INI cerita lama. Lima tahun yang lalu, sehabis menyaksikan upacara peringatan HUT RI ke-68 yang dipimpin gubernur Kalsel di TVRI Kalsel, saya diajak seorang teman anggota DPR berziarah, bersama teman dosen dan seorang ulama muda yang kini mulai “naik-daun” di daerahnya, ke Dalam Pagar dan Sekumpul.
Pertama kami “menziarahi yang hidup” (seperti judul sebuah cerpen Raudal Tanjung Banua), lalu, baru kami menziarahi yang sudah lama berpulang.
Awalnya kami baelang (silaturahim) ke Guru Irsyad Zen (almarhum), seorang ulama sepuh keturunan Syekh Arsyad al-Banjari yang banyak menyimpan dan mendokumentasikan peninggalan dan karya-karya Syekh Arsyad.
Ada sebuah bangunan bertingkat dua di tepi Sungai Martapura, di depan rumah Ayah (begitu kami memanggil Guru Irsyad). Bangunan bertingkat itu kini kurang terawat, padahal kata teman dosen gedung itu semacam museum mini tempat menyimpan beberapa peninggalan Syekh Arsyad. “Ujar,” kata teman saya, “barang-barang di dalamnya sudah dipindahkan ke rumah Ayah.”
Konon, gedung itu sumbangan mantan seorang petinggi daerah. Sayang sekali gedung itu tidak didukung dana secara berkala untuk pemeliharaannya. Padahal mestinya ia “dibayangkan” sebagai aset daerah sebagai, setidaknya, bagian dari cagar budaya yang diperhatikan untuk anak-cucu. Mengharapkan peran Ayah lebih jauh untuk itu tentu terlalu naif, mengingat keterbatasan beliau.
Dari tempat Ayah, kami menuju kubah Tuan Guru Kasyful Anwar di Kampung Melayu Kabupaten Banjar. Setelah mengucap salam dan berdoa di dalam kubah, kami bersilaturahim ke rumah Guru Munawwar di depan makam. Kami sempatkan juga membeli beberapa buku susunan beliau di kios samping rumah depan makam.
Beberapa buku itu adalah beberapa manaqib tuan guru dan habaib dan ikhtisar dari kitab-kitab klasik yang dicetak secara sederhana dengan teknik fotokopi atau cetak terbatas. Beberapa buku ini—seperti di antaranya, Anwarul Baydha’ (manakib Sayyidah Fathimah), Fathul Jawwad (manakib Imam Haddad), Nurul Abshar (manakib Tuan Guru Kasyful Anwar), Addurrul Mantsur fi Asma’ Allah al-Husna, Risalah Riyadhus Shibyan—menurut saya pantas dicetak secara lebih banyak dan baik, seperti buku-buku layak lainnya, sebagai upaya pemeliharaan kecendikiaan di tanah Banjar.
Tradisi ziarah telah sejak lama menjadi bagian dari budaya orang Banjar. Selain ziarah ke kubur-kubur orang tua sendiri, ziarah ke makam-makam ulama, yang masyhur maupun tidak, yang merupakan guru-guru (agama) orang Banjar adalah hal yang diyakini memiliki faedah bagi kelangsungan hidup ke depan. Bagaimana faedah itu berlangsung tentu merupakan bagian kewajaran dari harapan-harapan sosial dari subsistem kepercayaan yang kompleks, yang mungkin sulit dimengerti para pembelajar agama yang tekstual (di antaranya orang-orang dari jamaah yang suka menisbatkan dirinya pada salaf generasi pertama).
Saya lalu jadi ingat sebuah cerpen karya Sandi Firly: Ziarah. Bagaimana si tokoh cerpen yang mendapatkan keberuntungan mendapatkan hasil besar dari mendulang intan tiba-tiba ingat dengan nazarnya sebelumnya: berziarah.
Si tokoh dalam cerpen tersebut lalu berziarah ke makam-makam wali besar di tanah Jawa. Namun, sepulang ziarah hatinya bukannya tenang, malah muncul gelisah, yang terus menghantuinya tiap malam. Setelah beberapa malam tak dapat tidur, tiba-tiba di tinggi malam, di bawah guyuran hujan si tokoh cerpen berlari ke belakang rumahnya.
Kejadiannya, ternyata ia lupa, sudah lama ia tak menziarahi makam orang tuanya. Dan ia menangis di sana sedemikian rupa, sehingga tak lagi kentara mana yang paling membasahi kelopak matanya, hujan atau air mata.
Demikialah, tentu tidak setiap “murid” ingin menjadi durhaka, terutama pada sumber kejadiannya, tanah-airnya (baca juga: ibu-bapaknya). Dan kenyataan seperti ini jamak terjadi di mana-mana.