Perkembangan dan pengembangan sebagian ‘masyarakat Islam’ belakangan ini bisa diperhatikan juga dari bagaimana mereka menggunakan dan membentuk bahasa Indonesia. Hal ini ditandai oleh dua kecenderungan.
Pertama, ‘islamisasi’, atau di mata sebagian kalangan lebih sebagai ‘arabisasi’, istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Sembahyang misalnya sudah jarang digunakan, digantikan dengan salat. Puasa mulai tergerus oleh istilah saum. Langgar atau surau mulai sayup terdengar, kalah dibanding gema musala.
Umi dan abi kini mulai banyak digunakan dibanding ayah-ibu atau istilah-istilah lokal lainnya. Kata afwan dirasa lebih afdal daripada maaf. Penyebutan Ahad lebih diutamakan daripada Minggu. Kata akhi atau ikhwan mulai mencuat, menghantam istilah saudara, kawan, apalagi bung.
Ustaz lebih dianggap tepat dibanding kiai, ajengan, tengku atau tuan guru, meski predikat-predikat terakhir ini memiliki alasan-alasan sosial-budaya yang tak mudah dilekatkan begitu saja pada setiap orang. Demikian untuk menyebut beberapa.
Sebagian dari kata-kata itu telah tersedia dan memang sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia seperti musala, salat, atau ahad, sehingga yang dilakukan adalah pengaktifan pemakaiannya sebagai sinonim untuk memperkaya istilah yang sudah biasa dan umum digunakan.
Sebagian lain, benar-benar hendak ditawarkan sebagai alternatif untuk menggeser dan mengganti istilah yang sudah ada seperti saum atau akhi. Semangat berbahasa seperti ini menandai semangat islamisasi. Kata-kata itu diaktifkan atau ditawarkan untuk menunjukkan hal yang dipandang ‘islami’ dan menyingkirkan yang dianggap ‘tidak-islami’.
Bahwa kosa kata bahasa Arab banyak diserap dalam bahasa Indonesia melalui proses sosial, politik dan budaya yang panjang, tak bisa dibantah. Bahasa Indonesia sendiri memang terbentuk dari sumbangan kata-kata asing, termasuk Arab, dan daerah. Dari situ lalu menjelma menjadi bahasa persatuan. Artinya bahasa yang menyatukan dan menghubungkan berbagai suku yang berbeda-beda kebudayaan ini.
Proses masuknya kata-kata asing maupun daerah ke dalam bahasa Indonesia masih terus berlangsung hingga kini. Ikhtiar sebagian kalangan untuk memasukkan kata-kata Arab belakangan ini tentu bisa dianggap sebagian dari proses yang terus berlangsung ini sekaligus pengayaan bahasa Indonesia.
Tetapi di sisi lain, semangat eksklusif dan ideologis, bisa jadi akan membahayakan. Bahasa di sini muncul sebagai bagian dari identitas kelompok. Bahasa dipakai untuk membedakan, bukan untuk menyatukan dan menghubungkan.
Kecenderungan kedua berkembang apa yang dalam tata bahasa disebut sebagai gejala ‘hiperkorek’ (hypercorrect), yakni yang sudah betul dibetul-betulkan lagi akhirnya menjadi salah. Gejala ini khas bahasa Indonesia dan bukan kebetulan banyak berhubungan dengan kata-kata Arab, karena kenyataan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki beberapa fonem yang dimiliki Arab.
Gejala hiperkorek ini muncul terutama dalam penulisan. Kata ramadan misalnya ditulis dengan berbagai cara yang diasumsikan mendekati aslinya: ramadhan, ramadlan, romadhon. Kata salat sering ditulis shalat atau sholat. Kata musala ditulis musholla, mushala, mushalla. Kata afdal ditulis afdhal atau afdhol. Contoh-contoh gejala hiperkorek ini bisa dideretkan lebih panjang lagi.
Ahli tata bahasa Indonesia J.S. Badudu mengatakan gejala hiperkorek muncul karena orang tidak tahu mana bentuk yang asli, lalu menuliskan saja apa yang didengar dan dituliskan orang lain. Saya tidak sepenuhnya sepakat sebab ini, karena dalam kasus kata-kata dari Arab, sebagian besar mereka –sejauh saya tahu– sangat mengerti kata-kata aslinya. Justru karena merasa mengerti dalam bahasa aslinya inilah kecenderungan hiperkorek itu muncul.
Para ‘ikhwan’ itu merasa penulisan yang tidak sesuai dengan bagaimana kata-kata itu aslinya diucapkan akan mengubah makna. Tetapi mereka lupa bahwa kata-kata itu ditulis dengan aksara Latin dalam Bahasa Indonesia. Sebab, kembali menurut Badudu, dari segi lingustik, Indonesia tidak memiliki fonem-fonem seperti /f, kh, sy, z/ dalam Bahasa Arab.
Karena itulah variasi antara f – p, kh – k – h, sy – s, z – j, tidak menimbulkan perbedaan arti. Beberapa kata Arab yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia sedemikian rupa seperti kata hadir tak perlu ditulis hadhir atau hadlir. Atau batin tidak harus lagi ditulis bathin, dan cara penulisan seperti ini tidak mengubah arti sama sekali.
Islamisasi kata-kata dan hiperkorek dalam berbahasa menandai perkembangan sebagian masyarakat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Bahasa memang merupakan gelanggang tawar menawar budaya dan identitas yang lunak, tapi tak jarang juga keras sekali. Ke mana perkembangan ini menuju tampaknya akan ditentukan proses-proses sosial, politik, dan budaya di masa mendatang.