Sedang Membaca
Fenomena dan Kebutuhan (Guru) Spiritual
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Fenomena dan Kebutuhan (Guru) Spiritual

Siapakah Orang Nusantara yang Paling Awal Pergi Haji? 2

Beberapa waktu yang lalu dalam pemberitaan media massa dan perbincangan media sosial ramai oleh fenomena penyalahgunaan makna dan peran guru spiritual. Yaitu, mereka yang dianggap sebagai orang yang memiliki kelebihan tertentu dan memiliki jumlah pengikut yang cukup signifikan.

Yang memprihatinkan kemudian, fenomena ini diiringi stigma negatif dengan penangkapan beberapa orang tersebut dengan dugaan tindak pidana pemakaian narkoba, pembunuhan dan penipuan. Hal ini misalnya, melalui pemberitaan kasus AAGB dan DKTA.

Komentar-komentar negatif tentang kedua orang ini yang kemudian makin meluas tak ayal seperti menggeneralisir pengaruh negatif dari orang-orang yang memiliki karisma tertentu di masyarakat tradisional.

Lalu muncul pertanyaan, apakah memang tak ada orang-orang yang mampu mengayomi secara spiritual?

Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia Modern), orang-orang modern (di Barat) menjadi cenderung kering jiwanya, karena percepatan teknologi dan ledakan ekonomi yang memiliki dampak buruk bagi ekologi dan pengaruh dehumanisasi.

Sementara di dunia Islam sendiri, ada kelompok manusia yang terombang-ambing di antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern itu sendiri. Iman mereka diuji di antara ilusi dan realitas yang saling bertabrakan ini. Spiritualitas tradisional (Islam) dianggap kuno dibandingkan dengan yang dianggap sebagai lebih “riil” yang sedang hancur di depan mata mereka, seperti butiran-butiran pasir yang terlepas dari sela-sela jari mereka.

Baca juga:  Masjid di Zaman Visual

Dalam kekacauan paradigma demikianlah, orang-orang lalu mencari sandaran yang lain bagi spiritualitas jiwa mereka. Kekurangmengertian terhadap ajaran-ajaran agama disusupi godaan penokohan terhadap orang-orang yang dianggap karismatik dan mampu memberikan harapan bagi persoalan sehari-hari yang menekan, yang makin membuat gersang jiwa orang-orang yang tertekan ini.

Ada saja kemudian, orang-orang dengan tampilan khas agama—berbolang atau berkopiah putih, bergamis atau berpakaian sopan, tasbih, dan sedikit ungkapan-ungkapan mistik keagamaan—mampu menyita perhatian, memanfaatkan kesulitan-kesulitan hidup orang lain, tampil seperti seorang juru selamat.

Orang-orang pun bukannya tanpa alasan mengikuti mereka. Selain disebabkan simbol-simbol keagamaan yang kadung melekat dalam ingatan tradisional mereka, para “guru spiritual” ini memang mampu membuktikan kedigdayaan mereka secara temporer di depan mata mereka. Berkelindan dengan kesulitan-kesulitan hidup yang membekap mulut dan akal rasional mereka, pertemuan ini menjadi sahih (benar) bagi mereka saat itu.

Hingga tiba waktunya pada mereka melihat ledakan persoalan yang lebih besar dengan pupusnya kedigdayaan guru-guru demikian, dengan kasus-kasus penipuan dan penangkapan secara hukum, kekecewaan itu bisa mengubah sikap mereka menjadi apatis. Hujatan-hujatan merembet ke soal-soal sipiritual dan agama, seakan tak benar-benar ada guru-guru yang dengan rendah hati mengabdikan kehidupannya secara sungguh-sungguh untuk kemaslahatan orang banyak. Inilah pukulan balik yang sebenarnya lebih menyedihkan.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top