Agustus tahun 2011, di bulan puasa kalau saya tidak salah ingat, kantor PBNU ramai, banyak orang. Ada Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil, M. Sobary, aktivis NU, anak-anak muda, keluarga Gus Dur komplit datang semua. Mereka meresmikan satu ruang kecil di lantai dasar gedung PBNU: Pojok Gus Dur.
Tapi yang mencuri berhatianku, di antara keramaian, adalah satu lukisan berukuran besar:
Gus Dur berjas hitam, dasi, dan kopiah sedang tertawa. Sosok misterius, berbadan lebih tinggi, bersayap warna-warni, membungkuk, sedang berbisik pada Gus Dur.
Adalah Danarto yang melukis Gus Dur dalam nuansa dan warna yang “menyenangkan” sekaligus menyimpan daya “magis” itu.
“Bagaimana cerita lukisan itu, Pak?” tanya saya.
“Saya penasaran, apa yang diceritakan Gus Dur ketika bertemu dengan raja Arab Saudi sampai sang raja tertawa. Kata Gus Mus, baru kali itu raja Saudi terlihat giginya,” Pak Danarto bicara pelan kepada saya.
“Lalu Pak, kenapa kayak ada malaikat membisiki Gus Dur?” tanyaku.
Sampai hari ini, kata Pak Danarto waktu itu, saya ndak tahu apa yang diceritakan Gus Dur pada sang raja hingga tertawa.
“Tapi saya percaya humornya Gus Dur yang disampaikan kepada Raja Saudi tingkat Dewa. Mungkin juga dibisiki malaikat,” begitu jawaban Pak Danarto, seingatku.