Setiba di Bandara Amir Mohammaed bin Abdul Aziz, Madinah, sebagian wajah Jemaah Haji Ind0nesia terlihat tersedu-sedu. Mereka bukan sedih, namun menangis bahagia. Maklum, dua musim haji tertunda karena pandemi. Jadi amat wajar jika mereka tampak emosi meluapkan kebahagiaan.
“Mas, saya pengen sujud syukur. Saya ingin berterima kasih kepada Allah atas kesempatan ini,” begitu seorang ibu yang kira-kira berumur 50an tahun.
“Ibu suaminya mana?” tanya saya.
“Masih di belakang, masih di pintu imigrasi,” jawabnya sambil terisak.
Jemaah haji kita ini berdiri di lorong di antara terminal haji dan pavilliun. Siang hari itu, cuaca sangat panas 46 derajat, lantai pelataran terasa hangat. “Bu, nanti aja ya sujud syukurnya, nunggu suami..” saya memberi saran.
Namun ibu itu memaksa. “Saya sudah tidak sabar, Mas” pintanya.
“Bu begini.. Ibu ke paviliun, di sana ada musala, Ibu sujud syukur di sana, sambil menunggu suami,” saya merayu.
“Kenapa gak boleh di sini?” tanya dia masih berusaha.
“Bu, ini lantai panas sekali.. kening dan hidung Ibu bisa gosong. Nanti dimarahin suami kalau muka ibu tidak cantik lagi karena gosong,” saya memutar otak agar dia tidak memaksa sujud di lantai.
Alhamdulillah, saya sepertinya memberi alasan yang tepat, bahkan dia tersenyum sambil berujar, “Ah, Mas bisa aja.”