajah-Wajah Berseri di Tanah Suci
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Wajah-Wajah Berseri di Tanah Suci

Img 20220705 Wa0058

Selasa, 5 Juli 2022. Tadi pagi bakda Subuh, saya dan 11 teman dari Media Center Haji melaksanakan umrah. Di Masjidil Haram, tidak ada orang Indonesia, kecuali beberapa saja. Kenapa?

Karena bus Shalawat yang biasa beroperasi dari maktab-maktab haji Indonesia ke Masjidil Haram berhenti operasi, terakhir tanggal 4 Juli. Dengan menghentikan bus, himbauan panitia haji agar jemaah istirahat efeketif. Menjelang puncak haji, wukuf di Arafah, Muzdalifa, dan Mina, sangat diperlukan kebugaran fisik. Dan itu harus istirahat. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji sangat-sangat kerja ekstra agar rukun haji ini dipenuhi semua jamaah, agar “al-hajju arafah”, haji adalah arafah, terpenuhi jemaah, tak terkecuali. Ini rukun (haji) amrun dakhiliyun minal ibadaat, bagian integral dari ibadah. Jika tidak dilaksankan, maka tidak sah hajinya. Loh, tapi kenapa kami umrah?

Karena baru sekali melaksanakannya, yaitu pertama datang tanggal 1 Juni. Pas kedatangan tanggal itu, kami hanya menjalankan umrah wajib, dini hari, tanggal 2 Juni. Setelah istirahat dan sarapan, tanggal itu juga, kami para petugas Daerah Kerja Bandara dan Madinah, meluncur ke Madinah. Jadi, kedatangan pertama di Arab Saudi, hanya sekitar 10 jam di Mekkah. Capek sekali, berjam-jam di pesawat, langsung umrah. Tapi terbayar dengan tawaf Qudum.

Nah, tadi pagi, kami tim Media Center Haji yang datang belakangan di Mekkah, semacam mendapat privilese untuk umrah lagi.

“Kasihan, kita persilakan umrah. Syaratnya keluar jangan ramai, dini hari, dan ke Tan’imnya pakai seragam,” kira-kira begitu kalimat Pak Kepala Seksi, Boy Azhar.

Pukul 2.15 kami meluncur ke Tan’im, menaiki mobil Hi Ace, mengambil titik Miqat. Tan’im ini tempat Miqat terdekat, jaraknya kurang lebih 5-6 km dari Masjidil Haram. Tempat ini, biasa digunakan Miqat oleh masyarakat setempat atau oleh orang yang sudah di Mekkah lalu ingin umrah, seperti kami ini. Menurut riwayat, Siti Aisyah waktu hendak umrah, diarahkan oleh Rasulullah Rasulullah ambil Miqat di situ. Itulah kenapa, masjid di Tan’im ini bernama Aisyah.

Tidak seperti Miqat Bir Ali di Madinah yang ramainya tidak tiap saat (2 kali saya ke Bir Ali untuk liputan), Tan’im, ramai 24 jam, kata temanku yang beberapa kali sudah umrah. Memang iya, banyak penjual tasbeh, sandal, taxi, jajanan, kopi, dan warung makan di sebrang jalan masih buka. Bahkan ada bocah main bola di samping masjid. Melihat mereka main bola dini hari di pelataran masjid, saya teringat saat kecil main gobag sodor dini hari di halaman masjid, saat bulan Ramadan.

Baca juga:  Mematuhi Pamali: Menjaga Kestabilan Alam

Di sana seragam petugas haji kami lepas, dan menggantinya dengan kain Ihram. Wudu, ganti kain Ihram, salat sunnah, nungguin teman, tengok sana tengok sini, niat umrah, total sekitar 30an menit. Saya mandi sunnah di hotel jam 1. Semoga bisa tercatat sebagai rangkaian umrah. Ternyata saya banyak ragu dengan rangkaian manasik yang pernah saya pelajari. Sebabnya satu, baru pertama kali melaksanakannya.

Perjalanan dari Tan’im ke Masjidil Haram cuma 10 menitan, dengan kecepatan santai, tanpa macet.  Sopir yang setia menghantar kami ke mana pun pergi bilang, “Saya pulang dulu nanti. Kalau sudah selesai umrah, kontak saja,” kata Nurhasan, yang tinggal di Mekkah bersama keluarganya. Kami semua paham, dia pasti kangen istri dan anak-anaknya, maklum, sudah sebulan lebih menemani kami selama di Madinah dan Jeddah. Hasan yang asli Situbondo, berbahasa ibu Madura, sudah 24 tahun tinggal di Mekkah.

