Sedang Membaca
Alangkah Berat Menjadi Ustaz
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Alangkah Berat Menjadi Ustaz

Sabilus Salikin (15): Suluk 1

Ngomong-ngomong, aku ini ustaz loh. Apa ukurannya? Jelas, sewaktu mondok di Nurul Ummah Kotagede, Jogjakarta, pengurus pesantren minta aku nyorog Alquran untuk santri-santri tingkat awal, yang ngajinya gak-gik-gok, macam mobil mau mogok.

Mohon izin dan mohon maaf, nyombong agak banyak. Pengurus pesantren, waktu itu, menilai saya bahwa ilmu tajwidku memadai, izdhar, ikhfa dan idgom-ku  (maaf kalau salah tulisannya) jelas, waqof dan washol-ku konsisten, mad-nya tepat, saktah serta imalah tidak lupa, makhorijul huruf-nya.

Lebih dari itu, sekali lagi maaf cukup sombong, dan merupakan hal utama dalam ilmu-ilmu keislaman, guru ngajiku punya sanad yang jelas, yakni Kiai Ahmad Zaini, di Pesantren Krapyak. Sewaktu ngaji di kampung pun, sanad baca Alquranku juga nyambung ke Pesantren Krapyak, yaitu melalui Kiai Muhaimin (biasa dipanggil Kang Emin). Beliau ngaji ke Kiai Umar yang langsung berguru pada Mbah Munawir, Krapyak.
Ngaji kepada beliau-beliau tidak sembarangan loh, kita berhadapan satu per satu. 

Di hadapan guru ngaji, tak boleh muka kita menunduk. Hal demikian dilakukan agar gerakan lidah dan bibir diketahui persis oleh sang guru. Jika ada yang keliru, mata kita disuruh melihat dengan jeli gerakan mulut sang guru. Tidak gampang mengaji Alquran, kita bisa berminggu-minggu mengulang surat al-Fatihah, bahkan ada yang berbulan-bulan. Jika tidak sabaran, santri bisa mutung, lalu pulang kampung.

Tanda-tanda lain dari keustazanku adalah hidup di pondok tak kurang dari sembilan tahun. Di Krapyak empat tahun, di Kotagede lima tahun. Pengalaman di pondok itu tak akan selesai dibicarakan dalam semalam, apalagi ditulis satu halaman. Belum lagi sewaktu di kampung, hobiku tidur di masjid, artinya, habis Magrib, Isya, dan Subuh, aku mengaji dan sembayang berjama’ah. Dan tidak lupa, aku lulusan Fakultas Syariah IAIN Jogjakarta. Keren bukan?

Baca juga:  Bagaimana Menjadi Muslim Zaman "Now"?

Namun, aku sering kali berpikir bahwa keustazanku telah batal. Ya batal, persis seperti orang sedang sembahyang kentut, harus wudu lagi dan mengulangi salatnya dari awal. Batal bukan karena aku pasang tarif selangit, tapi justru ketika berkostum ustaz dan melaksanakan tugas-tugas keustazan.

Pertama kali aku merasa batal jadi ustaz ketika melangsungkan akad nikah. Bukan akad nikahnya, melainkan kostumnya. Saat itu, aku mengenakan kopyah hitam, kemeja putih dilengkapi jas abu-abu, dan sarung warna hijau gelap yang bagus. Tidak pernah saya mengenakan pakaian selengkap begitu. Saat itulah, aku merasa seperti Kiai Syukron Makmun, mubalig kondang dari Jakarta, yang ketika ceramah, suka berkostum demikian. Mubalig yang akan meneriaki PKI pada jemaahnya ketika sedang berdoa, ”Yang berdiri, yang tidak ikut berdoa, seperti PKI.”
Iya, pada saat penampilakku seperti Kiai Syukron Makmun itulah, aku sudah merasa batal menjadi ustaz. Aku kini bukan saja sudah jarang-jarang mendengarkan ceramah, tapi juga mudah meninggalkan doa, khatam Alquran jarang tak lupa kesombonganku di paragraf-paragraf di atas.

