Persoalan seni dalam Islam selalu memunculkan perdebatan yang dinamis. Antara ulama yang membolehkan (mengapresiasi kesenian) dengan yang memberi catatan kritis (baik yang mengharamkan, memakruhkan atau membolehkan dengan prasyarat tertentu) sama-sama memiliki pengikut yang sama besar.
Antara bentuk kesenian yang diperbolehkan dengan yang diharamkan atau dimakruhkan pada akhirnya terus menjadi bagian dari khazanah warisan Islam bagi peradaban dunia.
Umumnya perdebatan terjadi di antara ulama fikih, yang juga melibatkan ahli hadis dan para sufi. Dalam khazanah Islam di nusantara pun persoalan ini menjadi wacana yang terus digulirkan dari waktu ke waktu. Hingga, terbentuknya negara bangsa yang memecah kawasan nusantara, yang dulunya lazim disebut biladul Jawi, menjadi beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dst.), wacana ini tetap membelah pandangan di antara para ulama tentang hukum kesenian.
Tulisan ini hanya akan membicarakan wacana di atas dalam lingkup pembicaraannya di kalangan Nahdliyin. Seperti telah diketahui, NU adalah organisasi keagamaan terbesar yang ada di Indonesia, yang cabang-cabangnya bahkan juga ada di beberapa negara lain di luar Indonesia.
Secara periodik dilaksanakan kegiatan muktamar, yang di dalamnya dilakukan penunjukan (pergantian) kepengurusan serta pembahasan masalah-masalah aktual terkait hukum yang terjadi di masyarakat. Semua hasil pembicaraan terkait hukum ini—baik hasil muktamar, konferensi besar (konbes), munas alim ulama, dan bahtsul masail—dari tahun 1926 (Muktamar NU pertama) hingga tahun 2010 (Muktamar NU ke-32) telah dibukukan dalam Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M). Dan di antara tema-tema masalah yang dibicarakan, terdapat pembicaraan yang membahas tema Seni dan Mainan. Sesuai maksud tulisan ini, di sini hanya akan dibicarakan hasil pembicaraan yang terkait seni yang akan diulas secara sepintas.
Pembicaraan (pembahasan) hukum yang terkait seni setidaknya telah dibicarakan dalam Muktamar pertama (1926), ke-10 (1935), ke-13 (1938), ke-14 (1939), ke-20 (1954), dan keputusan bahtsul masail Muktamar ke-30 (1999). Yang dibicarakan adalah soal hukum alat musik, tarian, drama (tonel), gambar (dan potret), dan kebudayaan secara umum.
Pada muktamar pertama yang diadakan di Surabaya, misalnya, ditanyakan apakah boleh membuat gambar binatang dengan bentuk yang utuh, dan bagaimana hukum terkait boneka. Pertanyaan ini dijawab dengan pernyataan haram untuk gambar, dan boleh untuk boneka. Keputusan ini didasarkan pada nukilan Fathul Mu’in yang terdapat pada kitab I’anatut Thalibin karya al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyati dan nukilan pada kitab Is’adur Rafiq karya Muhammad Babashil (lihat Ahkamul Fukaha, h. 16).
Pertanyaan serupa, namun terkait penggunaan kamera, ditanyakan kembali pada muktamar ke-13, dan dijawab lagi haram. Namun ditambahkan, oleh editor, bahwa pada konbes pengganti muktamar ke-22 soal gambar yang terkait alat potret ini dibicarakan lebih mendalam lagi, dan hasilnya terjadi perbedaan pandangan antara yang membolehkan dan yang tetap pada pendirian haram.
Sejauh yang dapat penulis telusuri pada buku Ahkamul Fukaha pembicaraan terhadap seni masih berupa respon terhadap pertanyaan atas masalah yang mengemuka di masyarakat, dan belum lagi menjadi sesuatu yang diinisiatifi untuk dilihat secara mendalam perkembangannya di masyarakat.
Hal ini berbeda misalnya dalam sikap pragmatis-politisnya, ketika kelompok seniman Islam yang kemudian membentuk organisasi Lesbumi (1962) yang merupakan anak organisasi NU.
Inisiatif para pendiri yang terdiri dari seniman film dan sastra ini, dalam rangka mengembangkan konsep seni dalam Islam, mendapat tentangan dari para ulama, terlebih dari mereka yang mendasarkan pemahamannya secara tekstual melalui tradisi kajian kitab klasik.
Dalam kenyataannya upaya pengembangan ini mendapat respon yang positif, terutama ketika ditinjau dari aspek dakwah atau syiar Islam. Meski begitu batasan yang bersifat Islami tetap dijadikan sandaran untuk membedakannya secara kontekstual dengan dinamika kesenian yang saat itu juga didominasi seni-seni kerakyatan dari organisasi serupa yang dianggap berseberangan (Lekra).
