Sedang Membaca
Sosok Satrio Panindito Sinisihan Wahyu
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Sosok Satrio Panindito Sinisihan Wahyu

Ada hal lebih penting daripada terus melanjutkan perdebatan tentang keputusan MK yang kadang memisahkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah siyasah (persaudaraan politik). Dus, apa yang lebih urgen kita kaji dan pertimbangkan sekarang?

Ini soal konsep kepemimpinan yang pernah diracik apik Eyang Ronggowarsito (1802-1873) tentang tujuh kesatria Indonesia atau Satria Piningit yang masing-masing memiliki kaliber, watak, dan epistemologi sendiri. Selain Ronggowarsito, konsep Ratu Adil juga diracik Prabu Jayabaya yang tersirat dalam Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lainnya.

Banyak pakar menyebut apa yang dikonsep Raden Ngabehi Rangga Warsita dan Prabu Jayabaya ini adalah ramalan. Bagi saya tidak, ini adalah ajaran masa depan yang adiluhung dan tidak dimiliki para pemikir modern sekaliber presiden terhebat di dunia. Mulai dari konstruksi ilmiahnya, tasawuf, sistem kenegaraan, bahkan sampai pada mitologinya.

Siapa Satria Piningit?

Adanya negara, memakai konsep demokrasi, khilafah, atau apapun namanya, bagi saya tidak penting. Sebab, yang menonjol dalam Islam adalah “keadilan sosial” sebagaimana yang digagas Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, dan pemikir Islam lainnya. Maka tidak perlu adanya negara Islam lantaran yang paling penting adalah terwujudnya keadilan sosial. Apa gunanya sistem negara Islam jika tidak ada keadilan?

Sistem kepemimpinan hanya jalan, alat, untuk mencapai tujuan keadilan sosial. Jadi, sistem itu bukan tujuan (ghoyah), namun hanya alat (wasilh). Lalu, siapa yang dapat mewujudkan kejayaan Nusantara di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini dengan tujuan keadilan sosial? Apakah dia Satria Piningit, Ratu Adil, atau Imam Mahdi?

Wisesanatha (2016) menyebut Satria Piningit sejak lama tertulis di Syair Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo, Ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong, Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito, Serat Darmo Gandhul, dan Wangsit Siliwangi. Konsep ini hanya dimiliki Nusantara dan menjadi objek riset banyak kaum intelektual.

Baca juga:  Era "Klambrangan", Era Desas-desus

Ada tujuh Satrio Piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari. Ia akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit , yaitu  Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.

Dalam tafsirnya, Darmawan dan Nurahmad (2007: 271) menyebut sosok Satria Piningit dimiliki oleh semua Presiden Indonesia. Pertama, Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro yang menjelma pada Soekarno karena dianggap  mampu membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan. Selain proklamator, Soekarno merupakan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama yang berkuasa kurun tahun 1945-1967.

Kedua, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar yang diidentikkan dengan Soeharto. Selain kaya raya, berwibawa dan ditakuti, Soeharto juga mengalami kondisi selalu dipersalahkan, serba buruk, selalu dikaitkan dengan segala keburukan yang berkuasa pada 1967-1998. Ketiga, Satrio Jinumput Sumela Atur yang diidentikkan dengan Presiden RI ketiga B.J. Habibie, yang dinilai sebagai pemimpin “terpungut” (diangkat) namun hanya dalam masa transisi saja karena hanya memimpin kurun 1998-1999.

Keempat, Satrio Lelono Tapa Ngrame yang diidentikkan Gus Dur karena saat memimpin kurun 1999-2000 beliau berkeliling 80 tempat di luar negeri. Bukan tanpa alasan, Gus Dur memilih mengenalkan Nusantara ke jagat demi eksistensi dan martabat bangsa. Kelima, Satrio Piningit Hamong Tuwuh yang diidentikkan dengan Megawati yang memimpin kurun 2000-2004 karena dinilai membawa kharisma keturunan Bapaknya Soekarno.

Keenam, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro yang diidentikkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memimpin dua periode sejak 2004 sampai 2014. SBY dinilai sebagai pembuka gerbang atau “Pambukaning Gapura” untuk menuju golden age. Setelahnya, yaitu ketujuh adalah sosok Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu yang diidentikkan dengan Presiden Jokowi yang memimpin sejak 2014.

Baca juga:  Matematika Islam (1): Matematika dalam Nazdaman al-Imrithi

Siapa Sosok Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu?

