Hamdani
Penulis Kolom

Pegiat Budaya. Kini mengabdi di Lajnah Ta'lif wa An-Nasr, Jatman NU Pamekasan. Founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan, Madura.

Refleksi Harlah Lesbumi: Bakiak Kiai

Bukan hanya seekor anjing dalam kisah Ashabu al-Kahfi yang diabadikan Alquran, tapi juga sandal, terompah, atau bakiak. Kenapa? Karena terompah, bakiak, sandal pun, dalam takar tertentu justru bisa sangat mitis dan sakral sebagaimana sebagian kalangan Islam mendudukkan terompah nabi dalam posisi tak kalah mulya.

Alquran mengabadikan perihal terompah dalam QS. at-Thaahaa ayat 12 yang menceritakan ‘pertemuan’ Nabi Musa dengan Gusti Allah Swt di bukit Tursina. Ketika itu Musa diharuskan menanggalkan terompahnya:

“Lepaskan kedua sandalmu, wahai Musa, Kau yang berada di lembah yang suci.”

‘Instruksi’ senada tidak ditemukan dalam peristiwa Mi’raj ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw naik ke Sidratul Muntaha. Karena itulah, konon penyair Arab kala itu menulis, “manakah yang lebih mulia antara terompah (sandal) nabi dengan malaikat Jibril?”

Kita tentu tak dapat begitu saja menyebandingkan terompah dengan malaikat. Apa yang menjadikannya mulia adalah karena ia melekat pada kaki Rasulullah dan melindunginya dari panas pasir, duri, najis dan menemani langkah-langkah beliau menebar rahmat untuk semesta alam.

Ini bermakna bahwa tiap-tiap unsur dari kebudayaan dan adab manusia hanya memiliki posisi krusial ketika melekat pada suatu hubungan baik yang hadir dalam nilai-nilai kemanusiaan maupun yang mampu menjadi tangga hubungan vertikal dengan-Nya. Pun demikian posisi seni dan seniman dalam dinamika kemanusiaan yang tak ubahnya terompah. Sebagai suatu struktur organis peradaban, ia tak pernah dianggap menjadi bagian dari tubuh, meski selalu melekat dan musykil ditampik manfaat dan keberadaannya.

Itulah mengapa, sebagai unsur dari adab manusia, seni, pun juga terompah, memiliki dwi-makna yang bisa jadi bertentangan satu sama lain. Di satu sisi ia dapat ditafsiri sebagai bentuk keniscayaan yang seakan jauh dari keagungan dan kemulyaan, dibanding Mahkota sebagai misal. Di sisi lain, ia memiliki fungsi praktis dalam kosmologi budaya dengan kedudukan penting dan mulya seperti halnya terompah kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Baca juga:  Mengulik Drama Simbolik Bung Karno

Terlepas dari fungsi praktisnya sebagai alas kaki yang dapat menghindarkan kita untuk tidak menginjak tembelek, terompah juga cukup tepat menggambarkan kedudukan seni dan peran seniman yang setengah terasing atau bahkan diasingkan. Ia mesti cukup berendah hati sebagai sesuatu yang bukan bagian dari tubuh tetapi selalu melekat menyertai wadag kehidupan dan dinamika kita.

Seni juga tak bisa semata dipersepsikan dengan jiwa sebagai perwujudan rohani, meski bisa jadi ia bersumber darinya. Kesenian bukanlah semata soal berindah-indah dan dramatisasi tanpa wujud nyata sebagai laku yang kemudian termanifestasi sebagai produk.

Seni melekat pada hidup itu sendiri sebagai perwujudan pengabdian atas perjalanan kemanusiaan sebagai jiwa zaman (Zeitgest) sekaligus pengikat antar kebudayaan (Kulturgebundenheit).