Jauh melampaui peng-hukum-an terhadap gambar, drama, musik dan tarian yang selalu kontroversial, upaya progresif seniman Lesbumi mendapat ruang yang lebih leluasa, terutama dalam kontestasi terhadap gerakan agresif Lekra. Pada tahun 1964 diproduksi film bertema Islam yang berjudul Panggilan Tanah Sutji, yang dalam catatan lain juga disebut (judulnya) Tauhid, yang salah satu pengambilan gambarnya dilakukan di tanah suci Mekah (lihat Hairus Salim, dalam Ahli Waris Budaya Dunia, 2011, hal. 105).
Kelemahan dalam perumusan konsep seni Islam dalam NU ini disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla (dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep Estetika, Yayasan Festival Istiqlal 1996) sebagai kerigidan tekstualis para fuqaha. Fikih lebih banyak bicara soal-soal praktis dan ritual yang mendukung kesalehan, sementara estetika dianggap barang abstrak yang tidak berhubungan langsung dengan kesalehan dan perwujudan “kemewahan” yang terlalu mahal harganya.
Soal kelemahan ini juga, kata Ulil, disebabkan kekhawatiran yang berlebihan dalam menghadapi hubungan binari antara lafaz (kata) dan makna (arti atau makna). Lafaz selalu dimenangkan atas makna, jika terjadi keraguan dalam pengistinbathan hukum, sementara makna selalu dalam posisi subordinat terhadap batasan-batasan gramatik lafaz. Sehingga dalam prakteknya, pandangan fukaha memberi batasan yang terlalu ketat terhadap kemungkinan eksplorasi makna—kalau tidak malah mencurigainya.
Pandangan Ulil ini sebenarnya sejalan dengan konsep seni Islam Seyyed Hossein Nasr yang bersifat spiritualis (sufistik), yang lebih menekankan hal-hal yang bersifat ma’nawiyyah (makna batin) sebagai jembatan ekspresi (estetik) mereka. Karenanya, Ulil lebih optimis jika perumusan konsep Seni (estetika) Islam dilakukan dalam paradigma sufi (mutshawwifin, dalam bahasa Ulil).
Kembali pada buku Ahkamul Fukaha, KH. Sahal Mahfudh dalam pengantar buku ini menyatakan bahwa memang ada kesan kiai-kiai NU hanya bermazhab fil aqwal (dalam pendapat hukum) dan tidak fil manhaj (dalam metodologi). Meski para kiai juga mempelajari manhaj (Syafi’i), seperti terlihat dalam koleksi kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang mereka asuh, metodologi digunakan sebatas memperkuat pemahaman hukum yang sudah ada dan tidak untuk istinbathul ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya).
Ini bisa dimengerti mengingat pengertian istinbathul ahkam di kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, Alquran dan sunah. Namun sebagaimana lazimnya dalam sikap dasar bermazhab, ia adalah memberlakukan secara dinamis nash-nash fukaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
Sementara istinbath cenderung identik dengan sikap ijtihad yang memerlukan penguasaan yang luas atas ilmu-ilmu penunjang yang relatif kaya, dan ini hanya dapat dilakukan oleh seorang mujtahid. Oleh karenanya, dalam forum muktamar maupun konbes, yang dilakukan adalah bahtsul masail, yang membahas masalah-masalah waqi’ah (yang terjadi atau ditanyakan) melalui maraji’ (referensi) kutubul fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fikh).
Hal ini menurut Kiai Sahal dirasa sebagai suatu kekurangan tersendiri. Bagaimanapun, rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan kekinian, terkait situasi sosial-politik dan kebudayaan secara umum—di mana persoalan seni termasuk di dalamnya. Dalam hal ini Kiai Sahal mengemukakan harapan, ke depan para ahli bahtsul masail harus mengantisipasi kemajuan dan perkembangan serta perubahan yang sangat cepat yang terjadi di masyarakat.
Namun begitu, menurutnya, merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip maqasid al-syari’ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai—di mana di dalamnya terdapat prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama, serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah.
Bagaimana jua, pada masanya NU pernah sangat mendukung bentuk-bentuk kesenian melalui organ Lesbuminya dalam kontestasi budaya masa revolusi. Dan dalam kulturnya yang kaya, bahkan hingga sekarang, bentuk-bentuk kesenian itu tetap lestari dan bahkan tetap dapat bertransformasi dalam “batasan” mengharap keridaan Allah swt, sebagaimana terjadi dalam bingkai estetika sufi. Wallahu a’lam.