Perdamaian-perdamaian/ Perdamaian-perdamaian/ Perdamaian-perdamaian/Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai/Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai/Bingung-bingung kumemikirnya
Begitulah penggalan lirik lagu “Perdamaian”, yang dinyanyikan grup band legendaris Gigi. Lagu yang dirilis pada 2004 itu selalu terdengar di mana-mana tiap Ramadan.
Generasi Milenial mungkin akan menduga lagu tersebut diciptakan dan dinyanyikan pertama kali oleh Gigi. Di tangan Gigi, “Perdamaian” dimainkan sebagai lagu pop-rock. Vokalis Armand Maulana membawakan lagu itu dengan emosional, sebagai bentuk kritik pada orang, pemimpin, politikus, atau negara yang suka mengobarkan peperangan.
Namun, pencipta lirik lagu tersebut adalah seorang ulama bernama Kiai A. Buchori Masruri, yang wafat Kamis kemarin, 17 Mei, pukul 8.30, dalam usia 80 tahun.
Ulama kita ini, selain menciptakan sekitar ratusan lagu keren, juga orator ciamik. Ceramah-ceramah Kiai Buchori digemari banyak kalangan karena berisi nilai-nilai keislaman yang dibutuhkan masyarakat dan negeri ini: penuh hikmah, motivasi, menjaga kebersamaan, dan tenggang rasa. Tak lupa, beliau punya selera humor yang tinggi dan suara yang sedap.
Karena unsur humor dan lagu itulah ceramah Kiai Buchori juga bernuansa hiburan, jauh dari menakutkan. Hanya sekali saya mendengarkannya dua atau tiga tahun lalu di pesantren Krapyak, Yogyakarta. Betapa senang hati saya setelah mendengarkan ceramahnya. Sahabat Gus Dur ini adalah tokoh NU di Jawa Tengah era 1980-an.
Lagu “Perdamaian” rilis pertama kali pada 1982 dan repackaged pada 1991/92. Bukan grup band yang membawakannya, melainkan kelompok kasidah dari Semarang Jawa Tengah, yaitu Nasida Ria, dengan vokalisnya yang bernama Siti Muthoharoh. Kelompok yang didirikan seorang guru qiroah, HM Zain, pada 1975 ini merilis album pertamanya pada 1978.
Inilah satu-satunya grup musik bernuansa keislaman yang meroket pada waktu itu. Lagu-lagu mereka bergema dari radio, TVRI (satu-satunya stasiun televisi hingga 1990-an), acara kawinan di kampung-kampung, hingga masjid.
Nasida Ria beranggotakan sembilan perempuan yang semuanya berkerudung atau berjilbab (istilah “hijab” belum ada waktu itu). Instrumen yang dimainkan Nasida Ria sederhana: gendang, seruling, gitar, rebana, biola, dan piano. Salah satu lagu fenomenal mereka adalah “Jilbab Putih”. Ini lagu “protes”, karena di zaman Orde Baru, orang-orang yang mengenakan jilbab didiskriminasi. Sangat sedikit siswa sekolah atau PNS berjilbab waktu itu.
Meskipun bernuansa keislaman, Nasida Ria tak hanya membawakan lagu-lagu selawatan, simbol-simbol keislaman atau nasihat-nasihat Islami saja, tapi juga kritik sosial. Selain lagu “Perdamaian”, ada pula “Bom Atom” dan “Palestina”.
Lagu berjudul “Wartawan Ratu Dunia” bertutur soal literasi media. Beginilah liriknya yang keren itu:
Ratu dunia ratu dunia/Oh wartawan ratu dunia/Apa saja kata wartawan/Mempengaruhi pembaca koran/Bila wartawan memuji/Dunia ikut memuji/Bila wartawan mencaci/Dunia ikut membenci/Wartawan dapat membina/Pendapat umum di dunia/Bila wartawan terpuji/Bertanggung jawab berbudi/Jujur tak suka berdusta/Beriman serta bertakwa/Niscaya besar jasanya/dalam membangun dunia
“Wartawan Ratu Dunia” dirilis pada 1993 dengan pencipta Drs. H Abu Ali Haidar, yang tak lain adalah Kiai A. Buchori Masruri. Literasi media ala seorang ulama, 20 tahun sebelum banjir hoaks dan fitnah di zaman internet ini.
Banyak sekali lagu-lagu Nasida Ria ciptaan Kiai Buchori yang masih relevan hingga hari ini. Tak lapuk meski sudah uzur. Bahkan lagu berjudul “Tahun 2000” adalah prediksi Kiai Buchori dari era 1980-an.
Visi keislaman Nasida Ria sangat menghormati perbedaan. Bahkan, kalau tidak salah ingat, ada klipnya yang berlatar Candi Borobudur.
Itulah budaya pop Islam waktu itu, khususnya musik. Ia tak melulu berisi Alquran dan hadis, tak hanya simbol Islam berupa pakaian atau tempat ibadah, tak cuma menyuarakan “umat”, tapi juga cita-cita perdamaian dunia, visi kehidupan, dan tak lupa—inilah yang sering dijauhkan dari Islam—estetika.
Dan semua itu adalah bentuk perjuangan seorang ulama bertubuh kurus dan berkulit cokelat matang yang “hanya” belajar di pesantren”: Kiai Bukhori Masruri aka Drs. H. Abu Ali Haidar.
Selamat jalan, Kiai…
Jadi teringat waktu kecil saya ketika beliau mengisi pengajian di kampung saya. Dan syukur Alhamdulillah ketika beliau masih hidup saya juga masih bisa mengikuti ceramah beliau tiap Ahad pertama setiap bulan di masjid Agung johar Semarang
Jadi teringat waktu kecil, ketika beliau mengisi pengajian di kampung saya. Syukur Alhamdulillah, saya juga masih bisa mengikuti ceramah beliau tiap Ahad pertama di madjid Agung Semarang. Al Fatihah untuk beliau…..