Sedang Membaca
“Wali Kiriman” hingga Toleransi antar Iman
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

“Wali Kiriman” hingga Toleransi antar Iman

Idiom wali kiriman, ternyata sangat asing di telinga umat Islam. Ketika saya bertanya pada dosen, aktivis, dan sahabat-sahabat Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, mereka tak tahu. Apalagi mereka yang tidak aktif di NU dan Muhammadiyah, babarblas tak tahu.

Bagi warga Kabupaten Pati bagian utara, dan di Rembang, Tuban, Lamongan, dan sekitarnya, istilah itu sudah biasa. Khususnya, di Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati yang dekat dengan laut. Kebanyakan makam wali kiriman itu dekat dengan laut atau pantai. Wali kiriman, memiliki spirit religiositas yang masih mistik. Namun, saya mencoba mendalaminya sejak kecil sampai sekarang. Hasilnya, ilmiah dan rasional.

Manusia diciptakan Allah dengan derajat estetik berbeda. Ada yang kalibernya taklid (meniru tanpa dasar), juga tabik (meniru ada dasar). Ada pula yang mendapat sertifikat walayah bergelar wali. Ada yang mendapat sertifikat nubuwwah, yaitu nabi, dan risalah yaitu rasul. Semua sertifikat itu dari Allah, bukan dari manusia.

Untuk para nabi dan rasul sudah jelas jumlahnya terbatas dan itu sudah masa lampau. Pintu kenabian dan kerasulan sudah tertutup rapat sejak Nabi Muhammad saw wafat. Mereka bisa dikatakan nabi atau rasul pun tak harus menunggu meninggal dunia dulu, karena sejak hidup sudah ada mujizat, atau tanda-tanda kenabian atau kerasulannya.

Untuk wali, memang sulit diilmiahkan, apalagi dalam Islam sudah ada rumus “la ya’riful wali illal wali”. Modalnya tak cukup logika, namun harus memakai iman. Artinya, kita tak bakal mengetahui siapa itu wali, kecuali kita sendiri wali.

Hanya saja, kita diberi bocoran seorang itu wali atau tidak dari karamah atau kelebihan di luar kekuatan manusia, khususnya ketika mereka hidup. Namun, wali yang sudah meninggal dunia, karena makamnya penuh dengan peziarah dan memberkahi orang di sekitarnya, sudah diketahui publik. Sebab, mereka pernah hidup di zamannya dan ikut menyiarkan Islam.

Di situlah perbedaan mendasar antara wali, nabi dan rasul. Ada juga pendapat jika nabi Allah bersifat maksum (dijaga dari dosa). Sedangkan wali Allah bersifat mahfuzh yang mendapat bimbingan Allah, baik dalam taat atau khilaf.

Seperti contoh Walisongo yang dikunjungi jutaan orang tiap bulannya, bahkan tiap harinya. Hal itu menjadi bukti bahwa “kewaliannya” diakui umat. Sebab, orang bisa dikatakan baik atau tidak, wali atau orang biasa, adalah ketika ia meninggal dunia.

Ketika banyak orang berduyun-duyun takziah, dan sampai bertahun-tahun banyak yang ziarah ke makamnya, berarti ia orang baik, bahkan wali. Begitu pula sebaliknya, sebaik apapun orang ketika hidup, namun ketika meninggal sepi orang taziah dan peziarah ke makamnya, berarti belum tentu baik.

Wali Kiriman

Wali, waliyullah, secara umum diartikan sebagai wali Allah. Mereka merupakan orang-orang pilihan, kekasih, dan wakil Allah di muka bumi dengan tujuan menyiarkan Islam. Namun wali-wali yang ada di Nusantara ini kebanyakan orang luar dari Arab, Mesir, Kairo, Irak, Cina, dan lainnya. Contohkan saja Walisongo, hampir semuanya bukan pribumi.

Baca juga:  Mencari Kebahagiaan di antara Fikih dan Tasawuf

Dari beberapa literatur sejarah, disebutkan, pertama, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Beliau lahir di Samarqand, Uzbekistan dan berbangsa Arab. Kedua, Sunan Ampel (Raden Rahmat) keturunan ke-23 Nabi Muhammad, dan keturunan Arab-Cina. Ketiga, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) putra Sunan Ampel, keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Beliau putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila yang merupakan bangsa Arab-Cina.

Keempat, Sunan Drajat (Raden Maulana Syarifudin) putra Sunan Ampel, keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Beliau merupakan bangsa Arab-Cina. Kelima, Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji (Anak Sunan Gresik, kakak Sunan Ampel, dan sepupu Sunan Bonang). Sunan Kudus ini keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad dan merupakan bangsa Arab-Cina.