***

Membincang fungsi dan peran seniman dan budayawan semacam ini mengingatkan kita pada perkembangan manifesto dan pola sikap Lesbumi NU. Lesbumi NU merupakan sebuah organisasi seniman dan budayawan di bawah Nahdlatul Ulama yang lahir 28 Maret 1962 –hari ini genap 56 tahun– dan sempat mengalami stagnasi yang cukup panjang hingga pasca-Soeharto.

Tak ada catatan yang cukup untuk menjawab mengapa Lesbumi NU, sebagai wadah kerja para seniman dan budayawan, mengalami stagnasi hingga pasca reformasi. Kita cuma dapat berpraduga dengan meninjau sejarah bahwa ia ikut meredup sesaat ketika perdebatan sengit aliran kebudayaan (yang sangat kental dengan campur tangan politik) mereda pasca tumbangnya Orde Lama. Lesbumi yang berada di bawah naungan NU sebagai partai politik secara otomatis ikut kehilangan dinamikanya—ketika Lekra terbungkam bersama tumbangnya rezim orde lama tersebut—dan sangat mungkin kehilangan posisi tengahnya.

Selama masa kevakuman tersebut, kesenian di luar jejaring kaum nahdliyyin bukan tanpa dinamika. Di era Orde Baru, misalnya, kesenian Indonesia justru berkembang sedemikian rupa meski di bawah represi. Dalam sastra sebagai misal, berbagai angkatan dengan corak beragam dilahirkan meski tak dapat sepenuhnya dilepaskan dari akar perdebatan masa pergulatan realisme sosialis versus humanisme universal.

Tepatnya sejak Muktamar NU ke-30 pada 1999, Lesbumi NU dibangkitkan kembali dari mati surinya dan terus melakukan upaya-upaya vital hingga saat ini. Namun, seperti disinggung di atas, kesenian terlanjur berkembang sedimikian rupa dengan mengadopsi ideologi-ideologi barat baik sosialisme kiri dan liberalisme kapitalistik dengan eksistensialisme sebagai pintu masuknya.

Baca juga:  Festival Film Purbalingga Sudah Mulai

Menarik dicatat, tanpa merasa terlambat, akhirnya “kaum sarungan” (istilah yang hari ini sudah tak populer) yang sempat gagap—dan gugup—menghadapi perkembangan seni barat yang merasuk ke hampir tiap sudut kebudayaan tersebut mencoba merumuskan dan menyatakan sikap kembali.

Setelah “Kepercayaan Gelanggang”, kita dapat menemukan “Sikap Kebudayaan Lesbumi NU” yang dirumuskan di Yogyakarta (Pesantren Kaliopak) dalam acara Muktamar Kebudayaan—di mana penulis juga hadir sebagai peserta—dalam merespon realitas mutakhir kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Pernyataan sikap yang kemudian diresmikan di Jakarta pada 26 Agustus 2010 ini memuat tiga persoalan mendasar yang dianggap melatari kondisi seni dan kebudayaan.

Pertama, kekuatan cengkraman kapitalisme mendudukkan seni dan masyarakatnya tak lebih sebagai objek pasar dan pragmatisme kapital.

Kedua, kekuatan negara menempatkan kebudayaan tak ubahnya benda mati dan lebih sebagai alat pendukung kekuasaan (legitimasi politik).

Ketiga, kekuatan formalisme agama menempatkan kebudayaan bukan sebagai energi sosial yang menjadi penopang tumbuh-berkembangnya harkat manusia sebagai khalifah fil ardl, akan tetapi dalam kadar tertentu justru mendudukkan seni dan kebudayaan sebagai suatu praktik menyimpang.

***

Berdasarkan kenyataan dan sikap Lesbumi NU di atas, setidaknya kita dapat mengambil sedikit rumusan soal bagaimana pola-pola seni dan kebudayaan Islam (pesantren) bisa dirumuskan kembali. Meski tentu saja kita sadari, jawaban dari problematika kesenian dan kebudayaan akan diuji oleh roda dan badai kala.