Tepat pukul 3.15, mobil kami sampai di area parkir. Lalu kami berjalan kaki, 5 menit kemudian sampai Masjidil Haram. Masya Allah ramainya bukan main! Lantai 2 penuh sesak. Saya lupa kapan terakhir ada di tengah keramaian puluhan ribu orang. Kayaknya pas nonton pembukaan Asian Games, 2018, di GBK.

Kami memutar jalan mencari pintu yang dibuka munuju lantai dasar, tempat Kakbah berada.

Alhamdulillah ada pintu yang dibuka. Ada satu pintu lagi yang harus dilalui. Alhamdulillah masih dibuka juga, namun 3 teman wartawati tidak boleh masuk. Jemaah perempuan sudah disiapkan tempat khusus, di belakang laki-laki, dengan pembatas. Para petugas memang sedang sibuk menyiapkan shalat Subuh, salah satunya dengan menutup akses pelataran Kakbah agar tidak membludak.

“Mas, Subuh masih 30 menit lagi. Kita tawaf, lumayan dapat 1 putaran,” kata Abdul Hakim dari Koran Sindo kepada saya. Dia ini wartawan merangkap pembimbing ibadah, karena sudah beberapa kali ke sini, termasuk meliput haji 2010, juga alumni Pesantren Ath-Thariyah Semarang dan Fakuktas Syariah Wali Songo, Semarang. Sudah khatam dong. Waktu umrah wajib, dibimbing okeh Khoiron Durori pimpinan semua Media Center Haji, alumni UIN dan pesantren juga.

Benar, setelah tawaf 1 putaran, para petugas keamanan atau biasa disebut Askar, mengkondiskan pelataran Kakbah untuk shalat subuh. Aku lihat askar kewalahan membentuk shaf-shaf ‘lurus’ untuk shalat. Memang membludak. Butuh usaha sungguh-sungguh mengatur sedemikian banyak orang dengan kendala bahasa. Mereka harus berteriak-teriak sambil tangannya kasih isyarat agar jemaah yang masih ingin tawaf menjauh dari Kakbah.

Baca juga:  Memahami Poligami secara Arif: Lora Fadil di Mata Santrinya

Pas di depan makam Ibraham aku berhenti, tidak lebih 8 meteran. Namun aku sendirian, terpisah dari teman-teman. Aku duduk diapit orang Pakistan, masih muda-muda, kulitnya putih. Samping kiriku berjenggot sedang membaca Al-Qur’an. Samping kiriku muka klimis khusuk berzikir. Di depanku ada orang kulit hitam. Aku hitung ada 8, duduk berjajar. Tidak tahu mereka dari mana.

Selama di Tanah Suci, baik di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, orang Afrika selalu menjadi perhatianku. Selain mereka, yang selalu kuperhatikan adalah wajah-wajah yang sangat heterogen.

Mereka susah dibedakan, mana orang Mesir, mana Aljazair, mana Libanon, mana Palestina, mana Iran, mana Uzbekistan, mana Azerbaijan, mana Afganistan, mana Turki. Mereka mirip-mirip. Bahkan orang Pakistan pun, susah dibedakan. Saya beberapa kali nebak orang berasal dari Iran, eh, ternyata Pakistan. Jika tidak kenalan atau melihat tulisan yang tertera di tas kecilnya, susah menebak seseorang berasal dari bangsa mana, negara mana. Cuma jemaah dari Banglades yang perkiraanku selalu tepat. Yang aku terkejut jemaah dari Aljazir. Mereka berkulit putih dan tinggi-tinggi.

Saking penasaran dengan wajah-wajah yang tak henti kuperhatikan, terbersit pertanyaan:

“Apa ilmu yang khusus mempelajari asal mula ras manusia dan bagaimana berevolusi?” Apa dia masuk sejarah, arkeologi, antropologi atau apa?”

Sungguh, saya senang sekali melihat ratusan atau bahkan ribuan wajah-wajah di tanah suci ini. Tentu saja, saya senang melihat-perempuan-perempuan cantik dengan jenis wajah yang berbeda satu dengan lainnya. Ada joke yang menarik dari mahasiswa Mesir asal Indonesia yang menjadi tenaga pendukung atau tenaga musiman. Dia bilang, “Jika ada 5 perempuan Libanon kumpul, maka yang cantik ada 8 orang.”

