Gus Dur ditinggal ayahnya saat usia 13 tahun. Adik-adik beliau, Gus Sholah, Gus Umar, Bu Aisyah dan Bu Lily tentu lebih muda lagi. Bahkan, saat Kiai Wahid Hasyim wafat, Gus Im (Hasyim Wahid, adik Gus Dur yang bungsu) masih di kandungan, baru tiga bulan.
Ibu Nyai Sholichah binti Kiai Bisri Syansuri memilih tidak menikah lagi, padahal saat ditinggal Kiai Wahid, umurnya masih 29 tahun. Secara hitungan manusia biasa, beliau bisa menikah lagi.
Di sinilah kita perlu memperluas makna ayah, lebih dari makna kamus.
Pertama-tama, izinkan saya mengatakan bahwa seorang perempuan, seorang juga bisa berperan sebagai seorang ayah. Ia mempimpin, melindungi, mencari nafkah dan masih banyak lagi peran ayah yang dapat diperankan oleh ibu, seperti yang telah dipraktikkan oleh Ibu Nyai Sholichah.
Soal ibu atau perempuan yang tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak-anak perempuannya atau tidak diperbolehkan menjadi imam salat jika ada makmum laki-laki, itu bukan persoalan yang krusial hari ini. Ketimbang menggugat perkara yang masih banyak solusinya itu, lebih baik sekali menciptakan kaum perempuan agar kelak mampu menjadi “ayah”, selain peran ibu.
Kedua, izinkan saya mengingatkan kembali bahwa banyak sekali orang-orang hebat di dunia ini, hidup dan tumbuh tanpa sosok sang ayah. Nabi Muhammad lahir di dunia tanpa ayah. Bahkan Nabi Isa, tidak punya ayah sama sekali.
100 orang paling berpengaruh di dunia yang ditulis Michael Heart tidak sedikit yang yatim.
Mengapa mereka dapat tumbuh hebat tanpa ayah?
Karena Tuhan telah menjadikan semua yang dekat, semua yang ada di sekitar anak yatim adalah ayah. Ibu, saudara, paman, tante, nenek, teman, guru di sekolah hingga alam semesta adalah ayah bagi anak yatim.
Peran seorang manusia bernama ayah, itu penting sekali. Tidak tergantikan sebetulnya. Inilah kenapa Islam menjunjung tinggi anak yatim, dengan menjadikan Muhammad terlahir sebagai yatim.
Tidak terlalu salah, jika saya menyimpulkan Nabi Muhammad atau Nabi Isa itu begitu welas asih, punya sifat melindungi dan membantu, sebetulnya sedang memerankan sebagai seorang ayah. Ketika Gus Dur menemani kader-kader dari pesantren, saat Gus Dur melindungi aktivis-aktivis yang dikejar-kejar tentara, ketika Gus Dur membela kaum lemah, itu berarti sedang memainkan peran sebagai “ayah”.
Mereka merasakan bahwa hidup tanpa ayah adalah pahit, sepi, dan ada kerinduan tanpa ujung.
Agak susah menyelesaikan catatan ini pendek ini. Tapi untung saja saya ingat pertanyaan seorang teman, “Moral apa yang mengatakan kita harus lebih mencintai, lebih memperhatikan, anak-anak sendiri daripada anak orang lain?”