Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Rebo Wekasan dan Spirit Menolak Musibah

“Ib, sesuk Rebo Wekasan lo, jo lali kayak biasane”. Demikian pesan singkat dari ayah saya beberapa waktu lalu saat mengingatkan bahwa Rabu 7 November 2018 ini adalah Rebo Wekasan.

Otomatis, Selasa 6 November 2018 ramai-ramai orang memperingati Rebo Wekasan. Meski kami sekarang tak tinggal bersama, namun ayah saya selalu konsisten menjaga tradisi dengan saling mengingatkan.

Nusantara memang kaya akan tradisi. Rebo Wekasan atau Rabu Wekasan menjadi salah satu contoh tradisi khas Islam Nusantara yang masih lestari. Di daerah Pati dan Kudus, tradisi ini ini sangat dinanti, karena diyakini menjadi hari Rabu akhir atau pungkasan di bulan Safar pada kalender Jawa.

Selain di wilayah Pantura Timur, tradisi ini juga digelar di berbagai daerah khususnya di wilayah Jawa bahkan luar Jawa. Tradisi wajib dijaga bahkan digerakkan. Mengapa saya katakan wajib, karena Indonesia kini diakui atau tidak darurat bencana.

Mulai dari rentetan gunung meletus, gempa, tanah longsor, sampai pada bencana moral, keagamaan, dan terakhir adalah misteri jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 yang menelan banyak korban.

Dari dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyebut dari Januari hingga 24 September 2018 tercatat ada 1.999 kejadian bencana di Indonesia (Tempo.co, 26/10/2018). Melihat data ini, akankah kita semakin ateis, jauh dari Tuhan, diam, atau hanya mengolok-olok tanpa perbuatan?

 

Enigma Rebo Wekasan

Rebo Wekasan bukan saja soal budaya, namun sarat akan nilai-nilai religius dan wujud mendekatkan diri pada Allah agar terhindar dari bencana. Sebab, Allah Maha Adil yang selalu menjaga keseimbangan alam. Jika hamba-Nya baik, maka alam akan stabil. Jika sebaliknya, maka pasti banyak bencana.

Baca juga:  Monuntul; Tradisi Pasang Lampu di Bulan Ramadan dalam Masyarakat Muslim Bolaang Mongondow

Hal itu sudah tergambar jelas pada Alquran Surat ar-Rum ayat 41, bahwa semua kerusakan di darat dan di luat merupakan ulah dari manusia itu sendiri. Sementara pada ayat 42, secara spesifik mengamanatkan bagi semua manusia untuk melestarikan alam dan menjaganya. Rebo Wekasan merupakan bagian dari ikhtiar menjaga keseimbangan alam.

Mengapa? Karena tradisi Rebo Wekasan menjadi bagian dari usaha manusia mendekatkan diri pada Allah agar dijauhkan dari bala’ yang di dalamnya ada musibah.

Secara historis, penelitian Nurozi (2016: 131-132) menyatakan tradisi Rebo Wekasan dilatarbelakangi pendapat Abdul Hamid Quds dalam kitab Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur. Dalam kitab itu, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 macam bala’ atau bencana ke bumi.

Pada hari tersebut dianggap sebagai hari yang terberat sepanjang tahun. Siapa saja melakukan salat empat rakaat, di mana setiap rakaat setelah surat al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali, lalu surat al-Ikhlas 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Nas masing-masing sekali; kemudian setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Syeikh Muhammad bin Atwi al-Maliki al-Hasani dalam kitab Abwabul Faraj, Pasal pengobatan dengan ayat syifa (penyembuh), mengkisahkan lmam Syekh Abul Qashim al-Qusyairi memiliki anak dalam kondisi sakit keras sehingga hampir berputus asa melihat anaknya.

Baca juga:  Membaca Adonis di Indonesia: 1983 dan 2018

Dalam tidurnya, ia mimpi bertemu dengan Nabi dan ia menyampaikan kondisi sakit anaknya. Nabi berkata, “Apakah engkau tidak mengetahui ayat-ayat syifa di dalam Alquran?”. Selanjutnya, Syekh Abul Qashim segera mencari ayat-ayat yang dimaksud Rasulullah tersebut dan menindaklanjutinya dengan memberikan obat dengan perantara ayat-ayat tersebut.

