Banyak orang bertanya-tanya, kenapa Gus Dur kerap melontarkan humor tentang Tuhan, tentang agama, tentang Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan tak ketinggalan tentang Islam? Atau satu pertanyaan yang lebih mendasar lagi: Kenapa Gus Dur berani menyebut Tuhan, menyebut agama, sebagai bahan humor, bahan lelucon?
Saya belum membaca tulisan Gus Dur yang mengulas secara khusus tentang humor dan Tuhan/agama. Namun Gus Dur pernah menulis sebuah esai untuk pengantar buku humor berjudul Mati Ketawa Cara Rusia. Salah satu poin yang disampaikan Gus Dur itu adalah menertawakan diri sendiri.
Dalam esai yang ditulis tahun 1986 itu, Gus Dur menjelaskan bahwa kemampuan mengenal diri sendiri itu keharusan. Nah, kemampuan menertawakan diri sendiri dapat menjadi “wasilah” untuk “mengenal diri sendiri” itu. Di dalam tradisi Islam, frasa “mengenal diri sendiri” itu satu yang penting. Ada satu hadis, “man ‘arrafa nafsahu, fa qad ‘arrafa-Allah.” Artinya, siapa yang mengenal diri sendiri, maka sesunggunya dia (berpotensi) mengenal Allah. “kenal Allah”, ini istilah “paten” dalam dunia tasawuf. dan ini menjadi julukan untuk para sufi: ‘arif billah.
Gus Dur tidak menjelaskan langsung tentang humor dan Tuhan/agama, namun di sana ada yang tersirat ke arah itu, sekali lagi: “mengenal diri sendiri”.
Selain itu, terkait humor-humor Tuhan/agama yang biasa dilontarkan Gus Dur, kita bisa merujuk kebiasaan, misalnya Abu Nawas, yang kerap mention Tuhan dalam candaan-candaannya. Saya sendiri membaca bahwa dalam humor-humor Gus Dur, baik yang bertema agama, sosial, kepribadian, tentang ulama, adalah upaya melakukan kritik. “Terkadang humor tentang sikap pretensius mengambil bentuk lelucon yang mengajukan kritik tajam,” tulis Gus Dur dalam pengantar Mati Ketawa Cara Rusia.
Dan tak lupa juga otokritik. Sikap mengkritik diri sendiri itu penting sekali. Otokritik itu adalah pengakuan bahwa kita itu tidak sempurna, termasuk di dalamnya dalam beragama. Tuhan sempurna, tentu saja, namun cara kita ber-Tuhan, pasti banyak kekuarangan. Coba simak humor Gus Dur tentang orang paling dekat Tuhan di bawah ini.
“Siapa yang paling dekat dengan Yang Maha Kuasa?”
“Kami, dong,” kata pendeta Hindu. “Kok kalian bisa merasa paling dekat dengan Tuhan?” tanya si kiai.
“Lah, iya. Lihat saja, kami memanggil-Nya saja Om,” jawab yang ditanya, merujuk seruan relijius Hindu: “Om, shanti, shanti Om”.
“Oh, kalau alasannya itu, sih, kami dong yang lebih dekat,” kata si pastur Katolik. “Lihat saja, kami memanggilnya ‘Bapa’. ‘Bapa’ kami yang ada di surga…”
Sang kiai diam saja. Lalu kedua teman bicaranya bertanya, “Kalau Pak Kiai, sedekat apa hubungannya dengan Tuhan?”
“Duh, boro-boro dekat,” jawabnya, “Memanggil-Nya aja dari menara, pengeras suara..”
Luar biasa kan Gus Dur mengkritik cara orang Islam beragama yang tidak lain golongannya sendiri? Kita bisa mengambil pelajaran bahwa load speaker itu sebetulnya tak ada hubungannya dengan Tuhan.
Kita bisa simak lagi tentang seorang kiai yang mengeluh pada Tuhan sebab anaknya masuk Kristen.
“Ya, Tuhan, aku bersyukur karena kedua anakku hidup dengan baik dan sejahtera. Ibadah mereka pun banyak. Tapi mengapa anak bungsuku masuk Kristen. Aku sungguh prihatin tentang dirinya. Mohon, ya Tuhan, tunjukkanlah dia jalan yang lurus…”
Setiap malam sang kiai memanjatkan doa seperti itu.
Pada suatu malam, dia mendengar jawaban: “Kamu punya tiga anak, yang dua sudah cukup baik, tapi hanya karena yang seorang pindak ke agama Kristen kamu jadi begitu sedih.”
“Lihatlah saya. Anak saya cuma satu-satunya, masuk Krsiten pula….”
***
Kita sering berburuk sangka pada humor: melecehkan, tidak menghormati, desakralisasi, dan tuduhan-tuduhan lain yang tidak mengenakkan. Sejatinya, yang tersirat, misal di humor kedua tentang anak kiai masuk Kristen itu, Gus Dur menyadarkan seorang kiai, seorang ulama bahwa agama, iman, hidayah, itu kuasa Tuhan, tidak bisa digugat. Ini inti agama. Nabi juga pernah ditegur persoalan yang sama.
Selain itu, pada saat yang bersamaan, Gus Dur juga sebenarnya sedang mengatakan kepada para penganut agama lain: “Wahai saudara-saudara Yahudi, Nasrani, biasa aja beragama. Nih, kami juga rileks.” Itu sebenarnya “dakwah” Gus Dur kepada penganut agama lain. Kita tahun konservatifisme dalam beragama itu bukan monopoli Islam, namun juga Yahudi, Nashrani, Hindu, dan semuanya. Dan tak berlebihan juga jika kita mengatakan bahwa agama adalah nama lain dari konservatifisme. Wait, tapi ingat, konservatisme tidak serta merta ketidakbaikan.
Bagaimana menurut Anda? Menurutku sih dahsyat sekali humor yang dilontarkan Gus Dur. Beruntung sekali ada yang mengumpulakannya dan menjadi satu buku yang bisa kita nikmati bersama. Dua humor di atas ada di Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010. Ok, sampai di sini saja. Lain kali kita ulas humor Gus Dur tentang Yahudi atau Kristen atau tentang Banser. Semoga bermanfaat. Amin.