“Kang, tolong pohon Kristen di samping masjid itu ditebang!” pinta Kiai Bakar pada seorang santri.
Santri yang disuruh bingung, tengok kanan, tengok kiri. “Pohon Kristen? Apa maksudnya? Lagian itu pohon kesayangan Kiai Ahmad. Beliau sendiri yang nanem tiga tahun lalu,” gumam santri dalam hati.
“Iya, pohon cemara itu. Tebang segera. Iku pohon Kristen!” tukas Kiai Bakar lebih tegas.
Setelah mengulangi perintahnya, sang kiai melangkah menuju rumah. Sementara si santri diam sesaat, pandangan matanya ke atas, menelusuri pohon cemara. “Sebelum menebang cemara itu, aku harus minta izin Kiai Ahmad.”
“Punten Kiai. Kulo disuruh Kiai Bakar nebang Cemara. Pripun?” kata santri pada Kiai Ahmad.
“Hah? Cemarku ditebang. Wit-witan apik ngono arep ditebang? Kenapa?” Kiai Ahmad kaget.
“Nganu Kiai. Kulo disuruh Kiai Bakar. Katanya pohon cemara itu pohon Kristen,” ujar santri.
“Hah? Pohon Kristen? Ada-ada saja Kiai Bakar itu, wit-witan nganggo agomo mbarang. Pohon Kristen lagi, ngga ono iku. KTP saja tidak punya kok. Gak usah ditebang. Nanti saya jelasin ke Kiai Bakar.”