Secara umum, Pak Amien, lengkapnya M. Amien Rais, tidak mau paham atau tidak paham (mungkin juga salah paham atau paham yang salah) menilai kunjungan Presiden Gus Dur ke berbagai negara. Sepintas masuk akal pernyataan Pak Amien bahwa Gus Dur keluar negeri cuma ngelencer (bahasa Jawa. Artinya bepergian tanpa bersenang-senang, tanpa tujuan berarti) dan menghabiskan anggaran saja.
Tetapi itu bukan argumen menolak Gus Dur. Idealnya, Pak Amien menjelaskannya lebih lanjut, baru memahaminya. Beliau itu ketua MPR, intelektual, dan orang yang mengenal Gus Dur lama, ini tidak masuk akal. Jika ada sesuatu yang musykil, harusnya berkomunikasi, tidak bicara di depan wartawan.
Lebih dari itu, sebagai orang yang yang dikenal kritis terhadap Amerika Serikat, aneh sekali Pak Amien tidak memahami arti kunjungan Presiden Gus Dur ke India, China, Afirka Selatan, dan beberapa negara di Amerika Latin, seperti Brazil dan Venezuela, juga negara-negara kecil lainnya. Sinyal Gus Dur padahal sangat jelas bahwa Amerika Serikat tidak boleh mendominasi pergaulan internasional, mendikte kebijakan internasional Indonesia, membangun kekuatan ekonomi. Tentu saja, setelah Timor Leste merdeka di era Pak Habibie, Gus Dur punya trauma, cukup Timor Timur, jangan ada yang lain. Bahwa kunjungan itu mengeluarkan banyak biaya, itu iya. Tetapi kemaslahatan yang sedang diikhtiarkan jauh lebih besar.
Contoh detail dan dekat terkait kekuatan diplomasi Presiden Gus Dur adalah negara tetangga, Singapura.
Sebelum Gus Dur jadi presiden, singapura seperti superior atas Indonesia, dengan kekuatan ekonominya. Dengan kata lain, Indonsia sangat bergantung pada negeri kecil yang ada di antara Malaysia dan kita. Mantan juru bicara Presiden Gus Dur Yahya Cholil Staquf, sangat sedikit perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia punya kantor di Jakarta.
“Jarang mereka bertransaksi melalui perbankan nasional Indonesia. Mereka memakai bank Singapura atau Hongkong,” dalam buku “Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf” oleh AS Laksana.
Di buku itu pula, Gus Yahya, yang kini menjadi ketua PBNU, bercerita Presiden Gus Dur meminta harga air minum yang dieksport ke Singapura naik. Lee Kuan Yew merasa terancam dan marah, kata Gus Yahya, sampai mengabaikan sopan santun internasional dengan ikut-ikutan bersuara mendesak Gus Dur mundur.
Hubungan Indonesia-Singapura di era Presiden ini menarik. Presiden Gus Dur berhasil membuat Singapura, yang selama ini nyaman-nyaman saja, goyah. Tidak itu saja, para pengusaha Indonesia yang selama ini meraup keuntungan dari lemahnya posisi Indonesia ikutan marah atas kebijakan presidennya sendiri. Jadi, Gus Dur digencet, dalam dan luar negeri.
Hebatnya, setelah lengser, Gus Dur tetap memperjuangkan harga diri dalam negeri. Saya searching di Google, Gus Dur mengatakan jika Singapura masih mengurusi urusan dalam negeri Indonesia, akan melakukan demonstrasi. Konteksnya waktu itu, Indonesia dituduh sebagai sarang terorisme oleh Lee Kuan Yew. Gus Dur yang sudah lengser meminta Pemerintah Indonesia punya sikap tegas.
“Itu akan memperlihatkan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia negara berdaulat yang menentang segala bentuk terorisme,” kata Gus Dur seperti dikutip dari SCTV, 20 Februari 2002. Gus Dur mengatakan itu di acara tablig akbar di Desa Kebasen, Kabupaten Tegal (inilah Gus Dur acara di kampung, jamaahnya rakyat, tetapi yang tema dibicarakan isu-isu internasional. Pencerahan-pencerahan seperti ini sudah dilakukan Gus Dur lama sekali. Biasa Gus Dur di pengajian bicara Imelda Marcos, Husni Mubarak, Saddam Husain, hingga novelis Salman Rusydi. Dan bukan hanya Gus Dur, tetapi juga kiai-kiai para penceramah seperti Kiai Ali Maksum, Kiai Fuad Hasyim, Gus Mus, dll. Jika sekarang Gus Yahya di kampung-kampung bicara internasional, ada sanadnya, sudah biasa jadi tema pengajian kiai-kiai, di kampung atau pesantren).
Pak Amien, juga politisi lain dan para pengusaha, tidak ada yang mendukung Presiden Gus Dur. Begitu juga media-media. Semuanya menyerang, bahkan para menterinya pun tidak semua setia kepada presiden. Setuasinya rumit ketika itu. Jika ada pengamat yang membela, maka akan langsung diserbu, tidak mendapat tempat di media-media besar, dalam dan luar negeri.
Gus Dur gagal bukan karena dia salah, melainkan, kata Gus Yahya, karena tidak ada struktur pendukung. Dua paragraf Gus Yahya di bawah ini menggambarkan dengan jelas bahwa Presiden Gus Dur betul-betul seorang diri.
“Sebagai presiden, dia membangun upaya-upaya ke arah tertentu, tetapi organ negara ini mau berjalan ke mana tidak jelas, karena politik yang terlalu faksional.”
“Pada waktu itu orang juga tidak mau, para aktor politik juga tidak mau: Kalau Gus Dur berhasil, tenggelam kita. Itu yang membuat tidak koheren, karena tidak ada konsensus. Dan tidak sempat gus Dur membangun konsensus sebab keadaannya darurat.” (Bersambung)
17 Desember,
Kalimang, Jakarta Timur