Setidaknya, saya berkunjung ke rumah kiai dua atau tiga kali dalam sebulan. Rumah kiai yang saya kunjungi atau sowani ada yang di luar kota atau hanya tetangga rumah di tempat saya tinggal: Bekasi.
Mereka, para kiai, tugas dan kewajibannya beraneka ragam. Ada yang mengasuh pesantren dengan ribuan santri. Ada kiai yang menunggui langgar kecil (itu pun bocor kalau hujan besar). Ada kiai petani tak punya pesantren dan jauh dari masjid atau langgar. Santrinya adalah keluarganya, dan tempat ibadahnya adalah tempat tinggalnya yang sederhana itu, di pinggir sawah. Saya juga menjumpai atau men-sowani kiai atau ulama yang politisi, dosen, hingga birokrat.
Tapi, rata-rata kiai yang saya kunjungi, tidak punya sofa bagus seperti dalam gambar tulisan ini. Kecuali kiai-kiai yang tinggal di kota-kota besar yang memang rumahnya bagus-bagus dan sofanya model terbaru.
Di ruang tamu kiai (terutama di daerah-daerah) biasanya hanya ada kursi kayu sederhana (tidak diniatkan “antik” seperti orang-orang kota. Memang adanya ya kursi tua itu). Bahkan di sejumlah daerah hanya ubin yang hanya dilapisi karpet kusam atau tikar pandan adalah kelaziman.
Saya biasanya, ketika sudah capek ngobrol-ngobrol, diajak makan ke dalam. Otomatis, saya mengerti apa saja yang ada di dalam rumahnya. Di ruang keluarga, tidak saya jumpai sofa bagus seperti dalam gambar tulisan ini.
Tapi, meski tidak punya sofa bagus, kaligrafi kiai yang dipasang, isinya gagah-gagah:قل الحق ولو كان مرا misalnya. Atau banyak saya jumpa والعصر sampai selesai. Kaligrafi beragam selawat, al-ikhlas, ayat Qursi, surah Yasin banyak juga saya jumpai.
Nah, pertanyaan saya, kenapa rumah dengan sofa bagus, karpet tebal, cat tembok mengkilat, tulisan kaligrafinya tentang kesabaran?
Istri saya jawab, “Karena sofanya kredit. Orang kredit harus sabar.”