Apa yang menyebabkan “Kepercayaan Gelanggang” tak memiliki daya dentum cukup luas dan mengakar serta seperti tak meninggalkan bekas ke seantero nusantara—terutama kalangan Islam dan pesantren—dalam hemat penulis, setidaknya dilatari oleh dua faktor:

Pertama, sejarah berdirinya sebagai suatu upaya respon menengahi polemik ideologi seni kala itu dengan dinamika yang sangat politis.

Baca juga:  Islam di Banjar (2): dari Syekh Arsyad hingga Kontestasi Ustaz Baru di Medis Sosial

Kedua, sifatnya yang elitis, utamanya jika dibandingkan dengan tumbuh-kembang diskursus kesenian di akar rumput (pesantren di kampung-kampung).

Itu sebabnya, kesenian dalam fragmen keislaman di nusantara yang kita spesifikkan pada kultur santri dan pesantren mesti mempertimbangkan dinamika kesenian di pinggiran dan akar rumput. Tidak jadi soal apabila kesenian kemudian dianggap ekslusif dan pinggiran, karena tak semua pelaku mesti menerima posisinya sebagai terompah, atau lebih tepatnya bakiak.

Bakiak saya pikir merupakan simbolisasi yang sepadan untuk menakar peran seniman dan budayawan dalam melakukan suatu arus balik ke depan terhadap dinamika kesenian Islam dan pesantren. Mengapa pesantren? Kita semua tahu bahwa kalangan santri merupakan subkultur terbesar yang menopang NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia.

Dengan demikian, tiap pelaku seni mesti menyejajarkan perannya dalam suatu medan asketik sebagai wujud pengabdian terhadap Islam dan bangsa Indonesia. Ia menjadi suatu medium di mana cita-cita dan nilai luhur keislaman diejawantahkan dalam keseharian santri dan masyarakatnya.

Ia juga mesti bertahan mengarungi terjal tanah nusantara, merawat kemandirian dan energi kreatifnya sebagai suatu unsur di luar cengkraman struktur. Di tengah minimnya apresiasi dan sikap setengah-setengah kalangan kiai dan ulama yang tak memiliki pandangan bulat dan final tentang nafas kesenian, seniman memiliki kedudukan penting meski sangat berpotensi diinjak-injak sebagaimana perannya sebagai bakiak.

Layaknya bakiak seorang Kiai, seniman akan selalu menjadi semacam “peringatan”, seperti deru derapnya yang mendekat dan terdengar oleh para santri yang sempat terlelap sebelum saat ngaji kitab dimulai.

Ia adalah alas kaki yang menopang dan melindungi tiap langkah dinamika keberislaman sekaligus menjadi medium bagaimana upaya-upaya langit tetap berpijak ke bumi.

Akan tetapi, bukan tak layak jika kita bertanya; bagaimana bila kiai tak lagi merasa perlu mengenakan bakiak atau terompahnya?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Jasa Orde Baru dalam bidang kebudayaan, ialah memandang kebudayaan dalam pengertian yang luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan sekedar kesenian seperti yg dipahami pada jaman Orde Lama. Kunccaraningrat, adalah salah satu dari intelektual masa orde baru, yang banyak mengembangkan pandaangan yg rasional dan ilmiah soal kebudayaan dalam arti luas.Paada masa Orde Baru, Pendiikan dipandang sebagai bagian dari kebudayaan, shingga nama departemen yg mengurusi soal-soal pendidikan dan kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ironisnya pada masa Gus Dur jadi presiden, makna kebudayaan kembali menyempit sekedar aktivitas berkeseniaan untuk menarik turis, sehingga digusur ke Kementerian Pariwisata. Padahal Gus Dur dikenal sebagai budayawan, selain ulama. Untunglah SBY cepat menayadarinya, sehingga urusan kebudayaan kembali disatukan dengan urusan pendidikan.Sekalipun begitu, selamat untuk kebangktan kembali LESBUMI. Pada masa Orde Lama, bersama Manikebu, gigih melawan dominasi LEKRA dan PKI.Salam.

Komentari

Scroll To Top