Kisah mengagetkan ini pertama kali ditulis oleh Akmad Fikri AF, dalam bukunya berjudul TawaShow di Pesantren. Buku ini pertama kali tebit tahun 1999 atau 2000. Kisah ini mungkin tidak banyak diketahui oleh generasi milenial. Oleh karenanya saya tuliskan lagi.
Tahun 1955, dua tahun setelah ayahandanya wafat, Gus Dur dikirim ke Jogja, untuk menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Gus Dur di Jogja meninggalkan beberapa kisah menarik, antara lain, ia tinggal di Haji Junaidi, tokoh Muhammadiyah di Kauman. Dan selain makin rajin belajar bahasa Inggris di sana, Gus Dur juga leluasa nonton bioskop.
Tak kalah menarik, dan ini yang mengejutkan sekaligus bikin geli, yaitu Gus Dur mendapat tugas dari Partai Nahdlatul Ulama sewaktu pemilu 1955.
Gus Dur, seperti diceritakan Akhmad Fikri AF, diberi tugas menjemput orang-orang yang diduga NU untuk mencoblos Partai NU.
Nah, salah satu yang dijemput itu kakek-kakek, di daerah Plengkung Gading. Gus Dur bersama beberapa Banser menandu kakek-kakek yang sudah tidak mampu berjalan itu menuju alun-alun utara, tempat pemungutan suara dilakukan.
Saat kakek-kakek ada di bilik suara ditemani seorang petugas TPS, Gus Dur menungguinya di luar.
“Nyoblos nopo, Mbah? Mau nyoblos apa Kek?” tanya petugas. Kakek ini karena sudah uzur ditanyai oleh petugas.
Gus Dur yang ada di luar mendengar pertanyaan petugas itu, sambil berkata dalam hati, “Pasti… tali jagat.” (logo Partai NU, bola dunia yang diikat tali dan dikelilingi bintang sembilan)
Si kakek menjawab pertanyaan petugas dengan suara keras juga, “Palu-Arit…”
Hahaha.. Jawabannya di luar dugaan Gus Dur. Palu dan arit adalah lambang PKI.