Saya pernah dengar cerita Gus Dur mengajak seorang kiai naik pesawat perintis. Semula kiai tersebut tidak mau naik pesawat, tapi karena Gus Dur memaksa, akhirnya mau juga.
“Kula ngebis mawon, Gus. (Saya naik bus saja),” kiai menawar.
“Mboten, wong wis dituku karcise (Jangan. Sudah dibeli karcisnya),” kata Gus Dur.
“Takut ya? Katanya Sampeyan cuma takut Gusti Allah. Lah ini kok takut naik pesawat?” Gus Dur meledek.
Sang kiai akhirnya ikut Gus Dur naik pesawat. Ia mesti membuktikan hanya Gusti Allah yang takuti.
Pesawat perintis hanya terbang pendek, awan-awan tipis ditabraknya. Pesawat bergoyong ke kiri ke kanan, naik ke atas turun ke bawah tanpa bilang-bilang. Suaranya amat bising.
Gus Dur tertidur mendengkur sesaat setelah terbang landas. Sesekali Gus Dur bangun. Saat bangun itulah, Gus Dur meledek lagi sang kiai:
“Tenang aja, Kiai, podho numpak dokar (persis naik dokar).” Setelah meledek begitu Gus Dur tidur lagi, mendengkur lagi dalam perjalanan 40 menit.
Di sebelahnya, sang kiai tak tahan, ia terpaksa mengendurkan “uratnya”, kencing di celana, di dalam pesawat yang sedang terbang.