Orang Indonesia punya banyak media untuk menyimpan ingatan, menunjukkan ekspresi atau perasaan, mensyiarkan gagasan, ataupun sekedar mewarnai sesuatu agar tidak biasa-biasa saja. Salah satu media yang dikenal masyarakat adalah tubuh kendaraan.
Di bus, truk, angkutan kota, sepeda motor, bajaj, becak hingga delman misalnya. Di ragam kendaraan itu kita dapat menikmati aneka macam ekspresi para pemilik atau awak kendaraan. Kata-kata cinta, kerinduan, pesan orangtua, doa, kecemburuan, politik, stiker kampus, stiker kebun binatang, stiker bengkel, kalimat-kalimat suci yang ditulis dengan kaligrafi indah hingga gambar-gambar seronok, semuanya ada di tubuh kendaraan.
Belakangan ada tren di kendaraan pribadi, biasanya kaca mobil bagian belakang, ditempeli jumlah anggota keluarga, sering juga disertai nama. “Ayah, Ibu, Kakak, dan, Adik,” contoh tulisan anggota keluarga. Melihat tren seperti itu, teman saya melempar guyonan, “Itu mobil kedua yang dikendari istri kedua. Mobil pertama dipegang istri pertama, anaknya lima, tidak ditempeli stiker keluarga karena kepanjangan.” Ah, ada-ada saja. Tapi mungkin juga betul.
“Pulang malu, tak pulang rindu.” Ini salah satu kalimat populer yang ditulis dengan beragam ekspresi di tubuh kendaraan, biasanya di bagian belakang.
Kita dapat memahami bahwa awak kendaraan –supir dan temannya—para perantau, atau setidaknya tidak tiap hari ada di rumah. Mungkin juga, bukan perantau ataupun jarang di rumah, karena si pemilik kendaraan, yang menulis kalimat itu di kendaraannya, orang yang tidak pernah pergi. Kendaraannya dipakai orang, disewakan. Kita sering kali tidak benar-benar mengerti apa tujuan kalimat itu ada di sana.
Suatu siang, sekitar dua minggu lalu, saya menjumpai bagian belakang mobil boks bergambar Gus Dur. Dari jauh sudah tampak. “Itu Gus Dur,” batinku. Maka saya mendekati mobil itu.
Wajah Gus Dur berkacamata dengan ekspresi terpekur, merenung, berpikir, memenuhi bagian belakang mobil. Perahu dan tiang-tiang layar tampak di belakang. Sementara langit digambarkan gelap gulita. Kira-kira, apa pesan yang ingin disampaikan? Wallahu a’lam.
Saya mencoba memotret dengan hasil maksimal. Tapi sungguh susah, karena jalanan tidak macet. Kendaraan itu melaju cepat di depan saya. Lima kali memotret, sudah tentu menggunakan kamera ponsel. Satu hasilnya lumayan, maksud saya tidak begitu blur. Siang itu mendung juga, tidak bagus untuk memotret, apalagi dari dalam mobil yang terhalang kaca. Setelah dapat satu yang lumayan, saya menyalip dari kanan.
Eh, saya kaget. Di bagian kanan kendaraan itu, ada gambar tujuh presiden Indonesia, lengkap dengan nama, dan masa jabatannya. Dengan kesusuhan saya mencoba ambil gambar.
Kira-kira gambar-gambar itu memenuhi 1/3 bagian atas. Bagian tengah kosong. Di bawah, bagian belakang, ada tulisan “mina perkasa”, di bawah atau satu tulisan kecil “frozen expedition”.
Saya penasaran. Saya lalu mengendurkan gas, ambil posisi di belakang. Lalu melaju di samping kiri mobil tersebut. Di tubuh mobil bagian kiri rupanya juga ada gambar, isinya sama dengan bagian kanan.
Keren mobil ini, menampilkan semua presiden kita. Ini tidak biasa, jarang saya melihat ekspresi begini. Nomor mobil kendaran tertutupi debu, sehingga tidak jelas terlihat. Tapi, jelas, mobil yang melaju di tol Cikampek arah Jakarta ingin mengirimkan pesan politik untuk siapa saja yang melihatnya.
Terkait wajah Gus Dur yang diletakkan secara istimewa di bagian belakang, jangan perlu terlalu direnungkan, apalagi cemburu. Tidak layak kita cemburu pada beliau!