Gus Baha sering sekali mengutarakan tema tentang maksiat, tentang orang mukmin yang fasiq, yang banyak melakukan dosa. Beberapa teman suka “bingung” mendengarkan penjelasan Gus Baha. Kenapa?
Dalam satu pengajian, dia terlihat longgar sekali, begitu pemurah, bahkan seakan-akan mentolerir orang yang tidak salat. Satu contoh. Gus Baha sangat bersyukur banyak orang Jawa muslim dan mukmin, meskipun mereka tidak salat. Karena merekalah, di Jawa tidak banyak orang musyrik.
“Meskipun mereka tidak salat, jangan dimusuhi, karena bagaimana pun, mereka anti menyekutukan Tuhan. Orang jelas-jelas menyatakan iman, Tuhan itu Esa, gak boleh dikafir-kafirkan, meski tidak salat. Soal mereka tidak salat, ya kita bina. Tapi tolong jangan dianggap kafir, karena bagaimana pun, mereka menyumbang menghilangkan simbol-simbol kekafiran. Mereka itu cinta Allah,” begitu kata-kata Gus Baha dalam ingatan saya (ingatan, bisa lupa bisa tidak).
Pada lain pengajian, Gus Baha tampak sangat ketat. Yang paling sering diajukan contoh adalah melihat perempuan bukan mahrom. Soal ini, Gus Baha tampak hilang sifat “tolerannya”.
“Kamu berlama-lama di warung kopi karena senang melihat perempuan cantik, kamu berdosa,” fatwa Gus Baha. Saya merasa dosanya banyak sekali kalau denger Gus Baha berkata seperti itu.
Nah, dalam satu pengajian Gus Baha bercerita jawaban Gus Dur saat ditanya pengkultusan kiai. “Saya masih ingat cerita Gus Dur. Ada orang kenapa Gus Dur sepertinya mengkultuskan kiai? Kiai kan yang salah banyak.”
Gus Dur menjawab: “Kiai itu kalau salah tahu caranya taubat. Kamu gak boleh salah, kamu bukan kiai, tidak tahu caranya taubat.”
Penanya: “Loh bisa begitu Gus?”
Gus Dur: “yang bisa melanggar hukum itu yang ahli hukum. Jadi kamu jangan niru dosanya kiai. Kiai itu tahu cara menangkalnya.”
Gus Baha cerita itu sambil tertawa-tawa. Dia mengatakan itulah sebabnya, kiai tidak melihat dangdutan secara langsung di bawah panggung. Lihatnya di televisi, karena beda hukumnya.