Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Siapa Penerjemah Ide-Ide Gus Dur untuk Masyarakat? (Bagian 2)

Img 20221204 132943

Ciri utama yang melekat pada diri Gus Dur adalah gagasan. Gus Dur itu man of idea. Citra itu melekat erat pada sosok Gus Dur. Ciri ini sudah masyhur sebelum dia mengemban amanat sebagai ketua umum PBNU. Bagaimana tidak, Muktamar NU di Semarang tahun 1979, Gus Dur sudah “membajak” Mitsuo Nakamura untuk hadir di sana, padaha antropolog dari Jepang ini sedang meneliti Muhammadiyah.

Ide-iden Gus Dur tentang agama, pesantren, kepemimpinan, pendidikan, pembangunan, demokrasi, kebudayaan, seni, dialog agama, politik, dan lain sebagainya sudah mengemuka, baik di lingkungan NU atau pesantren ataupun masyarakat luas.

Sebelum menjadi ketua umum, Gus Dur tidak hanya dekat dengan komunitas pesantren, kiai, atau NU, tetapi juga peneliti, aktivis sosial, agamawan, wartawan, seniman. Komunitas Gus Dur yang beragam ini membuat artikulasi gagasannya juga beragam.

Ia rajin sekali menulis, melayani wawancara dengan wartawan atau peneliti, giat mengisi diskusi atau seminar, pengajian umum, hingga turun lapangan melakukan advokasi sosial. Maka itu, tak heran, ketika menjadi ketua umum PBNU ada “bisik-bisik” begini, “Ketua Umum PBNU sekarang kiai ketoprak”. Itu lantaran, tahun 1983 atau sebelum menjadi ketua umum, Gus Dur sudah jadi jadi dewan juri Festival Film Indonesia, karena posisinya di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Saya tidak mengerti, julukan “kiai ketoprak” itu sinisme atau sekedar joke, atau kedua-duanya. Tetapi itu sama sekali tidak masalah buat Gus Dur. Lah, dibilang agen Yahudi saja, enteng, apalagi sesuatu yang secara tradisi dekat, ketoprak. Mungkin Gus Dur malah senang.

Baca juga:  Dunning Kruger Effect dalam Khazanah Turots

Yang menarik adalah, dan ini salah satu keistimewaannya, saat naik posisinya, menjadi ketua umum PBNU, 1984, Gus Dur tidak mengubah kebiasaannya mengunjungi basis-basis tradisional NU, dengan cara-cara tradisional pula. Ia mengisi pengajian umum, ziarah, sowan kiai, haul, pelantikan NU, dan lain sebagainya. Nadliyin atau santri yang lahir sebelum tahun 1990an, insya Allah banyak yang merasakan kehadiran Gus Dur di majlis-majlis itu, mengisi pengajian dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kisah-kisah Gus Dur menaiki bus umum dan sendirian, dari terminal ke terminal, juga jadi cerita sehari-hari pada waktu itu. Aktivis NU segenarasi Gus Dur juga banyak bercerita bahwa cucu Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari ini sering menginap di rumah kiai-kiai atau aktifis NU.

Ahmad Tohari misalnya, mencerita kepada saya, bahwa Gus Dur menginap di rumahnya tidak cuma sekali. “Saya ini siapa di NU? Kok Gus Dur sering mampir dan menginap di rumah tidak cuma sekali?” Begitu kata penulis Ronggeng Dukuh Paruk ini, yang tinggal di Banyumas, Jawa Tengah.

Meskipun rajin, giat, dan seperti tak pernah kehabisan tenaga untuk mengunjungi berbagai daerah, tetapi tidak semua tempat atau wilayah dapat dijangkau oleh Gus Dur. Di sinilah, seorang ketua umum PBNU, seorang pemimpin umat, butuh banyak sekali orang yang mampu menyampaikan atau menerjemahkan gagasan-gagasannya langsung kepada masyakarakat, menerjemahkan program keorganisasian ataupun menerjemahkan gagasan atau visi. Dan urusan menerjemah gagasan ini, lebih dari sekedar Gus Dur tidak bisa mendatangi semua area, tetapi juga pentingnya kedekatan hubungan langsung dengan masyarakat.

Baca juga:  Kiai Najib Abdul Qodir Al-Hafidz: Sang Guru Sejati

Nah, Kiai A. Buchori Masruri adalah salah satu pengurus NU, kiai yang memiliki kemampuan menerjemahkan gagasan-gagasan Gus Dur. Beliau memenuhi syarat, komplit, dari kedekatan personal (umur Gus Dur hanya lebih tua 2 tahun dari Kiai Buchori) hingga struktural di NU (Kiai Buchori Ketua PWNU Jawa Tengah tahun 1985-1995. Sementara Gus Dur Ketua PBNU tahun 1984-1999), dari visi hingga skil komunikasi.

Beruntung sekali saya pernah mendengar ceramah Kiai A. Buchori Masruri, pas haul Kiai Ali Maksum Krapyak, tahun 2016. Itulah pertama kali dan terakhir kalinya saya mendengar langsung ceramahnya dan salaman. Terus terang saja, sebelumnya hanya mendengar namanya, wajahnya pun belum kulihat, meski di koran. Kalau sama adiknya, Allah yarham Kiai Ghozali Masruri, saya sering bertemu dan bersalaman di PBNU, karena beliau pengurus dan ulama ahli ilmu falak, anak dan menantunya juga saya kenal baik.

Di acara haul Kiai Ali Maksum itu, Kiai Buchori banyak bercerita tentang Gus Dur (Kiai Buchori di Krapyak dari tahun 1955-1960. Sementara Gus Dur mengaji kepada Kiai Ali 1955-57). Hal-hal pelik, krusial dari ide-ide Gus Dur, yang selama ini jadi kontroversi di masyarakat, diuraikan dengan sederhana oleh Kiai Buchori, dengan sederhana, khas kiai. Apa saja?

Baca juga:  Thaha Hussein yang Buta Itu

 

(Bersambung)

 

11 Desember,

Jakarta Utara

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top