Sejak saat itu, Rebo Wekasan lestari karena ada inti, yaitu bulan Safar menjadi “bulan bencana” sekaligus menjadi “bulan penyembuh”. Namun belakangan, banyak orang melemahkan tradisi ini karena dinggap menyimpang dari ajaran Islam. Ada pula yang menegaskan hadis itu lemah. Namun bagi yang percaya dan yakin karena sudah jelas ada dasarnya, dan bertujuan bukan menyekutukan Allah, justru menjadi wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri pada Allah untuk menolak musibah. Lalu, di mana syiriknya?

 

Spirit Menolak Musibah

Musibah sebagai bentuk kekuasaan Allah harus dihindari dan ditolak. Sebab, manusia dianjurkan mencari kehidupan yang laik dan baik. Adapun musibah yang diturunkan Allah menjadi wahana pengingat, keseimbangan, bahkan tamparan keras bahwa manusia harus selalu kembali pada Allah, memperbaiki perbuatan dan tidak boleh merusak alam.

Salah satu wujud menolak musibah itu dengan melakukan tradisi Rebo Wekasan. Seiring berkembangnya roda kehidupan, wujud tradisi ini berbeda-beda. Dari survei di beberapa daerah, ada beberapa variabel yang dilakukan masyarakat.

Pertama, melakukannya dengan salat sunah, doa, dan tahlilan bersama di musala/masjid. Tujuannya, mendekatkan diri pada Allah dan menolak musibah. Di Pati, Kudus, dan daerah lain hampir sama. Di Temanggung, misalnya, ada yang mujahadah dan tahlil bersama usai salat Mangrib di musala/masjid, ada yang salat sendiri dan melakukan ritual sendiri di rumah masing-masing.

Baca juga:  Mistik Islam Kejawen dalam Serat Pamoring Kawula-Gusti

Kedua, salat sunah bersama di rumah masing-masing, dan melakukan pengobatan dengan datang ke para kiai sebagai wasilah dengan perantara ayat-ayat Alquran. Seperti contoh Rohmah (2014: xvii) dalam penelitiannya di Jember, menjelaskan Rebo Wekasan merupakan ritual tahunan yang digelar masyarakat pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Tujuan Rebo Wekasan untuk menolak segala musibah yang turun pada hari itu.

Ada beberapa landasan tradisi ini dilestarikan dengan melakukan salat tala’ bala’. Mulai dari surat al-Kautsar, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas. Sementara jimat yang digunakan dalam menolak musibah dalam tradisi ini adalah Surat Yasin ayat 58, al-Shaffat ayat 79-89, 109-110, 130-131, az-Zumar ayat 73, al-R’ad ayat 24, al-Qadr ayat 5. Dari tulisan-tulisan itu, kemudian dimasukkan air untuk diminum dengan tujuan agar tidak terkena musibah.

Ketiga, selamatan di kampung dan doa bersama agar terhindar dari musibah. Secara umum, tujuannya sama yaitu meminta pada Allah agar selamat, sehat, dan jauh dari musibah. Tidak ada tujuan lain seperti meminta kekayaan, apalagi sampai menduakan Allah. Tidak mungkin!

Terjadi musibah atau tidak, itu hak veto langsung dari Allah. Namun sebagai manusia yang beragama, berbudaya, dan berbangsa, kita harus ikhtiar menolaknya dengan cara mendekatkan diri pada Allah, menghentikan perusakan alam, salah satunya dengan melestarikan tradisi Rebo Wekasan. Jika tidak melakukan Rebo Wekasan, apa kita hanya diam dengan melihat musibah?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Syiriknya ritual Rebo Wekasan menganggap Allah sama dengan Dewa. Sebab ritual Rebo wekasan awalnya ritus leluhur untuk memohon pertolongan pada Dewa. Setelah jadi pemeluk Islam, Dewa dianggap Allah, dan ritusnya tetat sama. Ini yg namanya sikretisme…Islam ala Hinduisme…

Komentari

Scroll To Top