Jika tidak sedang manangis tersedu-sedu karena sedang minta ampunan, wajah-wajah di tanah suci berseri-seri, memeski tampak capak. Menyenangkan sekali. Berseri-seri di sini, huruf E-nya dibaca seperti bunyi embek kambing, juga bisa. Maknanya, banyak serinya, banyak ragamnya..hehehe..

Kami yang laki-laki semua itu tertawa mendengar joke tersebut. Saya terpancing melontarkan joke juga. Saya bulang, “Jika ada 5 orang Indonesia kumpul di Arab Saudi, maka ada 10 orang dari Madura.”

Bakda Subuh, setelah salat jenazah, kami ketemu lagi. Elik Ragil dari Islami.co, Rendi dari Suara.com, Sholla Taufiq dari Kemenag, Abdul Hakim dari Koran Sindo, Zaki dari Viva News, Boy Azhar dari Kemenag, Surya Yuli dari Suara Merdeka, berkumpul lagi. Ternyata kami berdekatan. Dapat 4 putaran tawaf, 3 wartawati yang semula terpisah, juga sudah gabung lagi. Hanya saja, mereka –Puji dari SCTV, Pradipta dari RRI, dan Yuni dari Waspada (koran di Medan), mereka baru dapat 2 putaran.

Baca juga:  Dakwah di Desa Samir

Setelah selesai Tawaf, saya dan Rendi ke toilet untuk buang air kecil, yang sudah di-empet lebih dari sejam. “Harus pipis nih, biar saat menjalankan Sa’i tenang,” kataku. Memang bikin malas, karena harhs keluar, agak jauh. Sementara saya pipis, teman-teman yang lain sudah mulai lari-lari kecil. Dari pelataran Kakbah, al-masa, tempat Sa’i, tinggal keluar saja. Beberapa langkah saja akan menemui titik awal Sa’i, yaitu Shafa.

Melaksanakan Sa’i ini, jika dipikir-pikir geli juga, kenapa harus dilaksanakan ritual lari-lari kecil ini, Shafa-Marwa, Shafa-Marwa, hingga 7x, berakhir di Marwa. Iya, mengingat Siti Hajar mencari air untuk putranya, Ismail yang baru lahir. Apa tujuannya mengingat peristiwa itu? Tapi harus kita harus pasar, harus mengerjakannya dengan kepasrahan total, karena min sya’airillah, bagian dari syiar Allah. Tiap di ujung, jalanan agak naik. Dulunya memang perbukitan, di sebut bukit Shafa dan bukit Marwa. Jarak keduanya 400an meter. Hitung sendiri total berapa jika 7 kali balik. Lumayan menguras tenaga, jika kondisi tidak prima. Dan jika tidak pakai sandal, telapak kaki akan nyeri dan linu-linu. Untung saja, tersedia air Zamzam di sana. Tiap istirahat, saya habis 2 gelas. Segar sekali meneguknya. Alhamdulillah.

Saya sempat berhenti 3 kali, seki berhenti 2 menit. Di tengah istirahat sambil pijit-pijit telapak kaki di pinggiran jalan, saya kembali menikmati wajah-wajah asing, namun menyenangkan itu, apalagi ketika ada sekolompok orang Afrika yang sepertinya mereka tidak ada capeknya berjalan cepat. Tinggi badan mereka yang laki-laki di atas rata. Nyenengke tenan. Pantas saja, banyak pemain basket keren-keren di Amerika dari Afrika, tentu para pemain bola di klub-klub raksaan di Eropa. Eh, tapi mereka istirahat juga, rupanya punya rasa capek juga.. Dan suara mereka, wah, mengagumkan, bening dan ngebass. Serasa menikmati paduan suara, mendegar lafal takbir, tahmid, dan tasbih yang keluar dari mulut mereka. Indah Sekali.. Masya Allah..

Ritual terakhir dari umrah adalah tahallul. Potong rambut. Karena teman-temanku yang bawa gunting, sudah menunggu di parkiran, maka saya meminjam gunting dari ibu-ibu berkulit hitam. Satu guntingan bagian depan, satu guntingan bagian tengah, dan satu lagi bagian belakang. Entah kenapa, saat menggunting rambut, air mataku keluar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top