Keenam Sunan Giri (Abdul Faqih Ainul Yaqin) atau Raden Paku putra Maulana Ishaq (Adik Sunan Gresik). Sunan Giri merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, yang merupakan bangsa Arab. Ketujuh, Sunan Kalijaga (Raden Said Abdurahman) putra adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta. Beliau merupakan murid Sunan Bonang yang merupakan bangsa Arab.

Kedelapan, Sunan Muria (Raden Umar Said) putra Sunan Kalijaga. Beliau putra Sunan Kalijaga dari isterinya Dewi Sarah binti Maulana Ishaq (Keponakan Sunan Gresik) yang merupakan bangsa Arab. Kesembilan, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) putra Syarif Abdullah Umdatuddin dan merupakan keturunan bangsa Arab-Sunda.

Ada pendapat kuat, bahwa yang pribumi Nusantara yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Terlepas dari itu, mereka pernah hidup di Jawa dan Nusantara. Meski datang dari luar, namun mereka hidup, babat alas untuk syiar Islam dan meninggal dunia di sekitar daerah yang mereka bina, dan masuki ajaran Islam.

Dalam definisi ini, mereka bukan wali kiriman, melainkan pribumi. Sebab, idiom kebudayaan Islam di Pati bagian utara sampai Rembang, Tuban, Lamongan, wali kiriman merupakan seorang wali yang tak pernah hidup di daerah itu. Namun, mereka “dikirim Allah” di daerah itu berupa mayatnya saja.

Istilah wali kiriman sebenarnya hampir sama dengan “wali tiban”. Hamid Ahmad (2007) dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid” menarasikan wali tiban. Tiban, dalam Bahasa Jawa satu akar kata dengan tibo, tiban, yang berarti turun, datang, atau jatuh. Artinya, wali tiban merupakan wali yang diturunkan Allah di suatu tempat untuk menyiarkan Islam dan membenahi daerah tersebut ke jalan yang diridai Allah.

Meski setting epistemologisnya beda, namun substansi wali kiriman dan tiban sama, yaitu bukan orang pribumi, asli, dan atau pernah hidup di daerah itu. Di Jawa, khususnya dekat dengan pantai sangat banyak wali kiriman yang ditemukan warga setempat. Usai penemuan, mereka dimakamkan di lokasi desa dekat pantai itu dan ditelusuri jejak dan silsilahnya.

Baca juga:  Ghufayrah al-‘Abidah dari Bashrah

Sekitar tahun 1980an, ada kejadian menarik menggegerkan warga Desa Banyutowo, sebelah timur desa saya. Kejadian itu ketika penduduk setempat menggali tanah untuk aliran air Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Banyutowo. Warga menemukan mayat berbungkus kain kafan yang masih utuh, dan kemudian makam itu sampai sekarang ditempatkan di belakang balaidesa Banyutowo, Kecamatan Dukuhseti, Pati. Saat itu warga geger, kemudian pemerintah desa dan para tokoh agama setempat mencari asal-usul dan salah satunya menanyakan hal itu kepada Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.

Dari penelurusan nasab oleh Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dulu, mayat yang ditemukan penggali selokan TPI Banyutowo itu adalah Habib Abdurrohman Ba’alawy. Sampai sekarang, kondisi makam masih terjaga dan banyak peziarah ke sana dari berbagai daerah.

Kemudian makam di Congot, Dukuh Selempung, Desa Dukuhseti, Pati. Lokasinya di Congot, sebuah daratan yang menjorok ke laut. Makam ini ditemukan warga setempat, yaitu Subawi, Ngalimun, dan Wagiman saat membuat tambak milik Narmo warga Dukuhseti. Daerah itu sampai sekarang dikenal angker karena dulu bekas pemakaman era Belanda dan Jepang kurun 1930-1940an. Daerah itu, dulu sempat akan dijadikan tempat penyulingan minyak oleh Jepang. Namun karena potensinya kecil, maka hal itu dibatalkan.

Penemuan makam di Congot itu pada 1997. Dari penjelasan KH. Umar Faruq Imam Sarang, Rembang dulu, makam di Congot itu adalah Syekh Ibrahim. Sedangkan menurut alm. Habib Ahmad Al-hamid Tayu, Pati, makam di Congot itu adalah Bang Ayib Ibrahim atau “sayyid kecil”.

Saat penemuan mayat Syekh Ibrahim, ada tragedi di luar kekuatan manusia. Orang setempat menyebut haluhoro, karena ada angin besar, hujan lebat, dan petir menyambar. Usai kejadian ini, Pemerintah Desa Dukuhseti segera membuatkan makam di area tambak itu. Sampai sekarang, makam masih terjaga dan banyak peziarah dari Jawa, bahkan Kalimantan dan Sulawesi ke makam tersebut.