Tafsir di atas, tampaknya pas, kompatibel dan sangat relevan dengan karakter masing-masing presiden. Lalu, siapa sosok pemimpin yang akan lahir di tahun 2019 ini? Pertanyaan ini tentu penting bagi orang yang memahami metafisika Nusantara. Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu bisa jadi Jokowi lagi. Terlepas dari itu, sosok Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu bergantung tafsir yang digunakan.

Satrio berarti orang yang kesatria, pemberani, gagah dan tegas. Gagah tidak harus fisik, namun lebih pada subtansi dan ketegasan mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat. Sebab, pemimpin hakikatnya adalah “buruhnya rakyat” yang digaji.

Pinandito berarti seorang begawan, negarawan, bukan sekadar politisi. Sinisihan Wahyu merupakan orang yang dekat dengan Tuhan, manunggal dengan hatinya rakyat dan dicintai Tuhan. Masalahnya, dalam teori siklus, bisa jadi tahun ini tidak lagi Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu yang dibutuhkan Nusantara. Bisa jadi kembali pada sosok pertama yaitu Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, atau kedua, dan seterusnya.

Ini merupakan rahasia Tuhan dan tugas kita hanya berijtihad untuk menafsirkan realitas dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Ketika Indonesia sudah dalam siklus ketujuh dari konsep di atas, tentu kita dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu akan jaya dengan ayat “Kalaseba” atau kehancuran atau era “Kalabendu”. Kita dapat menganalisisnya dengan ayat-ayat qauliyah atau kauniyah dari Allah, baik berupa realitas sosial, alam, maupun metafisik.

Nadjib (2014) menafsir, Indonesia era 21 ini masih membutuhkan sosok Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu. Ia merupakan sosok yang pemberani, sedikit “gila”, tidak mempan tembak, santet, namun hatinya selalu melekat dengan Tuhan dan rakyat. Jika ia khianat pada rakyat maka Tuhan marah, jika dia jauh dengan Tuhan, maka rakyat yang akan marah. Entah Satri Pinandito atau yang lain, semua kita serahkan pada Allah.

Baca juga:  Perhatian Orientalis terhadap Kajian Tasawuf

Namun, sebagai orang Nusantara yang beragama dan bernegara tentu harus mengambil sikap. Pertama, kemajuan suatu bangsa tentu tidak hanya dipasrahkan pada pemimpin. Rakyat pula yang menentukannya sesuai asal kata ra’iyah sebagai konsep kepemimpinan. Untuk itu, rakyat harus memilih pemimpin yang jelas-jelas mengutamakan keadilan rakyat, bukan kelompok apalagi pribadi. Seperti rumus tasharruful imam ‘ala raiyah manuthun bi al-mashlahah yang berarti keputusan pemimpin untuk rakyat sepenuhnya bergantung/bertujuan pada kemaslahatan rakyat.

Kedua, kita harus meyakini, jika di Timur Tengah pada saatnya akan muncul Imam Mahdi, di Nusantara tentu akan muncul Satrio Piningit yang sudah diwanti-wanti Eyang Jayabaya dan Ranggowarsito sejak dulu. Tugas kita hanya meraba-raba dengan terus berkaca pada realitas demi menggapai kewaspadaan zaman. Salah memilih, berarti kita tentu salah menentukan nasib bangsa.

Ketiga, pemimpin yang baik harus memiliki sifat kepemimpinan Nabi Muhammad Saw dari sidik, amanah, tabligh, fatanah. Namun di Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang memiliki kelengkapan-kelengkapan yang melampaui zamannya. Artinya, ia benar-benar mampu membaca spirit zaman sesuai konsep kepemimpinan di atas, karena problematika umat tiap era sangat berbeda.

Keempat, syarat pemimpin menurut saya hanya dua, yaitu “mau” dan “mampu”. Mereka yang mau, kadang tidak mampu, namun mereka yang mampu kadang tidak ada kesempatan untuk memimpin. Untuk itu, kita dapat melihat, menentukan, bahkan mencari sosok Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu dengan melihat rekam jejak calon pemimpin yang ada.

Yang jelas, siapapun pemimpinnya nanti, mereka harus tahu konsep Satrio Piningit sebagai wahana memajukan Indonesia. Bisa calon A, atau calon B. Semua adalah rahasia Tuhan yang sudah diracik apik Eyang Ronggowarsito dan Prabu Jayabaya. Dus, siapa yang laik menjadi Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu? (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
4
Senang
0
Terhibur
4
Terinspirasi
0
Terkejut
2
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top