Dua minggu menjelang Idul Fitri datang, tahun 2010, aku terima surat dari takmir masjid. Isinya permintaan menjadi khotib sembayang Idul Fitri. Aku tidak bisa menghindar, tidak bisa menawar misalnya bagaimana kalau Idul Fitri tahun depan saja, atau setidaknya Idul Adha saja. Harga mati. Pasalnya, bapak mertuaku, yang juga ketua takmir masjid, yang langsung memberikan surat tersebut.  Entah bagaimana dia memilihku, mungkin karena saat akad nikah –empat bulan sebelum Idul Fitri, bukan saja lancar dan tidak grogi, tapi juga fasih, sehingga orang-orang seisi ruangan yang semua berkopyah mufakat sah. Ini momentum keduaku di mana saya justru merasa sudah batal menjadi ustaz

Baca juga:  Gus Dur dan Gusmao Merekatkan Indonesia-Timor Leste

Khotbah Idul Fitriku lancar. Weeehh.. isinya hebat, ngutip-ngutip kitab Kimyatus Sa’adah karya Imam al-Ghozali, apa sejatinya hidup? Bagaimana kebahagiaan hakiki dapat diraih? Pokoknya, ustaz banget, Saudara-saudara. Dan tampaknya juga banyak orang yang menikmatinya. Ketua takmir masjid pun tampaknya puas.

Buktinya, setelah itu, aku diminta menggantikan jadwal khotbah ketua takmi mesjid. Tahun-tahun berikutnya, tertera dalam jadwal nama Ustaz Hamzah Sahal, S.HI,  jadi khatib. Bahkan, mulai tahun 2013, masjid kampung sebelah juga memintaku untuk khotbah.

Namun apa yang kurasakan? Semuanya telah menyiksaku. Aku merasa dipaksa menjadi ustaz, padahal banyak hal-hal yang telah membatalkan ‘sifat keustazanku’.

Ustaz bagiku adalah kata sifat (ustaz tentu saja isim atau kata benda), bukan yang lain-lain, apalagi profesi yang memiliki jam kerja, memiliki cuti, dan memiliki tarif.

Boleh saja seorang ustaz dibayar dan wajar saja tapi itu harus datang dari kesadaran pihak lain, bukan dari ustaz sendiri.
Sifat ustaz merupakan gabungan dari ‘kemampuan’ dan ‘kelakuan’. Kemampuan itu berupa ilmu. Ilmunya ustaz itu bukan saja harus dijaga, tapi juga dikembangkan dengan amal pebuatan. Dan perbuatan dan kelakuan, ini yang lebih berat. Sebab, kelakuan adalah bentuk nyata dari ilmu. Kelakuan ustadz itu harus 23 tingkat di atas kelakuan orang awam.

Baca juga:  Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (4): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Jika ustaz bilang jangan kencing berdiri, maka orang awam ‘cukup’ kencing jongkok. Tapi seorang ustaz, tidak cukup kencing jongkong. Ustaz harus tahu seperti apa air untuk membasuh, harus mengerti betul bagaimana cebok yang benar dan seterusnya. 

Jika kencing di toilet umum, seorang ustaz wajib menjaga keramahan-keramahan tingkat tinggi, tidak cukup melempar uang seribu perak begitu saja, tidak cukup dengan kencing tidak berdiri.

Kemampuan dan kelakuan itulah, yang rasa-rasanya, telah membatalkan keustazanku. Mandi junubku tidak lagi seteliti saat aku hanya mimpi basah dulu, sembahyangku tidak genap ketika di pondok dulu, perkataanku tidak selaras dengan kitab-kitab yang kupelajari dulu, masih suka pingpong, menghina orang, ingkar janji, dll.

Serius. Betul ini aku telah batal menjadi ustaz. Jika ingin sifat keustazan itu menempel kembali, aku harus ‘wudu’ lagi. Berat rasamya menjadi ustaz. Saya tidak kuat, apalagi jika di Mesir, ustaz itu level professor. Maafkan semua kesalahanku.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top