Di Dukuhseti sendiri, dua puluh tahun ke belakang ada beberapa makam baru ditemukan di daerah Dukuh Kedawung, Seti, dan Tegalombo. Namun, nasabnya tak terlalu jelas, dan warga menganggap mereka orang biasa bukan wali. Apakah wali kiriman hanya di Pati bagian utara? Ternyata tidak.

Di Desa Karanglincak, Kragan, Rembang juga ada wali kiriman bernama Syekh Ghozali yang ditemukan sekitar tahun 1994. Syekh Ghozali diyakini sahabat Syekh Abdul Qodir Jaelani dari Baghdad Irak (Radior2b.com, 16/7/2013).

Saat penemuan jenazah Syekh Ghozali pun sama seperti beberapa wali kiriman di Dukuhseti, yaitu jasad dan kain kafannya masih utuh, dan ada haluhoro yang membuat bulu kuduk merinding. Selain di Pati dan Rembang, saya yakin di belahan Nusantara ini ada kejadian sama, yaitu penemuan makam wali kiriman.

Spirit Kewalian

Wali kiriman atau wali pribumi yang pernah hidup pada zamannya di suatu daerah sama-sama mengajak kita menjadi pemeluk Islam yang taat. Wali kiriman, bagi saya merupakan manusia pilihan Allah yang dikirim ke suatu daerah untuk membenahi daerah itu.

Baca juga:  Sufi dan Seni (3): Qawwali, Musik Para Sufi

Tujuan pengiriman wali itu untuk menjadi simbol kekuasaan Allah di suatu tempat yang membutuhkan sosok islami. Kita lihat, di Banyutowo, dulu dikenal dengan kampung kristiani karena hampir 90 persen penduduk beragam Kristen di bawah naungan Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ). Di sana, budayanya lautnya masih kental, minum-minuman keras, seks bebas, dan lainnya.

Kemudian usai wali kiriman bernama Syekh Ibrahim datang, makamnya dibangun di belakang Balaidesa Banyutowo, pemeluk Islam pun berkembang pesat. Masjid dan musala banyak berdiri. Kini, jumlah pemeluk Kristen dan Islam imbang.

Uniknya, di sini tak ada gesekan antarpemeluk agama. Mereka justru rukun, toleran, dan plural sejak dulu sampai sekarang. Saat Natal, umat Islam membantu dan menghormati hari raya itu. Begitu pula saat Idul Fitri atau Idul Adha, warga Kristiani toleran dan menghormati hari besar Islam tersebut.

Sedangkan di Selempung, khususnya daerah Purbo, dulu dikenal dengan kampung prostitusi. Bahkan, daerah ini era 1990an dikenal sebagai tempat lelaki hidung belang. Stigma Dukuhseti “kota pelacuran” pun kental saat itu hingga di wilayah Jepara, Demak, Semarang, Rembang, dan sekitarnya.

Namun karena ada peran spiritual wali kiriman, dan gerakan moralisasi GP. Ansor, Banser, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa saat itu, kini prostitusi habis sampai ke akarnya. Di Selempung, kini banyak berdiri masjid, musala, dan pondok pesantren serta sekolah-sekolah Islam.

Bagi saya, ini ada campur tangan Allah lewat aura positif dari wali kiriman tersebut. Salah satunya di Congot, Selempung, Dukuhseti, dan daerah lain tersebut. Tidak mungkin tidak.  Bagi kita yang masih hidup sudah seharusnya menggerakkan spirit religiositas dengan cara berziarah, bertawassul padanya. Jangan sampai kita terpengaruh dengan golongan yang suka mengafirkan. Sebab, saat ini orang suka menyalahkan tanpa mencari kebenaran hakikinya.

Kalau hanya bertawasul, sah-sah saja karena hanya orang yang dekat, dan kekasih Allah yang doanya mudah dikabulkan. Lantaran kita ini orang kotor, jahat, banyak dosa, kita perlu bertawasul, wasilah, menggunakan perantara agar doa kita dikabulkan. Tradisi ndepe-ndepe kepada Allah lewat para kekasihnya inilah yang harus dijaga dan digerakkan sebagai khazanah Islam di Nusantara.

Kita harus ingat petunjuk Allah. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS. Yunus: 62-63).

Sudah seharusnya kita mencintai dengan apa dan siapa yang dicintai Allah. Jika berziarah saja dikatakan syirik, bertawasul dikatakan kafir, di mana letak kafir dan syiriknya? Bukankah wali kiriman menjadi bentuk kekuasaan Allah?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top